Suatu kali berita yang ia tulis disadur berkali-kali oleh banyak media dengan seenaknya. Media-media itu menyadur tulisan Ihsan tanpa menyebut sumber dan membuat judul bombastis dari informasi yang didapat Ihsan.
Menurut Ihsan, tindakan mengutip tanpa menyebut sumber itu kerap terjadi. Sebuah berita eksklusif hasil liputan teman kantor Ihsan juga menjadi korban.Â
Media-media lain yang mengutip isi berita itu mengubah sedikit narasi berita, tetapi tidak menuliskan sumber informasi mereka. Fenomena seperti yang dialami Ihsan ini bisa jadi terjadi di daerah-daerah lain.
Jurnal berjudul "Praktik Junalisme Kloning di Kalangan Wartawan Online" mengonfirmasi hal itu. Peneliti dari Fakultas Ilmu Komunikasi Unpad Tsana Garini menemukan, maraknya praktek berbagi informasi di kalangan wartawan Jakarta. Kadang para wartawan ini juga saling berbagi "berita jadi". Tiap wartawan yang mendapat berita jadi itu hanya akan melakukan sedikit perubahan atau parafrase.
Karena praktek "kloning" itu, tak heran banyak berita media online yang hampir serupa satu sama lain. Praktek ini begitu dekat sekali dengan praktek plagiat. Tak cuma itu, praktek ini juga rentan membuat misinformasi dapat tersebar dengan cepat di kalangan wartawan, seperti yang terjadi saat Bom Thamrin pada 2016. Pada akhirnya, ini akan merugikan masyarakat.
Sejauh ini, Kode Etik Dewan Pers gagal membendung tindakan mengutip seenaknya. Untuk menghindari plagiat dan dampak buruk itu, Dewan Pers mesti menulis panduan rinci mengenai plagiarisme. Panduan itu perlu memberikan berbagai ciri tulisan plagiat dan cara menghindari tindakan plagiat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H