Mohon tunggu...
Maulana Rajabasa
Maulana Rajabasa Mohon Tunggu... -

Tidak ada manusia yang luput dari kesalahan. Mari berdiskusi untuk memperbaiki situasi. Sebagai sebuah dedikasi untuk membangun negeri ini.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sabdaraja, Radhar, dan Harian Kompas

20 Juni 2015   11:13 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:43 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada apa dengan fenomena ini, jelaslah tidak sederhana. Tulisan-tulisan Kompas soal Sabdaraja, memperkuat bahwa Sabdaraja itu justru memiliki kaitan dengan lingkaran-lingkaran ini. Elit mereka memang telah membaca adanya reaksi di bawah, termasuk dari kalangan Nahdliyin, dan mereka tampaknya menganggap sudah selesai dengan pendekatan dengan elit-elit tertentu di Jakarta dan akan mampu diselesaikan hanya dengan pembentukan opini, kalau kemaren melalui lingkarannya sendiri sekarang mencoba dengan budayawan yang dianggap netral, sungguh hal ini menjadi sesuatu yang patut disayangkan, apalagi saya dengar JNM dengan niat baik telah menyurati pucuk pimpinan dari jaringan ini untuk secara resmi menanyakan pokok dan akar soal dari kekisruhan kraton Ngayogyokarto hari ini, namun sampai saat ini info yang saya terima belum juga berbalas, JNM yang kemaren saya datang mendengarkan diskusinya juga telah mengundang dengan baik-baik Romo Sindhunata untuk duduk bersama secara ilmiah, bermartabat dan terbuka untuk berdialog dalam seminar Revitalisasi Islam Jawa, namun juga tidak berkenan hadir, hal ini sungguh patut disayangkan bersama padahal JNM telah melakukan upaya-upaya yang baik dan beradab serta formal selayaknya orang-orang terdidik dan beragama untuk mengurai polemik ini, namun mereka hingga saat ini belum menampakkan niat baiknya, malah muncul masalah-masalah lanjutan yang menurut saya tidak perlu.

Terakhir, sesuatu yang sangat naif masygul dan sekaligus ambigu ketika Radhar yang dia sendiri mengakui jauh dan tidak tinggal di Yogyakarta menggambarkan keterbukaan dan kedekatan Raja dengan rakyat hanya dengan melihat dan menilai dari sandal jepit dan rokoknya seorang Raja dihadapannya ketika dia menemuinya, bagaimana mungkin budayawan sekelas Radhar mensimplifikasi dan seakan mau meredam persoalan Kraton Ngayogyokarto hari ini yang sedang berpolemik dan dikritik sedemikian rupa dari JNM, Suryo Mataram hingga PWNU dengan penilian sedangkal itu, kalau dia sudah membaca dan mengikuti pergumulan soal Sabdaraja ini, maka apa yang ia tulis bukanlah upaya untuk meredam dan dalam rangka mencari solusi, namun justru dia menjadi bagian dari masalah itu sendiri, dan dalam hal ini Kompas yang dengan sengaja memuat tulisan berturut-turut soal Sabdaraja yang dangkal, ahistoris dan sudah saya sangkal itu, sejatinya Kompas sedang bermain api yang suatu saat akan membakar dirinya sendiri, karena soal sabdaraja ini sejatinya tak sekedar masalah suksesi namun lebih dari itu, yaitu tentang terkoyaknya sejarah umat Islam Jowo, Mataram Islam dan sekaligus harga diri dan spiritualitas mereka yang terwakili oleh perlawanan JNM, Suryo Mataram dan PWNU, maka sekali lagi jangan sampai Kompas menyulut api dan anggap akan selesai hanya dengan loby para elit jakarta dan opini-opini yang dibentuknya, itu tidak akan pernah berhasil. Camkan itu.

(Isi di luar tanggungjawab peng-upload)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun