Menjiplak adalah perbuatan hina dalam dunia jurnalistik. Pernyataan itu terlihat seperti kebenaran mutlak. Namun, bagaimana jika sebuah media internasional terkemuka melakukan tindakan plagiat?
The New York Times atau The Times menerbitkan sebuah artikel mengenai maraknya insiden kereta pengangkut minyak di Amerika. Artikel berjudul "Accidents Surge as Oil Industry Takes the Train" terbit 25 Januari 2014. Namun, para pembaca The Times tak mengetahui jika liputan mendalam itu menyadur tanpa menyebut sebuah sumber berita.
Korban penyaduran itu adalah Curtis Tate, wartawan surat kabar McClatchy News. Sebelum berita The Times terbit, Curtis telah menulis artikel dengan topik sama yang terbit pada 20 Januari 2014. Ketika menulis berita itu, Curtis menghabiskan banyak waktu dalam mencari data agar bisa menjadi tulisan yang baik
Setelah artikel The Times tayang, Curtis mengetahuinya dan mengirim surat protes kepada pihak New York Times. Akhirnya, The Times mengakui kesalahannya dan memberi kredit pada McClatchy News.Â
Namun, kasus penyaduran tanpa menyebut sumber itu bukan cuma terjadi sekali. Editor Publik The Times Elizabeth Spayd mencatat, The Times setidaknya telah mendapat teguran atas kemungkinan plagiarisme dalam empat artikel lain.Â
Elizabeth mengingatkan, mestinya empat artikel itu menyebut jelas nama media yang mereka sadur. Apalagi, The Times juga memiliki Guideline on Integrity yang mewajibkan penulisan sumber.
Jika media sebesar New York Times sering terjerumus dalam tindakan plagiarisme, bagaimana dengan media di Indonesia? Apalagi konsumen media Indonesia sering menemui berita-berita serupa yang membahas topik sama.
Misalnya, baru-baru ini ada tiga media daring Indonesia yaitu Tribunews, Okezone, dan Bisnis yang menulis tentang cedera tulang artis Anjasmara. Anjasmara mendapat cedera itu karena melawan begal sepeda. Angle penulisan ketiga media serupa. Isi tiga artikel yang sama-sama terbit pada 22 Oktober itu pun tak jauh berbeda. Namun, tiga media itu tak menyebut nama media sumber artikel mereka. Apakah ini contoh plagiat?
Menjiplak adalah hal hina di dunia jurnalistik. Namun, bagaimana bila sebagian besar media melakukan plagiat? Hal ini bisa menjadi pembahasan mengenai praktek pemberitaan media massa.Â
Apakah kode etik pelarangan menjiplak sudah benar-benar ditaati para wartawan dan pelaku media massa? Lalu, apa kriteria sebuah artikel berita melakukan plagiat?
Plagiarisme Tumbuh Subur
"Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik," begitu bunyi Pasal 2 Kode Etik Jurnalistik Dewan Pers. Tafsiran dari "cara-cara profesional" itu salah satunya berwujud larangan melakukan plagiat.Contoh plagiat adalah mengklaim liputan wartawan lain sebagai hasil kerja pribadi.
Namun, sebelum bahasan lebih mendalam, kita perlu memahami apa itu plagiat. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, plagiat adalah "Pengambilan karangan (pendapat dan sebagainya) orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan (pendapat dan sebagainya) sendiri."Definisi itu hampir serupa dengan contoh dalam Kode Etik Jurnalistik Dewan Pers.
Panduan dari organisasi jurnalis Amerika Serikat Society of Professional Journalists menganjurkan dua hal agar terhindar dari tindakan plagiat. Pertama, seorang jurnalis mesti menyebut sumber informasi atau kutipan. Panduan itu juga menyarankan jurnalis untuk benar-benar memahami bahasan berita agar dapat menyampaikan informasi dengan kata-kata sendiri.
Meski begitu, tekanan kerja terus-menerus dalam tuntutan mengejar artikel serta kemudahan pencarian informasi dari internet sering mendorong jurnalis untuk menjiplak.
Norman Lewis dan Bu Zhong dalam jurnal berjudul "The Root of Journalistic Plagiarism: Contested Attribution Believed" menyingkap praktek penyebutan keterangan sumber yang berbeda-beda. Mengutip sebuah penelitian lain pada 2006, jurnal itu menulis lima media terkemuka Inggris jarang sekali memberi kredit dalam berita kutipan dari Press Association.
Sementara, sebuah studi lain meneliti 1.603 artikel di sepuluh situs dari Perancis, Jerman, Rusia, Inggris, dan Amerika. Hasil studi itu menyatakan, hanya 29% berita yang menuliskan sumber informasi mereka.
Seorang mantan editor surat kabar, Bob Giles menyarankan, tiap media mestinya membuat kebijakan penulisan sumber berita untuk menghindari label plagiat. Namun, surat kabar yang memiliki panduan dan kebijakan terkait juga tak selalu berhasil menerapkannya.
The New York Times adalah salah satu media yang menyebutkan keharusan menuliskan sumber berita dalam panduan internal mereka. Akan tetapi, mereka berkali-kali gagal menerapkan panduan mereka sendiri.
Karena perbedaan definisi itu, tindakan plagiat sering luput dari hukuman sepatutnya dan merata. Bila seorang wartawan dianggap berbakat kedapatan melakukan plagiat, ia tak akan dihukum berat. Jurnalis Columbia Journalism Review David Uberti mencatat, penulis terkenal Fareed Zakaria puluhan kali kedapatan menggunakan informasi dari sumber lain tanpa atribusi.Â
Namun, ia hanya mendapat penangguhan kerja satu bulan. Saat ini, ia masih menjadi penulis kolom dan pembawa acara di surat kabar dan stasiun televisi Amerika.
Plagiarisme di Indonesia
Di Indonesia, tak ada penelitian sistematis mengenai praktek plagiat di kalangan wartawan. Namun, sebuah esai di Remotivi dapat memberi sedikit gambaran.Â
Esai itu ditulis seorang wartawan magang di Riau bernama Ihsan Yurin. Ihsan bercerita, selama magang sebagai wartawan ia pernah menjadi korban tindakan plagiat.Â
Suatu kali berita yang ia tulis disadur berkali-kali oleh banyak media dengan seenaknya. Media-media itu menyadur tulisan Ihsan tanpa menyebut sumber dan membuat judul bombastis dari informasi yang didapat Ihsan.
Menurut Ihsan, tindakan mengutip tanpa menyebut sumber itu kerap terjadi. Sebuah berita eksklusif hasil liputan teman kantor Ihsan juga menjadi korban.Â
Media-media lain yang mengutip isi berita itu mengubah sedikit narasi berita, tetapi tidak menuliskan sumber informasi mereka. Fenomena seperti yang dialami Ihsan ini bisa jadi terjadi di daerah-daerah lain.
Jurnal berjudul "Praktik Junalisme Kloning di Kalangan Wartawan Online" mengonfirmasi hal itu. Peneliti dari Fakultas Ilmu Komunikasi Unpad Tsana Garini menemukan, maraknya praktek berbagi informasi di kalangan wartawan Jakarta. Kadang para wartawan ini juga saling berbagi "berita jadi". Tiap wartawan yang mendapat berita jadi itu hanya akan melakukan sedikit perubahan atau parafrase.
Karena praktek "kloning" itu, tak heran banyak berita media online yang hampir serupa satu sama lain. Praktek ini begitu dekat sekali dengan praktek plagiat. Tak cuma itu, praktek ini juga rentan membuat misinformasi dapat tersebar dengan cepat di kalangan wartawan, seperti yang terjadi saat Bom Thamrin pada 2016. Pada akhirnya, ini akan merugikan masyarakat.
Sejauh ini, Kode Etik Dewan Pers gagal membendung tindakan mengutip seenaknya. Untuk menghindari plagiat dan dampak buruk itu, Dewan Pers mesti menulis panduan rinci mengenai plagiarisme. Panduan itu perlu memberikan berbagai ciri tulisan plagiat dan cara menghindari tindakan plagiat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H