Dahulu pada Era tahun 70 hingga 90-an, menurut orang tua kalau cuma untuk lauk, warga desa tidaklah begitu sulit untuk mendapatkan ikan, karena ikan adalah salah satu yang sangat mudah untuk didapat. Karena warga cukup turun ke sungai menggunakan alat seadanya, bahkan hanya dengan "bekacal" menangkap ikan dengan tangan ikan bisa didapat, kondisi yang menurut orang tua dahulu menggambarkan melimpahnya ikan disungai, kondisi terbalik ditahun 2000-an hingga sekarang, jangan untuk mendapatkan ikan, Sungai pun sudah tidak ada airnya, diperparah lagi pola hidup masyarakat yang instan dan kurang bijak dalam mendapatkan ikan dengan hal-hal yang tidak ramah lingkungan, seperti penggunakan obat-obatan bahkan setrum.
Dibalik ketersediannya lauk pauk yang mudah pada masa itu, namun kebutuhan akan uang untuk biaya lainya dan untuk bertahan mencukupi beberapa bulan musim "ranai", maka tetap mendorong beberapa suami atau pemuda untuk berangkat mencari tambahan.
Biasanya tujuan mengaron ini adalah kota Gambut Kabupaten Banjar, bahkan hingga ke Tamban Kabupaten Barito Kuala. Hal ini memang masuk akal mengingat Gambut hinggga Tamban terkenal dengan lahan pertanian yang luas. Bahkan satu orang pemilik lahan bisa mencapai beberapa hektar, berbeda dengan orang Angkinang Selatan yang hanya Bertani paling paling 10 sampai 20 borongan.
Kondisi kepemilikan tanah pertanian yang luas bagi pertani di daerah Gambut hingga Tamban, secara tidak langsung membuka kesempatan bagi orang-orang luar yang memiliki kerabat di Gambut atau Tamban untuk ikut mengambil upah sebagai buruh tani harian, biasanya puncaknya ketika musim panen padi, atau ketam padi.
Menurut penuturan orang tua penulis, dahulu beliau bersama beberapa orang sanak saudara, jika musim "ranai" pekerjaan dikampung, maka akan pergi madam mengaron ke daerah Tamban. Mencari beberapa kenalan keluarga yang bersedia mencari pekerja yang mau mengambil upah mengetam padi di sawahnya.
Hal ini bisa dilakukan berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan, ikut bermalam ditempat tuan pemilik sawah, demi mencari upah dari memanen padi tadi. Biasanya lagi menurut orang tua, hasilnya tidak langsung dibayar, namun hasil padi harus dikumpulkan terlebih dahulu, hasil bisa ditentukan banyaknya takaran padi yang didapat, proses yang panjang yang dilakukan para pengambil upah, mulai mengetam, bairik (cara melepaskan padi secara tradisional), bagumba (membesihkan sisa-sisa daun dan batang). Hinggga barulah didapat hasil yang diinginkan pemilik padi dan sawah.
Upah biasanya bisa dibayar perminggu atau per tiga hari tergantung majikan. Jika pengambil upah bisa menghemat hasil upah yang didapatnya, maka tentunya dia akan membawa kumpulan uang dari hasil mengaronnya selama beberapa minggu atau berbulan-bulan.
Demikianlah beberapa kondisi perjalanan ekonomi warga desa dalam pemenuhan ekonomi keluarganya, sebagai catatan untuk dikenang, bahwa setiap perjuangan hidup menyebabkan satu kondisi tertentu. (Ahd).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H