Mohon tunggu...
Maulana Ahadi
Maulana Ahadi Mohon Tunggu... Dosen - Dambung

Belajar mengabadikan momen-momen kecil lewat tulisan, dengan harapan dapat menjadi sumber pengetahuan budaya lokal dimasa akan datang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Madam Mangaron (Pergi Mengambil Upah Mengetam Padi ke Banua Orang) Upaya Warga Desa Angkinang Selatan dalam Memenuhi Ekonomi Keluarga

24 September 2024   10:49 Diperbarui: 27 September 2024   07:34 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar : Maulana Ahadi

Hingar bingar kehidupan didesa mewarnai setiap perkembangannya, dari masa ke masa, wajah desa yang terus berbah menandai bahwa zaman semakin tua bagi generasi yang hidup pada masa millenial, terus berganti hingga lahir generasi X bahkan Z.

Pergerakan kehidupan ekonomi yang terus berjalan hingga sekarang, sebagai salah satu perputaran roda kehidupan masyarakat, hal tersebut adalah bagian dari sejarah bagaimana orang terdahulu bertahan menjalani kehidupan yang keras dan  berat untuk memenuhi segala kebutuhan ekonominya, agar dirinya dan keluarganya dapat memenuhi segala kebutuhan hajatnya, baik sandang, pangan maupun papan.

Keadaan ekonomi yang terbatas memang mendorong warga untuk memutar segala daya dan upaya untuk terus bertahan memenuhi kebutuhan ekonominya, apalagi kondisi geografis yang kurang mendukung, kondisi pemanfaatan alam yang terbatas oleh musim juga turut mempengaruhi kegiatan dalam mata pencaharian ekonomi warga.

Begitulah gambaran warga Desa Angkinang Selatan Era Tahun 70 hingga 90-an, dimana hampir 70 % masyarakatnya menggantungkan kehidupan ekonominya dari bertani, hanya sebagian warga yang beprofesi sebagai pedagang maupun yang menjadi pegawai negeri.

Bertani adalah aktivitas rutin yang dilakukan warga, namun hal itu terbatas hanya bisa dilakukan satu musim sekali dalam setahun, apalagi masa itu, untuk mendapatkan padi, warga harus menanam, memelihara dan menuggu hingga padi berbuah dan siap untuk dipanen memakan waktu hingga 6 bulan lamanya.

Hal ini dikarenakan jenis padi yang ditanam warga adalah jenis padi tahunan. Berbeda  kalau sekarang, lahir berbagai jenis varian padi hasil kawin silang, antara beras luar dan beras lokal. Maka padi jenis ringan bisa berbuah dalam waktu tiga bulan.

Akan tetapi tantangan tidak hanya datang dari lama tanam, namun juga kondisi tanah yang hanya bergantung pada musim hujan, biasanya di akhir bulan Nopember warga akan mulai bersiap untuk membersihkan sawahnya, mempersiapkan benihnya untuk disemai, untuk persiapan tanam.

Di daerah Angkinang Selatan sendiri memang sejak dahulu telah diupayakan dibangun segala jenis pengairan baik irigasi dan sebagainya, namun karena memang kondisi yang tidak dapat diprediksi, maka untuk pemanfaatan pengairan untuk rencana tanam dua kali dalam setahun urung berhasil dilaksanakan, alhasil warga tetap hanya bisa melakukan aktivitas bertani sekali dalam setahun.

Setelah selesesai masa bertani, maka datanglah masa yang dinamakan warga masa "Ranai", maksudnya tidak ada lagi pekerjaan. Warga hanya menggantungkan hidup dari hasil bertani yang sudah dijalani, baik untuk makan maupun belanja kebutuhannya sehari-hari. Jika ingin uang, maka petani harus menjual sebagian hasil padinya, dan sebagian lagi disimpan untuk makan.

Tentunya ini tidak sebanding untuk memenuhi kehidupan keluarganya selama setahun, karena hasil hanya sekali, itupun didapat setelah enam bulan, sisanya hanya menunggu untuk kembali bertani pada tahun tanam berikutnya. Inilah yang mendorong sebagian warga, khusunya para lelaki untuk mencoba peruntungan lain, mencari tambahan penghasilan dengan madam mangaron atau mencari pekerjaan lain diluar dari desanya hingga ke kabupaten tetangga.

Dahulu pada Era tahun 70 hingga 90-an, menurut orang tua kalau cuma untuk lauk, warga desa tidaklah begitu sulit untuk mendapatkan ikan, karena ikan adalah salah satu yang sangat mudah untuk didapat. Karena warga cukup turun ke sungai menggunakan alat seadanya, bahkan hanya dengan "bekacal" menangkap ikan dengan tangan ikan bisa didapat, kondisi yang menurut orang tua dahulu menggambarkan melimpahnya ikan disungai, kondisi terbalik ditahun 2000-an hingga sekarang, jangan untuk mendapatkan ikan, Sungai pun sudah tidak ada airnya, diperparah lagi pola hidup masyarakat yang instan dan kurang bijak dalam mendapatkan ikan dengan hal-hal yang tidak ramah lingkungan, seperti penggunakan obat-obatan bahkan setrum.

Dibalik ketersediannya lauk pauk yang mudah pada masa itu, namun kebutuhan akan uang untuk biaya lainya dan untuk bertahan mencukupi beberapa bulan musim "ranai", maka tetap mendorong beberapa suami atau pemuda untuk berangkat mencari tambahan.

Biasanya tujuan mengaron ini adalah kota Gambut Kabupaten Banjar, bahkan hingga ke Tamban Kabupaten Barito Kuala. Hal ini memang masuk akal mengingat Gambut hinggga Tamban terkenal dengan lahan pertanian yang luas. Bahkan satu orang pemilik lahan bisa mencapai beberapa hektar, berbeda dengan orang Angkinang Selatan yang hanya Bertani paling paling 10 sampai 20 borongan.

Kondisi kepemilikan tanah pertanian yang luas bagi pertani di daerah Gambut hingga Tamban, secara tidak langsung membuka kesempatan bagi orang-orang luar yang memiliki kerabat di Gambut atau Tamban untuk ikut mengambil upah sebagai buruh tani harian, biasanya puncaknya ketika musim panen padi, atau ketam padi.

Menurut penuturan orang tua penulis, dahulu beliau bersama beberapa orang sanak saudara, jika musim "ranai" pekerjaan dikampung, maka akan pergi madam mengaron ke daerah Tamban. Mencari beberapa kenalan keluarga yang bersedia mencari pekerja yang mau mengambil upah mengetam padi di sawahnya.

Hal ini bisa dilakukan berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan, ikut bermalam ditempat tuan pemilik sawah, demi mencari upah dari memanen padi tadi. Biasanya lagi menurut orang tua, hasilnya tidak langsung dibayar, namun hasil padi harus dikumpulkan terlebih dahulu, hasil bisa ditentukan banyaknya takaran padi yang didapat, proses yang panjang yang dilakukan para pengambil upah, mulai mengetam, bairik (cara melepaskan padi secara tradisional), bagumba (membesihkan sisa-sisa daun dan batang). Hinggga barulah didapat hasil yang diinginkan pemilik padi dan sawah.

Upah biasanya bisa dibayar perminggu atau per tiga hari tergantung majikan. Jika pengambil upah bisa menghemat hasil upah yang didapatnya, maka tentunya dia akan membawa kumpulan uang dari hasil mengaronnya selama beberapa minggu atau berbulan-bulan.

Demikianlah beberapa kondisi perjalanan ekonomi warga desa dalam pemenuhan ekonomi keluarganya, sebagai catatan untuk dikenang, bahwa setiap perjuangan hidup menyebabkan satu kondisi tertentu. (Ahd).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun