Mohon tunggu...
Matthew Hanzel
Matthew Hanzel Mohon Tunggu... mahasiswa -

Pemerhati isu-isu politik, hubungan internasional, dan teknologi.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Betapa Mengerikannya Sebuah Undang-undang

11 Juli 2014   04:56 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:42 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Anda mungkin bertanya, lalu apa salahnya jika dipilih langsung? Masalahnya adalah memang Indonesia tidak melakukan apa yang lazimnya dilakukan oleh parlemen di seluruh dunia. Kalaupun mau memilih, menurut saya yang terbaik adalah memberikan hak dipilihnya kepada pemegang jumlah kursi terbanyak. Saya cukup yakin dari seluruh anggota DPR yang ada dalam fraksi tersebut, ada orang yang berkompeten untuk menjadi seorang primus inter pares.

Di sisi lain, Anda mungkin juga bertanya, loh, mereka yang mengesahkan revisi kemarin secara bersama-sama sudah berkoalisi, dan blok mereka kini menjadi blok mayoritas, bukankah harusnya mereka yang mendapatkan hak? Permasalahannya, dalam praktik berparlemen kebanyakan, blok mayoritas akan mengandung partai yang memiliki kursi terbanyak di parlemen tersebut. Ada beberapa alasan hal ini terjadi, namun pada umumnya hal ini dikaitkan dengan afiliasi partai yang terbentuk di DPR dan pemerintah (badan eksekutif), di mana pada umumnya (dan sewajarnya), pemimpin pada badan eksekutif serta pemegang suara terbesar dalam parlemen seharusnya berasal dari partai yang sama.

Namun, praktik demikian terjadi kebanyakan dalam sistem pemerintahan parlementer, bukan presidensial seperti Indonesia. Celakanya adalah, Indonesia kini sedang mengalami pemerintahan presidensial 'banci', di mana presiden kini tidak lagi menjadi mitra setara penyusunan undang-undang bersama badan legislatif, tapi justru menjadi 'tukang stempel' yang tinggal menandatangani setiap UU yang disahkan oleh DPR, tanpa punya hak veto (menolak) atau revisi atau mengirimkan balik UU tersebut ke DPR, layaknya yang disyaratkan sistem checks and balances sewajarnya seperti di Amerika Serikat. Dengan demikian, pemerintah Indonesia sebetulnya tersandera oleh drama politik DPR.

Hal inilah yang menimbulkan kekuatiran banyak orang, bahwa kalau blok yang dimaksud tidak memenangkan pemilihan umum presiden Indonesia, maka badan eksekutif dan mayoritas badan legislatif akan diisi oleh partai-partai yang berbeda, dan ini adalah sumber bencana bagi politik Indonesia.

Anda ingat ketika akhir tahun lalu di Amerika Serikat terjadi penutupan pemerintah (government shutdown), ketika sederhananya mayoritas DPR AS, yaitu Partai Republik, karena memiliki pertentangan dengan Presiden Obama, memutuskan untuk menghentikan pembiayaan terhadap pegawai negeri dan badan-badan pemerintah. Celaka sekali! Hanya karena pertentangan masalah Undang-Undang Kesehatan (Medicare) yang ditolak oleh Partai Republik (dan kelompok keras asal Tea Party) kemudian menyandera pembangunan, politik, dan ekonomi lebih dari 300 juta rakyat Amerika!

Hal ini sangat mungkin terjadi di Indonesia jika permasalahan serupa terjadi. Sehingga, memang ada kemungkinan masalah UU MD3 ini menjadi lebih serius dari apa yang kita lihat.

Duduk di atas angin


Lebih lanjut, salah satu aspek revisi dari UU MD3 mensyaratkan bahwa:


  • Angka kuorum untuk keputusan hak menyatakan pendapat dari tiga perempat anggota DPR (420) diperkecil menjadi dua pertiga, sehingga dibutuhkan lebih sedikit anggota untuk mengadakan hak menyatakan pendapat;
  • Untuk melakukan penyidikan terhadap anggota DPR, harus ada izin dari Presiden.


Mari lihat poin pertama. Hak menyatakan pendapat adalah salah satu hak yang dimiliki DPR sebagai lembaga untuk menyatakan pendapat institusionalnya berkenaan dengan berbagai kebijakan pemerintah. Meskipun terlihat lunak, hak menyatakan pendapat seringkali dipahami sebagai nuclear option, yaitu untuk mengusut berbagai dugaan dari DPR jika dalam pengambilan kebijakannya pemerintah, termasuk presiden dan/atau wakil presiden, dianggap melakukan tindak korupsi atau pengkhianatan terhadap negara, atau dianggap sudah tidak mampu lagi menjalankan roda pemerintahan.

Menggunakan hak ini secara sewenang-wenang akan menjadi sangat berbahaya, karena dapat digunakan untuk merendahkan martabat pemerintahan yang berjalan. Mekanisme prosedural awal yang mensyaratkan tiga perempat kuorum tentu dimaksudkan untuk menghindari kesewenang-wenangan fraksi atau kelompok tertentu, menimbang sistem multipartai yang luar biasa plural di Indonesia. Mengecilkan kuorum menjadi dua pertiga sungguh berbahaya, karena terdapat satu "koalisi" yang angkanya sangat, sangat dekat dengan kuorum tersebut, yaitu hanya kurang sekitar dua puluh suara untuk mencapai kuorum tersebut!

Untuk poin yang kedua, hal ini seolah memberikan tembok baru bagi para penegak hukum untuk memberantas tindak kejahatan dari para "yang terhormat" ini. Memang ada lanjutan provisi dari peraturan baru ini, yaitu bisa tanpa izin presiden jika menghadapi hukuman sangat berat (seumur hidup atau mati), kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara, atau tertangkap tangan. Apa yang tidak tersebut? Ya, korupsi. Hal ini akan menjadi penghalang baru upaya pemberantasan korupsi sebagai extraordinary crime. Lebih berpotensi berbahaya jika ternyata asal partai dari presiden dan si pelaku sama, ada potensi konflik politik, konflik kepentingan, dan sebagainya—bukan tidak mungkin presiden yang dimaksud akan secara sengaja memberikan 'impunitas' halus kepada anggota parlemen tersebut! Celaka!

Lebih lembutnya, hal ini sebetulnya mencederai hak konstitusional kita semua sebagai rakyat. Perhatikan ini: menurut Undang-Undang Dasar kita, yang masih sampai sekarang menjadi supreme law of the land, pada pasal 27 (1), "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya." Bukankah peraturan sedemikian memberikan hak eksklusif kepada anggota-anggota DPR ini untuk duduk di atas hukum? Atau sebaliknya, mengapa tidak boleh, jika saya ditilang karena pelanggaran lalu lintas, maka para aparat negara harus meminta izin presiden untuk menyidik saya? Bukankah kedudukan saya dan para anggota DPR ini seharusnya, menurut UUD, "bersamaan" di hadapan hukum?

Koalisi permanen siap menjegal

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun