"Hanacaraka datasawala padajayanya magabathanga" (Ajisaka).
"... kita bicara dalam bahasa ibu, tetapi selalu menulis dalam bahasa "asing". Kesimpulanku, kami penulis sama saja: semua adalah tahanan, residivis, warga gerombolan bertato" (Jean Paul Sartre).
Sejarah aksara adalah sejarah kisah. Ajisaka membangun biografi dan pandangan hidup orang Jawa melalui jagad aksara, bukan dimulai dengan sebuah struktur kata. Setiap aksara merepresentasikan berbagai hal: sejarah, falsafah, nilai, cara pandang, dan konstruk makna.
Aksara bukan sekadar alfabeta, lebih dari itu. Aksara menjadi otonom, individual, dan persuasif.
Di pelbagai kebudayaan di sudut dunia, aksara menceritakan ke-manunggalan manusia dengan jagad gedhe di luar dirinya. Seolah membangun sebuah interelasi tak rampung, aksara menjadi ejawantah pembelajaran.Â
Sansekerta, Jawa, Cina, Herogliph, atau lukisan-lukisan di goa purba adalah bukti ke-manunggalan yang terjadi sejak zaman purba. Aksara membangun bahasa dan imajinasi yang tak henti, selalu berulang, dan bergerak keluar dan ke dalam diri manusia: terus ulang alik.Â
Melalui aksara, manusia memasuki ruang-ruang gelap, senyap, lalu seringkali terhenyak melihat suatu hal yang lain. Kontemplasi yang terkadang melampaui atau sekedar introspektif.
Dari sinilah, ada kata-kata "budaya" yang dimulai. Melalui aksara, menggerakkan budaya, sebagai tanda bahwa kehidupan manusia tidak berada dalam suatu ruang yang hampa.
Aksara menggerakkan bahasa, dimana bahasa adalah kediaman ada. Bahasa adalah rumah dimana gagasan bergerak, seperti hanacaraka.
Selaik mantra, bahasa mendapatkan kuasa domestiknya, yang otonom dan menggerakkan adab, menggerakkan nalar. Kelahiran penyair dan penulis adalah bukti dari gerak jagad aksara itu sendiri.Â
Penyair adalah peracik angan, ketegasan sikap, jiwa, bahasa, dan sudut pandang untuk mencipta atau sekedar pengantar maksud. Dan aksara menjadi sebuah gambaran dimana semua ihwal itu bermakam dan terus bergerak.Â
Kita dapat mengingat gerak aksara dan imaji kepenyairan (seniman) telah hadir sejak lama. Dalam kesusastraan Yunani dan Latin, Plutarchos berpendapat bahwa lukisan adalah puisi bisu, dan puisi adalah lukisan bersuara.
Dalam jagad Jawa, kita mengenal Ki Padmosoesastro yang juga menerbitkan serial bahasa sehari-hari yang digunakan oleh para petani di Jawa pada tahun 1886, 1900, 1907, 1911 (S. Margono, 2004: 112).
Aksara dan bahasa yang mengandung kompleksitasnya sendiri bahkan tak rampung diurusi penyair itu sendiri. Slamet Mulyana (1956: 34) berkata bahwa, "tetapi betapapun besarnja keinginan penjair akan memperlihatkan angannja, tidak mungkin ia melahirkannja sama tepat dengan angannja sendiri, karena bentuk angan itu berbeda dengan bentuk bahasa."Â
Angan atau imaji yang tertuang melalui aksara bertujuan untuk mengantarkan maksud-maksud dari penulis itu sendiri. Sebagai hasilnya, aksara dan bahasa seakan-akan sanggup membuat bentuk-bentuk konkrit sebagai wakil dari pemahaman yang tercipta dari gerak verstehen (tafsir) jiwa kepenyairan.
Di sinilah terlihat bagaimana aksara menanggapi imaji atau angan manusia yang bahkan tak pernah cukup atau tak pernah berhenti bergerak bersama pembacaan terhadap semesta.
Jika kita melihat pada suatu nalar realisme yang diusung oleh garis pemikiran Marxis, maka aksara yang tertulis, terucap, dan terdistribusikan secara apik-kontekstual, akan membahasakan sebuah garis lurus dari dunia yang bengkok.Â
Bengkok disini ada dalam pengertian ada manipulasi makna. Ketika status quo menjadi tujuan memakai aksara dan bahasa secara politis, maka kita hidup bahkan dalam aksara dan bahasa yang bengkok.Â
Realisme beraksara ini dapat kita lihat di Serat Kalatidha, Sehari Saja Kawan, atau Sajak Sebatang Lisong. Aksara dan bahasa dalam ketiga tulisan tersebut mencoba untuk mengutarakan sebuah garis lurus tentang realitas itu sendiri, intinya tentang penyadaran pada masyarakat (pembaca).
Kerja kepenyairan adalah sebuah bentuk transformasi kerja jagad aksara dan bahasa sebelumnya. Kerja kepenyairan kini yang menggunakan "aksara" Latin menjadi tanda bahwa kerja imajinasi dan angan yang tak henti setelah jagad aksara kehilangan otonominya paska-kolonial hadir di Nusantara.
Bergantinya aksara ke huruf Latin membuat kerja kepenyairan dikatakan lebih sulit dan lebih mudah. Lebih sulit karena kerja nalar dan angan penyair sedikit banyak kehilangan akar kultural, ini dapat ditandai dengan beragam imaji tak terdefinisikan dengan huruf Latin dan bahasa formal. Lebih mudah karena begitu banyak masyarakat yang akan bisa membacanya atau memaknainya pada situasi kontemporer.
Perlahan tapi pasti, aksara diidentikkan dengan huruf. Pengertian identik antara aksara dan huruf ini dapat kita temui di pelbagai surat, buku, iklan, spanduk, baliho, SMS, dan lain-lain.
Perubahan ini terasa paska aksara Jawa tak lagi dibaca --menilik pada riset Struktur Puisi Jawa Modern (1983) oleh Sutadi Wiryatmaja dkk.- bahwa ada perubahan struktural dalam pemakaian dan gerak aksara serta bahasa sejak tahun 1920-an di Jawa modern akibat kehadiran kolonial di Nusantara.
Perubahan pemakaian aksara dan gerak bahasa ini dituliskan Jean Paul Sartre dalam Kata-Kata (2000: 219), "...kita bicara dalam bahasa ibu, tetapi selalu menulis dalam bahasa "asing". Kesimpulanku, kami penulis sama saja: semua adalah tahanan, residivis, warga gerombolan bertato".Â
Kata-kata Sartre di atas dapat menjadi peringatan untuk menyadarkan bahwa aksara dan bahasa yang kita pakai tak lagi otonom untuk merujukkan diri (penulis) pada akar kultural kita. Bahkan, untuk menulis saja kita tidak lagi otonom, atau dengan kata lain, penulis membutuhkan kerja yang lebih keras untuk menulis, kalau tidak, pilihannya adalah menjadi "tahanan", "residivis", "warga gerombolan bertato" akibat rezim bahasa formal.
Lalu, apa yang disebut sebagai aksara? Apa yang disebut bahasa? Segala definisi dan situasi terus berubah, dan iman menjadi paham pragmatisme. Aksara hadir dalam propaganda, spanduk partai politik, agitasi, pidato yang membuat kantuk, doktrinasi, dan penjilatan. Beraksara dan berbahasa kini hanyalah semacam angan-angan untuk berdialog lebih jauh.Â
Jagad bahasa menjadi lebih marjinal dan dianggap sebagai kerja yang rumit, maka dari itu ditinggalkan. Ariel Heryanto dalam Perlawanan dalam Kepatuhan (2000: 145) menuliskan bahwa zaman ini penuh bencana, lebih aman bicara tentang awalan, akhiran, kalimat majemuk, atau membenahi lafal seseorang.Â
Dan George Orwell pun mengkritik kondisi kebahasaan ini dengan bahasa yang sangat lugas bahkan provokatif, "bahasa dari kalangan politik dirancang untuk membuat dusta kedengarannya benar, pembunuhan kedengarannya mulia, dan omong kosong kedengarannya meyakinkan."
Membahasakan aksara dan mengaksarakan bahasa kini telah menjadi perkara. Siapa yang mau kembali untuk menggerakkan dan menziarahi keduanya (aksara dan bahasa) akan menuai polemik, bahkan diperkarakan, atas nama undang-undang, ketertiban umum, atau sekedar mengganggu citra seseorang. Siapa yang menulis sebagai jamaah formalisme realitas-manipulatif akan diagungkan.Â
Inilah suatu negeri yang berlimpah aksara dan bahasa, namun kini banyak yang hampa; yang sunyi adalah yang terpinggirkan; yang tak berguna komersil adalah yang tiada. Celakalah, jika siulan, tawa, airmata sudah tak berguna, padahal semuanya dipahami melalui bahasa dan aksara yang terbaca.Â
Di sisi lain, kita memahami dan terpanggil untuk sekedar tahu bahwa kerja aksara dan bahasa yang asali maknanya senantiasa segar dan manis di bibir hati dan telinga nurani.
Selamat Hari Aksara! Hari ini, 8 September.
Yogyakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H