Keempat, adanya konstruksi pengetahuan tentang Ratu Kidul dalam masyarakat Mataram yang menguasai Laut selatan, jelas lagi menunjukkan kengawuran dan kenekatan Radhar, sang budayawan. Konstruksi tentang Ratu Kidul dan lain-lain ini, justru memperkuat konsep Mataram adalah pedalaman. Dengan konsep Ratu Kidul itu, masyarakat Jawa di bawah Mataram, tidak mudah untuk pergi keluar laut, diberi batas-batas yang menakutkan, yaitu Roro Kidul mnguasai Laut Selatan. Orang Jawa supaya menilik ke dalam, kembali pada olah batin dan instrospeksi diri sebelum berpikir ke luar.
Masih banyak kalau saya mau berpanjang-panjang dengan kedangkalan dan ketidak obyektifan tulisan budayawan yang selama ini saya anggap cukup bagus dalam tulisan-tulisannya dan ini tidak diperlukan. Tapi ya itu, apa boleh buat, begitulah sang budayawan kita ini. Semua yang bisa memberikan roh toleransi, dinamisasi masyarakat, dan sejenisnya, sudah dicap dalam kerangka tradisi bahari, jadilah kraton Mataram yang berpusat di pedalaman Jawa ini dikonstruksi sebagai dan dengan Mataram Bahari, padahal sejatinya tidak begitu, Masygul bukan.
Â
Sabdaraja
Yang kacau lagi, di bagian ketika sang budayawan ini, membicarakan sabdaraja dia meyakini dan menegaskan kebaharian justru diperkuat dengan Sabdaraja. Budayawan kita ini tidak lagi memiliki kesadaran dan daya kritis lagi, sebagai ruh seorang budayawan. Saya sambil tersenyum dan geleng-geleng kepala, sangat nekat dan seakan ada tujuan khusus dalam tulisannya kali ini, ada apa gerangan dengan budayawan satu kita ini hingga seakan dia lena dan lepas dari nalar kebudaywanannya.
Pertama, dia meyakini bahwa Yogyakarta atau Mataram Yogyakarta, memiliki tradisi bahari dan Islamnya adalah kelanjutan dari tradisi bahari Islam nusantara. Sabdaraja lalu dikonstruksi memperkuat ini, yang berarti mencirikan kekhasan Islam baharinya. Padahal Sabdaraja itu, justru ingin keluar dari kerangka dan fondasi Islam Jowo. Dalam bahasa yang jelas, menurut informan saya di lingkaran kraton yang pro Sultan, dengan Sabdaraja ini Raja ingin keluar dari sangkar emas. Islam dianggap sebagai sangkar emas yang membelenggu dan maka dari itu Kraton Ngayogyokarto akan dikembalikan kepada Jawa pra-Islam meski itu rancu Jawa yang mana? Wong pada kenyataannya Jawa itu ya Islam dan ini pernah diakui oleh Karel Stenbrink. Dengan demikian melalui Sabda itu Kraton Ngayogyokarto saat ini ingin keluar dari fondasi awalnya, yang dipuji-puji sendiri oleh budayawan kita ini sebagai memiliki keterkaitan dengan tradisi bahari tadi . Naif bukan, bagaimana mungkin bangunan dan keistimewaan Yogyakarta yang dia maksud selama ini telah berhasil dan menjadi bandar imajiner berbagai etnik dan kebudayaan juga toleransi yang tinggi sekaligus egaliter telah terbukti nyata berdiri diatas fondasi Mataram Ngayogyokarto yang berlandaskan Islam Jowo dengan gelar Kalipatullah itu kok akan dipertahankan dengan Sabdaraja yang justru akan menanggalkan dan merubah fondasi sebelumnya yang kokoh dan berhasil itu.
Kedua, Sabdaraja itu menghilangkan gelar kalipatullah, yang menegaskan bahwa raja itu sebagai wakil Allah hanya manusia biasa, tapi harus memiliki kualitas-kualitas yang pantas menjadi wakil Allah untuk memimpin dalam menakmurkan bumi Mataram. Radhar mengkonstruksi bahwa Sabdaraja itu menjadikan Raja tidak hanya sebagai simbol dari kekuasaan, tapi manusia yang menjadi Raja adalah juga manusia biasa, dan inilah tradisi bahari. Dan dalam hal ini memang Raja itu bukan kambing, itu Jelas.
Yang tidak jelas soal konsep tentang Raja. Raja dalam konsep Mataram Islam Jowo, bukan semata simbol kekuasaan, tapi wakil Allah yang diamanati untuk memimpin dan memakmurkan bumi. Kalau dia hanya dianggap sebagai manusia biasa, maka raja seperti itu tidak memiliki kualitas untuk memimpin, tidak ubahnya hanya rakyat biasa. Untuk apa memiliki Raja yang demikian kalau begitu, kalau martabatnya hanya martabat awam. Bahwa raja itu manusia lagi-lagi jelas, tapi manusia yang diharapkan dan memiliki kapasitas kalipatullah itu. Ketika kalipatullah ini dihilangkan, dan hanya diberi penanda manusia biasa yang mengakumulasi kekuasaan dan lalu apa bedanya dengan yang dipimpin. Raja yang seperti ini tanpa gelar spiritual kalipatullah dan bukan sebagai wakil Allah di bumi bisa sewenang-wenang dan akan membabi buta dalam menjalankan dan melaksanakan kekuasaannya, bukankan seorang pemimpin dalam Islam kususnya Raja harus menasorufkan, melaksanakan dan menjalankan kekuasaan dan kebijakannya sesuai dan demi untuk kemaslahatan umat/rakyat yang dipimpinnya sebagai perwakilan Allah dimuka bumi yang dengan demikian manunggallah kawula lan gusti dalam wujud kewelas asih dan keadilan dalam diri seorang Raja, begitulah makna kalipatullah dalam konteks Islam Jowo yang telah mampu menjadikan Mataram Islam Ngayogyokarto Istimewa dalam konteks sosial, politis maupun spiritual dalam bingkai Islam Jowo yang tidak Ngarab seperti selama ini, dan ini yang lupa atau sengaja tidak dibaca dan ungkap oleh Radhar.
Â
Soal Kompas
Dengan pemuatan artikel berturut turut soal Sabdaraja, dan tidak adanya tulisan sama sekali yang mewakili aspirasi kalangan Islam Jowo, dan yang memiliki pandangan lain. Padahal PWNU DIY, JNM, Suryo Mataram, dan yang lain, telah membaca secara kritis Sabdaraja ini. Mustahil orang-orang Kompas yang selama ini dianggap media paling obyektif dan pinter ini tidak tahu (kalau saya sih menganggap biasa aja) Berkali-kali sudah saya ingatkan di tulisan-tulisan sebelumnya, baik yang menanggapi J. Kristiadi ataupun J. Luhulima, Kompas tidak memberikan opini berimbang.