Mohon tunggu...
Maulana Kurnia Putra
Maulana Kurnia Putra Mohon Tunggu... Lainnya - Chief of Representative Daarul Qur'an

Amil zakat dan pekerja sosial

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Membahasakan Aksara, Mengaksarakan Bahasa, Perkara!

8 September 2024   05:43 Diperbarui: 8 September 2024   17:01 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kelas Menulis dan Menyusun Program Sosial oleh penulis

Kita dapat mengingat gerak aksara dan imaji kepenyairan (seniman) telah hadir sejak lama. Dalam kesusastraan Yunani dan Latin, Plutarchos berpendapat bahwa lukisan adalah puisi bisu, dan puisi adalah lukisan bersuara.

Dalam jagad Jawa, kita mengenal Ki Padmosoesastro yang juga menerbitkan serial bahasa sehari-hari yang digunakan oleh para petani di Jawa pada tahun 1886, 1900, 1907, 1911 (S. Margono, 2004: 112).

Aksara dan bahasa yang mengandung kompleksitasnya sendiri bahkan tak rampung diurusi penyair itu sendiri. Slamet Mulyana (1956: 34) berkata bahwa, "tetapi betapapun besarnja keinginan penjair akan memperlihatkan angannja, tidak mungkin ia melahirkannja sama tepat dengan angannja sendiri, karena bentuk angan itu berbeda dengan bentuk bahasa." 

Angan atau imaji yang tertuang melalui aksara bertujuan untuk mengantarkan maksud-maksud dari penulis itu sendiri. Sebagai hasilnya, aksara dan bahasa seakan-akan sanggup membuat bentuk-bentuk konkrit sebagai wakil dari pemahaman yang tercipta dari gerak verstehen (tafsir) jiwa kepenyairan.

Di sinilah terlihat bagaimana aksara menanggapi imaji atau angan manusia yang bahkan tak pernah cukup atau tak pernah berhenti bergerak bersama pembacaan terhadap semesta.

Jika kita melihat pada suatu nalar realisme yang diusung oleh garis pemikiran Marxis, maka aksara yang tertulis, terucap, dan terdistribusikan secara apik-kontekstual, akan membahasakan sebuah garis lurus dari dunia yang bengkok. 

Bengkok disini ada dalam pengertian ada manipulasi makna. Ketika status quo menjadi tujuan memakai aksara dan bahasa secara politis, maka kita hidup bahkan dalam aksara dan bahasa yang bengkok. 

Realisme beraksara ini dapat kita lihat di Serat Kalatidha, Sehari Saja Kawan, atau Sajak Sebatang Lisong. Aksara dan bahasa dalam ketiga tulisan tersebut mencoba untuk mengutarakan sebuah garis lurus tentang realitas itu sendiri, intinya tentang penyadaran pada masyarakat (pembaca).

Kerja kepenyairan adalah sebuah bentuk transformasi kerja jagad aksara dan bahasa sebelumnya. Kerja kepenyairan kini yang menggunakan "aksara" Latin menjadi tanda bahwa kerja imajinasi dan angan yang tak henti setelah jagad aksara kehilangan otonominya paska-kolonial hadir di Nusantara.

Bergantinya aksara ke huruf Latin membuat kerja kepenyairan dikatakan lebih sulit dan lebih mudah. Lebih sulit karena kerja nalar dan angan penyair sedikit banyak kehilangan akar kultural, ini dapat ditandai dengan beragam imaji tak terdefinisikan dengan huruf Latin dan bahasa formal. Lebih mudah karena begitu banyak masyarakat yang akan bisa membacanya atau memaknainya pada situasi kontemporer.

Perlahan tapi pasti, aksara diidentikkan dengan huruf. Pengertian identik antara aksara dan huruf ini dapat kita temui di pelbagai surat, buku, iklan, spanduk, baliho, SMS, dan lain-lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun