Mohon tunggu...
Matthew Hanzel
Matthew Hanzel Mohon Tunggu... mahasiswa -

Pemerhati isu-isu politik, hubungan internasional, dan teknologi.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Betapa Mengerikannya Sebuah Undang-undang

11 Juli 2014   04:56 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:42 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik


Ada yang lebih mengerikan. Persis dalam kejadian yang sama, sebuah blok "permanen" terbentuk. Mengutip dari harian Republika:

Enam fraksi di DPR mendeklarasikan koalisi permanen di parlemen periode mendatang. Koalisi terdiri Fraksi Golkar, Fraksi Gerindra, Fraksi Demokrat, Fraksi Partai Amanat Nasional, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan. "Kami yang bertandatangan di bawah ini adalah mewakili partai politik masing-masing mendeklarasikan terbentuknya Koalisi Permanen DPR-RI periode 2014-2019," kata Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional, Tjatur Sapto Edy di Kompleks Parlemen Senayan, Selasa (8/7) malam.


Lihat. Enam partai ini tentu Anda lihat berafiliasi dengan salah satu calon presiden. Hebatnya, belum ada presiden baru yang definitif (masih menunggu keputusan resmi KPU), partai-partai ini sudah memutuskan untuk menjadi koalisi permanen pada periode mendatang.

Mengapa mengerikan? Mari kita mulai dengan hal ini: Koalisi permanen ini dianggap sebagai show of force atau unjuk kekuatan dari salah satu calon presiden. Apa yang kita bisa tarik dari pernyataan unjuk kekuatan ini? Jika calon presiden ini betul menang, ia memproyeksikan akan mendapat dukungan absolut dari partai-partai ini yang secara efektif akan menggilas seluruh bentuk oposisi. Jika ia kalah, ia yakin bahwa kelompok permanen ini akan mempersulit hidup pemerintahan yang baru karena pemerintahan tersebut harus menjadi minoritas yang melawan super mayoritas.

Apakah kelompok ini sudah mempersiapkan disaster in the making? Bagaimana peristiwa yang kini banyak dikecam oleh rakyat Indonesia ini dianggap sebagai sebuah "kemenangan" dan unjuk kekuatan oleh kubu yang bersangkutan? Bagaimana hal ini dianggap sebagai cara untuk menunjukkan bahwa koalisi yang dibangunnya merupakan koalisi yang solid? Hal ini tidak masuk akal sama sekali!

Yang lebih menyengsarakan adalah bahwa kali ini kelompok ini membayangkan bahwa DPR merupakan lahan bagi koalisi untuk jumawa. Bagaimana tidak, kelompok ini sudah berani mengklaim pengesahan revisi UU MD3 sebagai "prestasi" sambil menunjukkan bahwa koalisi ini kuat—dan bukan rakyat yang kuat. Apalagi sudah mengatakan, "Kita tunjukkan bahwa koalisi ini kuat!" Tidak sepatutnya mereka lupa bahwa dalam UUD 1945 pasal 1 (2) menyebutkan bahwa, "Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar." Kini, kelompok yang merasa kuat ini sedang bersiap menyandera lembaga parlemen. Sungguh bencana!

Saya teringat pada gagasan teori kontrak sosial, yang menyebutkan bahwa negara tentu merupakan perwujudan dari para rakyat yang ingin bersatu, dan bersama-sama membuat "kontrak" untuk mendirikan negara melalui sebuah lembaga pemerintah. Kalau koalisi ini mengklaim sebagai kekuatan perwakilan rakyat, sementara rakyat dijebak dengan tidak dilibatkan dalam kapitalisasi politik ini, Anda baru saja melihat sebuah pengkhianatan besar terhadap sistem kedaulatan rakyat Indonesia yang seharusnya lebih tinggi dari politik yang sifatnya sangat sementara.

Pada akhirnya


Saya rasa tidak mengherankan jika kini ada tuntutan agar UU MD3 hasil revisi ini dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk melalui proses judicial review. Para pakar-pakar hukum akan menemukan berbagai alasan yang lebih baik dari saya untuk membuat judicial review ini dikabulkan dan UU MD3 ini dibatalkan karena berlawanan dengan UUD 1945. Kita sudah melihat (dan bisa menduga) beberapa alasan konstitusionalnya: tidak mencerminkan kedaulatan rakyat, tidak mencerminkan kesetaraan di depan hukum, dan lainnya.

Juga harus diingat bahwa bukan masalah substansi UU MD3 saja yang perlu dipermasalahkan. Lanjutannya adalah bahwa dari pengesahan ini, dan dari tingkah para politisi "yang terhormat" duduk di ruangan adem tersebut, kita melihat betapa sempitnya nurani dan budi politik di Indonesia, yang memikirkan cara-cara mengambil kekuasaan yang sangat Machiavellian: halalkan segala cara.

Betul memang kata Lord Acton: "Kekuasaan cenderung disalahgunakan (corrupt), kekuasaan mutlak pasti disalahgunakan (corrupts absolutely)."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun