Mohon tunggu...
Maulana Kurnia Putra
Maulana Kurnia Putra Mohon Tunggu... Lainnya - Chief of Representative Daarul Qur'an

Amil zakat dan pekerja sosial

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Membahasakan Aksara, Mengaksarakan Bahasa, Perkara!

8 September 2024   05:43 Diperbarui: 8 September 2024   17:01 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perubahan ini terasa paska aksara Jawa tak lagi dibaca --menilik pada riset Struktur Puisi Jawa Modern (1983) oleh Sutadi Wiryatmaja dkk.- bahwa ada perubahan struktural dalam pemakaian dan gerak aksara serta bahasa sejak tahun 1920-an di Jawa modern akibat kehadiran kolonial di Nusantara.

Perubahan pemakaian aksara dan gerak bahasa ini dituliskan Jean Paul Sartre dalam Kata-Kata (2000: 219), "...kita bicara dalam bahasa ibu, tetapi selalu menulis dalam bahasa "asing". Kesimpulanku, kami penulis sama saja: semua adalah tahanan, residivis, warga gerombolan bertato". 

Kata-kata Sartre di atas dapat menjadi peringatan untuk menyadarkan bahwa aksara dan bahasa yang kita pakai tak lagi otonom untuk merujukkan diri (penulis) pada akar kultural kita. Bahkan, untuk menulis saja kita tidak lagi otonom, atau dengan kata lain, penulis membutuhkan kerja yang lebih keras untuk menulis, kalau tidak, pilihannya adalah menjadi "tahanan", "residivis", "warga gerombolan bertato" akibat rezim bahasa formal.

Lalu, apa yang disebut sebagai aksara? Apa yang disebut bahasa? Segala definisi dan situasi terus berubah, dan iman menjadi paham pragmatisme. Aksara hadir dalam propaganda, spanduk partai politik, agitasi, pidato yang membuat kantuk, doktrinasi, dan penjilatan. Beraksara dan berbahasa kini hanyalah semacam angan-angan untuk berdialog lebih jauh. 

Jagad bahasa menjadi lebih marjinal dan dianggap sebagai kerja yang rumit, maka dari itu ditinggalkan. Ariel Heryanto dalam Perlawanan dalam Kepatuhan (2000: 145) menuliskan bahwa zaman ini penuh bencana, lebih aman bicara tentang awalan, akhiran, kalimat majemuk, atau membenahi lafal seseorang. 

Dan George Orwell pun mengkritik kondisi kebahasaan ini dengan bahasa yang sangat lugas bahkan provokatif, "bahasa dari kalangan politik dirancang untuk membuat dusta kedengarannya benar, pembunuhan kedengarannya mulia, dan omong kosong kedengarannya meyakinkan."

Membahasakan aksara dan mengaksarakan bahasa kini telah menjadi perkara. Siapa yang mau kembali untuk menggerakkan dan menziarahi keduanya (aksara dan bahasa) akan menuai polemik, bahkan diperkarakan, atas nama undang-undang, ketertiban umum, atau sekedar mengganggu citra seseorang. Siapa yang menulis sebagai jamaah formalisme realitas-manipulatif akan diagungkan. 

Inilah suatu negeri yang berlimpah aksara dan bahasa, namun kini banyak yang hampa; yang sunyi adalah yang terpinggirkan; yang tak berguna komersil adalah yang tiada. Celakalah, jika siulan, tawa, airmata sudah tak berguna, padahal semuanya dipahami melalui bahasa dan aksara yang terbaca. 

Di sisi lain, kita memahami dan terpanggil untuk sekedar tahu bahwa kerja aksara dan bahasa yang asali maknanya senantiasa segar dan manis di bibir hati dan telinga nurani.

Selamat Hari Aksara! Hari ini, 8 September.

Yogyakarta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun