Asian Games 2018 baru saja usai. Indonesia telah sukses sebagai tuan rumah, sekaligus peserta. Sebagai tuan rumah, Indonesia berhasil menyelenggarakan Asian Games dengan lancar, dan mendapat pujian. Sebagai peserta, Indonesia berhasil menduduki peringkat keempat dengan raihan 98 medali, masing-masing 31 emas, 24 perak dan 48 perunggu.
Raihan medali dan posisi Indonesia di Asian Games 2018 ini merupakan yang terbaik sepanjang sejarah keikutsertaan di Asian Games.
Namun eforia Indonesia atas keberhasilan itu mulai sedikit terusik. Dominasi emas Indonesia di cabang pencak silat Asian Games 2018, yang baru saja berakhir, dipertanyakan oleh Dewan Olimpiade Yordania (JOC).
Sekjen JOC, Nasser Majali, dalam wawancara dengan situs olahraga insidethegames, mengatakan medali emas dari pencak silat "tidak punya nilai".
"Saya paham negara tuan rumah biasanya ingin unjuk kekuatan, ini berlaku juga untuk Olimpiade. Tapi jika saya adalah pihak yang menentukan, jelas saya tidak akan menempuh cara itu, saya tidak akan memasukkan cabang olahraga nasional," kata Majali
Di Asian Games 2018, Indonesia meraih 31 medali emas, 14 di antaranya didapat dari pencak silat, cabang olahraga yang masuk ke Asian Games atas permintaan Indonesia sebagai tuan rumah, dan kemungkinan tidak akan lagi dipertandingkan di Asian Games mendatang.
Selain Jordania, Iran juga melontarkan kritik senada . Iran memprotes tindakan Dewan Olimpiade Asia (OCA) yang mengakui pencak silat di Asian Games 2018 sebagai hadiah terhadap Indonesia.
Seperti dilansir dari media Iran, en.mehrnews.com, Presiden Komite Olimpiade Nasional Iran (NOC), Reza Salehi Amiri menyatakan, pencak silat merupakan cabang olahraga yang tidak dikenal dan hanya dipraktikkan oleh sekelompok kecil negara di Asia.
Presiden OCA, Sheikh Ahmed, sendiri telah memberikan tanggapan atas protes Iran dengan pernyataan yang kurang meyakinkan, kata Reza Salehi Amiri.
"Hak istimewa semacam ini juga akan diberikan kepada Iran jika pertandingan diadakan di negara itu," kata Sheikh Ahmed.
Dilema pencak silat
Pencak silat secara keseluruhan menyediakan 16 medali emas, 14 di antaranya diraih atlet-atlet Indonesia, dua selebihnya diraih atlet-atlet Vietnam.
Jika tidak ada pencak silat, Indonesia hanya mendapatkan 14 mendali emas. Kecerdikan Indonesia sebagai tuan rumah adalah memanfaatkan kesempatan untuk mengusulkan cabang olahraga unggulan, pencak silat.
Lepas dari kecerdikan tuan rumah yang disebut oleh Sekjen JOC Nasser Majali sebagai tidak punya nilai, catatan sebagai peraih posisi keempat dalam Sea Games 2018 tidak bisa dihapuskan.
Kita tidak perlu  tersinggung atas komentar Dewan Olimpiade Jordania atau Iran, walau pun ini perlu menjadi renungan juga, di tengah dominasi ras kuning -- Cina, Jepang, Korea -- kritik / protes malah datang dari sesama negara-negara anggota OKI, di mana Indonesia selama ini selalu menunjukan solidaritas sebagai sesama negara Islam dalam panggung politik dunia, terutama dalam membela Palestina.
Itu perlu menjadi catatan bahwa antara politik internasional dan olahrga memang berbeda. Â Komentar itu justru harus menjadi pemicu semangat untuk menjaga peringkat Indonesia pada Asian Games 2022 di Hangzou, China.
Ke depan Indonesia harus bangkit, tidak boleh hanya jago kandang dalam bidang apapun, terutama dalam bidang olahraga. Indonesia tidak boleh lagi menang hanya karena menjadi tuan rumah, menang dalam olahraga menguntungkan tuan rumah. Para atlet pun tidak boleh memiliki mental dan semangat bertanding karena bermain di kandang sendiri, di hadapan supporter yang fanatik.
Tugas itu pasti akan sangat berat, karena bisa saja cabang olahraga pencak silat yang menjadi lumbung medali emas di Asian Games 2018 tidak dipertandingkan lagi. Artinya di atas kertas Indonesia akan kehilangan 14 medali emas di Hangzou nanti, dan posisi Indonesia akan melorot.
Yang pertama bagi Indonesia adalah memperjuangkan pencak silat sebagai cabang olahraga tetap dalam Asian Games. Indonesia harus meyakinkan Dewan Olimpiadi Asia (Oca) bahwa pencak silat adalah olahraga yang patut masuk di Asian Games. Apa bedanya pencak silat dengan karate, yudho, taekwondo, gulat atau wushu. Sama-sama olahraga beladiri.
Indonesia juga harus lebih aktif menperkenalkan pencak silat kepada masyarakat dunia, sebagai sebuah olahraga beladiri.
Sebab selama ini, di Indonesia sendiri pencak silat baru dikenal sebagai teknik beladiri, belum terlalu identik dengan olahraga.
Banyak perguruan tinggi bela diri, aliran-aliran pencak silat di Indonesia masih tertutup, inferior dibandingkan olahraga beladiri impor seperti karate, taekwondo, kungfu, ju jitsu, kempo, thai boxing bahkan capoeira.
Olahraga impor sudah masuk ke tempat-tempat mewah, dan beberapa di antaranya, seperti karate dan taekwondo sudah masuk sekolah-sekolah. Sedangkan pencak silat masih terbatas di sekolah-sekolah tertentu, dan belum masuk tempat mewah.
Harus diakui olahraga impor seperti yang disebutkan di atas memang menekankan pada latihan fisik dan mental yang keras, melalui proses yang panjang dan unsur olahraganya kuat.
Sedangkan di pencak silat, masih banyak aliran yang kurang menekankan aspek olahraganya. Masih menekankan pada unsur beladiri, dan prosesnya pun dikaitkan dengan hal-hal yang berbau non fisik. Banyak perguruan silat di kampung-kampung yang berlatih pada malam hari dan menjalankan ritual non fisik  seperti "Dirasul" (diurut), yang masih dekat dengan  kepercayaan animisme.
Banyak perguruan pencak silat yang menutup diri karena tidak ingin aliran yang dimilikinya diketahui oleh pihak lain. Pernah ada kejadian nyata, terjadi perdebatan hebat di antara pelatih pencak silat di Depok, karena ada tim dari Belanda yang ingin memfilmkan aliran pencak silat tersebut. Ada yang setuju, tetapi ada yang menolak karena takut aliran pencak silatnya diketahui orang-orang kulit putih.
Inferioritas dan ketertutupan sebagian perguruan pencak silat -- antara lain harus berlatih pada malam hari -- konon traumatik warisan sejak jaman penjajahan. Dulu orang berlatih silat diam-diam karena dilarang oleh Belanda. Penjajah waktu itu menganggap belajar beladiri bertujuan untuk melawan Belanda. Wallahualam.
Menjadi tugas pemerintah untuk meyakinkan aliran-aliran silat yang jumlahnya ratusan di Indonesia, untuk lebih terbuka dan mengembangkan metode pelatihan yang menyeimbangkan antara unsur olahraga dan beladiri, agar pencak silat digemari oleh generasi muda dan bisa masuk ke sekolah-sekolah.
Jika di Indonesia pencak silat sudah memasyarakat, lalu menjadi lebih terbuka di dunia. Bukan tidak mungkin pencak silat akan jadi cabang olahraga tetap yang dipertandingkan di Asian Games, bahkan di Olimpiade.
Prosesnya akan panjang. Belum tentu pada Asian Games 2022 di Hangzou atau Olimpiade mendatang akan diterima. Namun proses itu harus dijalani. Jangan terbiasa dengan proses instan, seperti dalam aliran silat ada ilmu "Hadiran", di mana hanya dengan membaca mantera tertentu seseorang sudah bisa menunjukan kemampuan bersilat, walau setelah itu lupa lagi dengan jurus-jurus yang pernah dikuasainya.
Pembinaan dan kompetisi
Terkait dengan keikutsertaan Indonesia di ajang olahraga internasional seperti Asian Games, pemerintah, khususnya kementerian yang menangani olahraga, harus sudah memikirkan dari sekarang, bagaimana caranya agar Indonesia bisa mempertahankan peringkat dengan meraih medali sebanyak yang diperoleh dalam Asian Games 2018.
Pemerintah harus menggenjot pembinaan atlet-atlet dari cabang olahraga yang selalu dipertandingkan di Asian Games. Antara lain atletik, renang, sepakbola, angkat besi dan cabang-cabang olahraga lainnya. Untuk mendapatkan atlet berprestasi, tidak bisa dilakukan secara instan. Semua harus melalui proses yang benar.
Selama ini, pemerintah cenderung abai dalam membina atlet-atlet muda. Pemerintah hanya mau memetik hasilnya, tanpa bersusah payah melalukan pembinaan, menyediakan sarana dan prasarana tertentu. Pemerintah masih berpegang pada prinsip "tiba masa tiba akal". Begitu butuh baru repot mencari-cari atau membentuk Pelatnas.
Siapa pun yang jadi pemimpin Indonesia ke depan, harus memasukan pembinaan olahraga sebagai prioritas programnya. Kalau sekarang Presiden Jokowi lupa memasukan olahraga dalam nawacita, jika terpilih lagi harus memasukan olahraga.
Jika Prabowo Sugianto menyukai kuda sebagai hewan peliharaan yang muncul hanya di waktu-waktu tertentu, sudah waktunya menjadikan olahraga berkuda sebagai salah satu cabang olahraga unggulan Indonesia juga. Sebagai Ketua IPSI, seharusnya tugas Prabowo juga menjadikan pencak silat sebagai olahraga yang diakui di ajang olahraga internasional.
Pemerintah harus membangun fasilitas olahraga secara merata di seluruh tanah air, menyediakan pelatih-pelatih yang qualified, menggelar kompetisi olahraga secara teratur dan berjenjang. Kita boleh meniru China dalam melahirkan atlet-atlet berbakat.
Lagi-lagi, proses ini akan sangat panjang, membutuhkan kemauan kuat dan dana yang tidak sedikit. Membangun olahraga adalah membangun masyarakat Indonesia. Kalau ingin mendapat peringkat bagus lagi dalam Asian Games, entah kapan lagi itu akan diraih. Dalam waktu 50 tahun ke depan, belum tentu Indonesia akan jadi tuan rumah lagi.
Andaikata dalam setahun ada alokasi dana untuk pembinaan olahraga di Indonesia minimal setara dengan biaya yang dikeluarkan untuk Asian Games 2018, Rp.30 trilyun, bukan tidak mungkin akan lahir atlet-atlet yang akan mengharumkan nama Indonesia di ajang olahraga internasional, di luar bulutangkis. Dengan catatan, tentu saja, dana itu bukan untuk bancakan seperti dalam kasus Wisma Atlet Hambalang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H