Mohon tunggu...
simaulss
simaulss Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat Lintas Ruang

Bercakap, Berjabat, Beramal

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Mengikis Oligarki

2 Oktober 2019   18:24 Diperbarui: 2 Oktober 2019   23:03 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana ruang sidang paripurna I yang terisi penuh oleh tamu undangan saat menyambut Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz al Saud, Kamis (2/2/2017).(KOMPAS.com/Nabilla Tashandra)

"Kita ini tidak miskin, tapi dimiskinkan oleh sistem". Itu pernyataan Bung Karno. Gemanya menemukan relevansi saat ini, di ujung bulan September 2019, menjelang pergantian kursi dewan perwakilan rakyat.

Sejumlah produk legislasi nasional yang sudah dan akan disahkan pemerintah dan DPR diprotes publik. Dari mahasiswa, tokoh, lembaga hingga para pakar, semua entitas melebur dalam satu barisan kontra, menuntut pembatalan UU KPK.

Sengatan terik matahari beralaskan aspal semakin menyulut kegarangan gelombang massa bertubi-tubi, yang juga menyebar ke beberapa kota, setidaknya dua Minggu terakhir. Situasi benar-benar genting bagi stabilitas politik.

Kita patut bahkan wajib cemas jika produk undang-undang yang lahir itu tidak mengakomodir keperluan rakyat, itu artinya denyut demokrasi masih hidup. Naif sekali legislasi yang dihasilkan luput dari kebutuhan yang sesungguhnya.

Wakil rakyat itu, sudah seharusnya mengkaji betul apa yang benar-benar diinginkan rakyatnya. Bagaimana mungkin aturan diterapkan kepada mereka yang sama sekali tidak menginginkan? Alur berpikir ini keliru.

Situasi semacam ini jika terus berlangsung tanpa adanya perubahan mendasar, ibaratkan bom waktu, akan meledakkan amuk massa suatu waktu. Hal itu dilatari sikap kritis masyarakat yang mencurigi menjamurnya praktik-praktik oligarki di tubuh elite legislatif-eksekitif.Oligarki, sistem yang dikuasai oleh kelompok tertentu, adalah musuh laten penyelenggaraan negara, penyakit sistemik dari jalannya sebuah pembangunan luhur. Oligarki, memang kerap lahir di arena-arena kebijakan. Ada pulus, urusan mulus, mirip celotehan Alm. KH. Zainuddin MZ.

Wajar saja, para pemangku kepentingan, yang memiliki otoritas dan wewenang itu tak akan kesulitan mendesain jalannya pembangunan agar sesuai dengan kepentingannya. Mereka punya kuasa karena undang-undang menugaskan itu.

Jika para pendahulu menyusun peraturan untuk  mengendalikan dinamika politik, maka politisi sekarang menyetir undang-undang agar sesuai hajatnya. Begitu kekhawatiran Kang Komar, mantan Rektor UIN Jakarta.

Publik betul-betul kecewa dengan sikap elite politik saat ini. Oligarki, yang lahir dari produk legislasi, jelas membuat kecewa publik. Di sini, trust kepada pemerintah, yang merupakan pilar berbagsa-bernegara, menjadi goyah.

Yang paling ditakutkan dari oligarki tentu saja semakin memperburuk kualitas kehidupan. Ketimpangan, kebodohan, kemiskinan, semakin menurun tajam dan kesejahteraan, kemakmuran, hingga keadilan sulit dicapai. Aturan telah diatur sedemikian rupa.

Maka tidak mengherankan jika para penentang praktik oligarki lewat legislasi itu bermunculan dari pihak-pihak yang berlatar belakang berbeda-beda. Tujuannya tidak lain mencegah terwujudnya oligarki.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun