Selesai dari Central Market, beberapa dari kami menuju ke Russian Market (Tuol Tom Puong Market). Pasar ini mirip pasar tradisional di Indonesia. Di bagian depan dijual pakaian-pakaian, topi atau perhiasan, tetapi lebih sedikit dibandingkan di Central Market. Di bagian dalam ada pedagang souvenir, makin kedalam los sayur, daging atau ikan. Banyak ikan air tawar segar dijual di sini. Kamboja yang dilewati Sungai Mekong memang kaya akan ikan air tawar.
Kami beraangkat dari Central Market ke Russian Market menggunakan Tuk-tuk, sejenis becak roda empat. Ongkosnya 3 dolar! Nah pake dolar lagi. Di Kamboja, pengemudi Tuk-tuk pun akan menyebut angka dalam dolar bila ditanya ongkos.
Lalu bagaimana dengan barang-barang di Russia  Market yang seperti pasar tradisional di Indonesia itu? Sami mawon. Memang membayar dengan dolar lebih praktis dibandingkan dengan riel Kamboja. Tapi jangan salah, tanpa kita sadari, kita membayar dengan mahal. Memang kedengarannya kecil: 2 dolar, 3 dolar, 5 atau 10 dolar. Tapi kalikan dengan kurs rupiah, ya besarlah!
Ke Siem Reap.
Usai mengikuti Festival Film Asia Pasifik (FFAP) ke-57 di Pnom Penh, saya berpisah dengan rombongan. Saya menuju Siem Reap di utara Kamboja, sendirian. Siem Reap adalah kota wisata. Di kota itulah terdapat Kota Tua Angkor Thom yang dibangun oleh Raja Jayawarman VII dan Candi Angkor Wat yang terkenal. Dekat Siem Reap juga terdapat Danau Tonle Sap.Â
Perjalanan dari Pnom Penh ke Siem Reap sekitar 6 jam. Bus dua kali berhenti di rumah makan, seperti kebiasaan bus antarkota di Indonesia. Busanya tidak terlalu bagus, tetapi ber-AC. Setiap penumpang mendapat sebotol air mineral selama perjalanan.
Dalam perjalanan ke Siem Reap, bus  pertama kali berhenti di sebuah rumah makan. Di depan terdapat kios terbuka yang menjual buah-buahan dan belalang goreng. Ya belalang goreng, seperti yang banyak dijual di Gunung Kidul.
Saya dan beberpa penumpang lain turun, pergi ke toilet untuk buang air kecil. Selesai dari kamar kecil saya memesan makanan. Agak susah memesan makanan di Kamboja, karena rata-rata menjual makanan dari daging babi. Saya memesan nasi putih dan sayur ikan air tawar. Seperti ikan gabus. Kuahnya diberi rempah-rempah atau tanaman khas Kamboja. Agak wangi seperti campuran daun seledri dan sereh.Â
Bus kemudian melanjutkan perjalanan. Pemandangan di sepanjang jalan mirip dengan di Indonesia. Saya jadi teringat perjalanan dengan mobil dari Makassar ke Bantaeng. Banyak rumah panggung di pinggir jalan, persawahan, sungai-sungai  yang airnya melimpah, pohon-pohon lontar, kerbau, dan perkampungan.
3 jam perjalanan  mobil berhenti lagi di depan ruko-ruko dan pasar. Di atas bangunan pasar terlihat tulisan Komphong Tom. Sopir langsung masuk rumah makan. Tapi tidak ada penumpang yang masuk. Saya sendiri memilih berjalan melihat-lihat area luar pasar. Selain masih kenyang, tidak berselera dengan masakan Kamboja.
Setelah sopir dan kernetnya makan, mobil kembali melanjutkan perjalanan. Satu setengah jam perjalanan, mobil berhenti lagi di depan pertokoan. Barang-barang dari bagasi, termasuk koper yang saya bawa diturunkan, sementara pintu bus tidak dibuka. Saya sempat bertanya kenapa sopir -- menggunakan bahasa Inggris -- kenapa koper saya diturunkan. Sopir menjawab ketus, "Never mine!". Saya pasrah. Cuma saya sendiri yang protes.
Setelah barang-barang diangkat, baru pintu bus dibuka. Ternyata kami sudah sampai tujuan. Begitu kami turun dari bus para pengemudi tuk-tuk suda menyerbu menawarkan jasa. Saya mengambil koper di pool bus, lalu menawar ongkos tuk-tuk ke hotel yang saya tuju. Saya menunjukkan nama hotel ke pengemudi tuk-tuk, seorang anak muda berlulit hitam, bernama Charoen. Ongkosnya 2 dolar.Â