Mohon tunggu...
Maulana Hanif Izzulhaq
Maulana Hanif Izzulhaq Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Manajemen UNNES

"Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai" Pramoedya

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Premeditatio Malorum: Awali Hari dengan Memikirkan Hal Buruk

9 Juni 2024   17:00 Diperbarui: 10 Juni 2024   16:00 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sadar ga sih? kita tuh sering loh menyiksa diri dengan pikiran-pikiran buruk yang justru pikiran itu tidak lebih menyakitkan daripada kenyataan yang terjadi. Loh, berarti kan kita ga perlu dong negative thinking, gimana sih maksudnya? kenapa judulnya gitu? ngapain juga kita harus melakukan hal itu? kan jelas-jelas negative thinking, kok malah disuruh mengawali hari dengan aktivitas yang tidak memotivasi gitu? mungkin kalian menganggap judul ini clickbait, tetapi memang kesannya agak paradoks (bertentangan).


Terdapat sebuah studi terkait kekhawatiran yang tidak terjadi ini, dikutip dari laman Huffington Post dalam artikelnya yang berjudul "85 Percent of What We Worry Never Happens" sejumlah responden diminta mencatat semua kekhawatiran mereka selama beberapa waktu kemudian diakhir studi mereka diminta untuk menandai kekhawatiran yang akhirnya terjadi. Hasilnya 85% responden mengatakan kekhawatiran tersebut tidak pernah terjadi, bahkan dari 15% sisanya, terdapat 79% diantaranya mengatakan mampu mengatasinya lebih baik dari yang diharapkan atau dari kesulitan tersebut memberikannya pelajaran berharga. Nah, dari studi ini disimpulkan bahwa 97% dari apa yang kita khawatirkan tidak lebih dari sekadar pikiran-pikiran yang menakutkan.


Premeditatio Malorum diawali dengan dikotomi kendali dan diakhiri dengan kesimpulan "apa yang bisa dilakukan untuk mengurangi dampak seandainya hal buruk itu benar terjadi? kemudian jika tidak ada solusi, apakah kita akan benar-benar tersakiti?"


Pertama, perlu kita sadari terkait dikotomi kendali. Ada sebagian hal dalam hidup yang berada dibawah kendali kita dan sebagian lagi tidak. Selanjutnya, emosi negatif, seperti marah, sedih, kesal, dan jengkel yang justru sumbernya bukan dari peristiwa dalam hidup, melainkan persepsi, anggapan dan pendapat kita sendiri atas peristiwa tersebut.

Sebuah imunisasi mental

Praktik ini cara kerjanya mirip dengan imunisasi, kekebalan tubuh tercipta dari kuman yang sudah dilemahkan. Dengan kata lain, sistem kekebalan tubuh bisa mempersiapkan diri untuk melawan seandainya kuman yang sesungguhnya datang. Dari analogi tersebut, dapat diartikan bahwa musibah akan terasa lebih berat jika datang tanpa disangka sehingga dengan menduga setiap kemungkinan buruk yang akan terjadi, bahkan seandainya terjadi pun, kita akan lebih siap menghadapinya.


Contohnya, saat akan perjalanan menuju kampus atau kantor. Jika kita sudah memikirkan akan menemui banyak hal yang tidak mengenakkan di jalan, entah kecelakaan, kemacetan atau jalan dialihkan maka hal-hal buruk itu tidak akan terlalu menyebalkan, bahkan dengan memprediksi saja kita malah jadi kepikiran cara untuk mengantisipasinya.

Barangkali kita pernah berpikir, hampir semua kejadian buruk yang kita bayangin tuh udah pernah terjadi ke orang lain sehingga tidak ada yang benar-benar baru dalam hidup ini kemudian seandainya hal buruk itu tidak ada solusinya, kita masih bisa mikir "apa seburuk-buruk akibat kalau hal itu terjadi? apa benar itu bencana? atau kalau dipikir-pikir lagi ada loh orang yang pernah mengalami hal serupa yang pada akhirnya ternyata konsekuensinya tidak seburuk yang dibayangkan". 

Seperti sebuah letters dari seorang filsuf Stoik bernama Seneca "we suffer more in imagination than in reality" yang artinya "kita menderita lebih diimajinasi kita daripada kenyataan".

Masih kurang paham?

Contoh lagi nih, agar lebih jelas kaitannya dengan dikotomi kendali. Misalnya, ketika kita akan menembak cewe, karena kita menerapkan Premeditatio Malorum ini, maka kita sudah membayangkan seandainya ditolak. Sebab, kita sadar bahwa respon si cewe diluar kendali kita. Pertama yang harus kita pikirkan adalah penolakan ini bukan akhir dari segalanya, ditambah jika kita rasional penolakan itu bisa dilihat bukan sebagai bencana besar. Justru penolakan tadi harus kita anggap sebagai kejelasan dari hubungan, lebih baik daripada digantung sehingga kita bisa terbebas dan bisa membuka hati lagi kepada orang lain.


Jadi mulai sekarang, mari awali hari dengan mengatakan pada diri sendiri bahwa hari ini saya akan menemui gangguan, hinaan, pengkhianatan, niat buruk, bertemu orang egois, tidak tahu berterima kasih, dan segala hal yang tidak menyenangkan.


Dengan demikian, akan membuat perasaan kita menjadi lebih tenang dan tidak kaget lagi dalam menyikapi situasi seandainya terjadi. Sebab, dalam konteks ini berpikir buruknya itu disengaja, dengan nalar dan kepala dingin. Bukan negative thinking yang sifatnya emosional, hanya berupa kekhawatiran yang tidak perlu, tidak berujung apa-apa, muncul sendiri tanpa kendali, dan menyiksa tanpa ada solusi.


Ironisnya, negative thinking mungkin bisa membuat seseorang menjadi lebih bahagia. Sebab, jika ternyata hal buruk yang dibayangkan tidak terjadi, tentu kita akan lebih bahagia dengan hari kita dan seandainya terjadi pun terkadang penderitaannya tidak semenyakitkan itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun