Mohon tunggu...
Maulana Fikri
Maulana Fikri Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Universitas Islam Negeri Jakarta Jurusan Dirasat Islamiyah

Sedang Belajar meramu rasa lewat kata dengan hati sekhusyu' khusyu'nya.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Demokrasi Mati Suri

14 Agustus 2024   00:19 Diperbarui: 14 Agustus 2024   00:19 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat merupakan pengertian demokrasi secara umum yang diungkapkan oleh abraham lincoln (presiden amerika serikat ke-16). Pengertian tersebut menjadi konsep demokrasi yang familiar dan populer semenjak dulu hingga sekarang. Bahkan, mungkin saat kita duduk di bangku sekolah dasar, para guru kita mengajari konsep demokrasi yang demikian.

jika merujuk pada pengertian etimologis, istilah demokrasi berasal dari yunani kuno, yaitu dari kata demos yang berarti rakyat dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan. sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat. Sidney hook memberikan pengertian yang lebih rinci mengenai demokrasi. 

Bahwa demokrasi menurutnya adalah bentuk pemerintahan dimana keputusan-keputusan pemerintah yang penting secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas oleh rakyat biasa. sementara definisi demokrasi, dalam buku Dasar-dasar ilmu politik karya Prof Miriam Budiarjo, merupakan suatu bentuk pemerintahan dimana hak untuk membuat keputusan- keputusan politik diselenggarakan oleh warga negara melalui wakil-wakil yang dipilih oleh mereka dan yang bertanggung jawab kepada mereka melalui suatu proses pemilihan yang bebas.

Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan, apapun pengertian yang dirumuskan mengenai demokrasi, memiliki sebuah benang merah bahwasannya demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang menitikberatkan dan memposisikan rakyat sebagai suatu elemen yang berperan penting sekaligus aktor utama yang bermain di dalam penyelenggaraan sebuah pemerintahan. 

rakyat yang memegang kekuasaan tertinggi baik secara langsung ataupun diwakilkan oleh wakil-wakil yang dipercayakan dan dipilih melalui pemilu, oleh karena itu setiap keputusan dan kebijakan yang dihasilkan pada akhirnya akan dikembalikan kepada rakyat atau memihak kepentingan rakyat. 

tidak heran jika ada pernyataan populer dalam iklim demokrasi yang menganggap bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan, melihat pentingnya eksistensi dan partisipasi rakyat sebagai unsur yang terlibat aktif dalam penyelenggaraan sistem demokrasi, sebagai unsur penentu setiap kebijakan dan keputusan yang ada di pemerintahan. 

meskipun, jika kita melihat pada sejarah yang ada, terkait pernyataan "suara rakyat adalah suara Tuhan" (vox populi vox dei), pada awalnya bukan merupakan suatu bentuk sistem demokrasi yang baku, tetapi suatu bentuk perlawanan (Gerakan revolusi) kaum rakyat yang tertindas atas sistem pemerintahan monarki yang dipimpin oleh seorang raja, dimana raja mendapatkan legitimasi dari klaimnya bahwa dirinya adalah wakil Tuhan di bumi sehingga dia memiliki kekuasaan absolut (vox rei vox dei). 

Karena itu, raja tidak pernah bertanggung jawab terhadap rakyat tetapi terhadap Tuhan. Stigma ini melahirkan tindakan sewenang-wenang dan kebijakan yang cenderung menindas rakyat dari seorang raja yang pada gilirannya memunculkan protes. raja dibunuh, dan massa menuntut pemerintahan yang lebih berkeadilan serta melibatkan semua rakyat dalam pengambilan suatu keputusan dan kebijakan.

Namun yang menjadi hal substansial dari pernyataan tersebut adalah terletak pada bagaimana keputusan final atau faktor penentu suatu kebijakan dalam suatu pemerintahan atau negara yang ujungnya berada di tangan rakyat, rakyat yang menentukan, di titik inilah kedaulatan rakyat benar-benar terwujud, dan pada fase inilah hakikatnya benih-benih/prinsip demokrasi sudah dijalankan.

Bentuk sistem pemerintahan seperti ini terdengar ideal untuk diterapkan dalam proses penyelenggaraan pemerintahan, karena rakyat diposisikan sebagai pemangku kedaulatan tertinggi yang memegang kendali untuk melaksanakan proses pelaksanaan dan pengawasan atau check and balance birokrasi secara langsung agar keputusan serta kebijakan yang dihasilkan tidak hanya berdampak pada segelintir golongan atau kelompok saja tetapi dapat mewakili dan mengakomodir kepentingan rakyat secara luas. Sehingga keadilan sejahtera yang diwujudkan nantinya dapat merata untuk seluruh rakyat. 

Demokrasi Indonesia Hari ini

Tetapi dewasa ini. Dalam konteks negara Indonesia, Kita menyaksikan berbagai peristiwa dan fenomena dimana kemudian konsep demokrasi yang dirumuskan tersebut, ternodai oleh instrumen-instrumen pelaksana demokrasi itu sendiri. sehingga nilai-nilai yang berusaha dijunjung dan diterapkan justru nihil dari kata ideal dan cenderung memarginalkan kepentingan banyak rakyat serta menguntungkan segelintir elite politik saja. 

Demokrasi kehilangan wajah Demos (red.rakyat)-nya, sistem demokrasi seakan mati suri dan hanya sebatas praktik untuk mengejar kekuasaan dan mementingkan kelompok tertentu saja. Hal tersebut dapat kita saksikan dan amati secara jelas lewat banyaknya sikap dan kebijakan beberapa waktu lalu yang dibuat oleh pemerintah. 

Diantaranya adalah Praktik politik dinasti yang terjadi dan dilakukan secara gamblang oleh pejabat di negara kita yang katanya menganut demokrasi. yaitu merevisi pasal 169 huruf (q) UU nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur tentang batas usia minimal pencalonan presiden dan wakil presiden yang semula harus berusia 40 tahun, dengan putusan MK yang terbaru bahwa, calon presiden dan wakil presiden tidak harus berusia 40 tahun asal-kan berpengalaman menjadi kepala daerah maka dapat mencalonkan diri dan ikut berkontestasi. keputusan ini dibuat menjelang dilaksanakannya pemilu 2024, kemudian diiringi dengan pencalonan gibran rakabuming raka sebagai cawapres 2024 yang merupakan anak sulung dari presiden jokowi yang sedang menjabat.

kita tentu bisa menebak dengan jelas motif dibalik hal tersebut dan siapa sesungguhnya pihak yang paling diuntungkan dalam penetapan kebijakan tersebut. Siapa yang kemudian berniat untuk melanggengkan kekuasaan dengan cara mengangkangi konstitusi yang telah dirumuskan oleh para founding father. 

Politik dinasti ini jelas bertentangan dengan budaya demokrasi yang sedang tumbuh di negeri kita tercinta. Alasannya sederhana, karena Indonesia bukanlah negara monarki yang memilih pemimpin berdasarkan garis keturunan. disamping itu politik dinasti pasti mengabaikan kompetensi dan rekam jejak. Bahkan, bisa mengebiri peran masyarakat dalam menentukan pemimpin.

Maraknya praktik korupsi yang terjadi didalam negeri, juga turut menambah daftar panjang pelucutan nilai-nilai demokrasi. tidak dapat dipungkiri bahwa hal ini merupakan buntut dari akar permasalahan praktik dinasti politik yang dilanggengkan sehingga melahirkan sikap permisif pemegang kekuasaan untuk melanggar tata kelola. 

ikatan kekeluargaan memberikan rasa saling percaya dan melindungi untuk bersama "memainkan" peran dalam memanfaatkan hak-hak publik bagi kepentingan private. Termasuk pemanfaatan uang negara untuk kantong pribadi. Itulah mengapa kasus korupsi yang muncul di Indonesia kerap melibatkan kalangan yang memiliki kedekatan khusus dengan seorang pelaku korupsi. 

Sebagiannya benar-benar melibatkan pertalian darah atau keluarga. Dapat terlihat seperti pada kasus korupsi di Provinsi Banten yang melibatkan Dinasti Chasan Sochib, yakni kedua anaknya Atut Chosiyah dan Chaeri Wardana dalam kasus pengadaan alat kesehatan. juga misalnya kasus korupsi Bupati Kutai Timur, Ismunandar, yang melibatkan istrinya yaitu Encek unguria, terkait kasus suap pekerjaan infrastruktur di Pemerintah Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan timur. 

Tentu, kasus-kasus tadi menjadi bukti nyata bahwa nepotisme menjadi salah satu sumber terjadinya praktik korupsi yang massif dan terstruktur. fenomena lain dapat kita amati lewat kebijakan dan peraturan yang dibuat dan dihasilkan oleh DPR berupa UU Ciptaker dan Omnibus law, yang lebih menguntungkan pengusaha dan mencekik kaum pekerja.

Atau UU ITE yang bisa dikatakan sebagai produk hukum yang dapat dimainkan seenaknya oleh para pemangku jabatan demi memuluskan kepentingannya karena banyaknya pasal karet didalamnya dan cenderung mengekang kebebasan berpendapat bagi masyarakat sipil, belum lagi Revisi Undang-Undang KPK yang dianggap "melemahkan" lembaga antirasuah tersebut, turut andil memperkeruh iklim demokrasi yang ada di Indonesia. padahal pada hakikatnya watak demokrasi menghendaki adanya kebebasan sepenuhnya kepada rakyat. 

Namun realitanya kebijakan dan produk hukum yang dihasilkan pemerintah cenderung bersikap represif kepada rakyat. akibatnya kondisi demokrasi kita masih sebatas prosedural saja tanpa ruh dan ideologi yang jelas. makna demokrasi secara substansi tidak terjadi karena telah menjadi alat elite semata dan kelompok-kelompok oportunis untuk melakukan eksploitasi kepada rakyat yang justru menyuburkan praktik anti-demokrasi di negara kita.

Ikhtiar Mengembalikan Wajah Demokrasi

Pada hakikatnya, watak utama demokrasi adalah mempersilakan. Demokrasi seperti perawan yang merdeka dan memerdekakan. Semua makhluk penghuni kehidupan berhak "memperkosanya"; yang melarang "memperkosa" bukanlah demokrasi itu sendiri melainkan "sahabat"-nya bernama moral dan hukum. Money Politic tidak diawasi oleh demokrasi, karena yang bertugas adalah undang-undang. Yang mengurusi dan mewaspadai pemilu dan golput adalah pertandingan kekuasaan dan akses politik.

Meminjam juga ungkapan dari caknun salah seorang budayawan indonesia bahwa, "Demokrasi adalah perawan suci yang yatim piatu, tak punya bapak dan ibu, nasibnya belum pernah diperjelas. Ia memerdekakan manusia sepenuhnya. Semua dan setiap manusia membutuhkan kesucian demokrasi, sebagian untuk tempat berlindung, dan sebagian lain untuk melakukan eksploitasi dan subversi pengkhianatan nilai".

Maka sudah seharusnya setiap manusia "menikahi" demokrasi, memperistri si perawan, tetapi ajaklah ia tinggal di rumah hukum, yang berpondasi ilmu, di lingkungan moral, dengan menjaga nurani, serta pemeliharaan rahasia iman dan hubungan sunyi dengan Tuhan. Dengan begitu maka proses /iklim demokrasi diharapkan dapat berjalan dengan sehat karena adanya integrasi dan kompromi antar berbagai instrumen dan pihak. Pada akhirnya hal ini menjadi pekerjaan kolektif yang membutuhkan konsistensi dan waktu yang tidak singkat. 

Selain itu diperlukan kesadaran berbagai elemen masyarakat untuk terus mengawal proses penyelenggaraan dan pelaksanaan demokrasi di negeri kita tercinta, agar produk serta kebijakan yang dihasilkan nantinya dapat berdampak secara merata sehingga keadilan rakyat bagi seluruh rakyat indonesia dapat terealisasi secara nyata bukan justru melahirkan kondisi keadilan yang hanya menyejahterakan kalangan rakyat kelas atas saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun