Saat ini di Indonesia, kita sedang heboh dengan melemahnya nilai rupiah terhadap dolar AS. Di Indonesia umumnya hanya orang-orang berduit yang memiliki dolar. Tetapi di Kamboja dolar bukan sesuatu yang aneh, bahkan bagi rakyat kecil.
Ketika akan berangkat ke Kamboja, Agustus tahun lalu, seorang teman mengingatkan saya, "Jangan lupa bawa dollar, yang kecil-kecil aja!"
Wah, mau ke Kamboja kok bawa dolar. Recehan pula. Apa maksudnya? Saya menertawakan anjuran teman tersebut. Pake logika aja, ke Kamboja, negara sesama ASEAN yang perekonomiannya lebih rendah dari Indonesia, kok harus bawa dolar. Apalagi saya memang tidak punya dolar.
Awal Agustus tahun 2017 lalu, saya mengikuti rombongan untuk meliput Festival Film Asia Pasifik ke-57 di Pnom Penh, ibukota Kamboja. Semua anggota delegasi ditempatkan di sebuah hotel yang terletak di pinggiran kota. Jauh dari pusat kota Pnom Penh. Hotel itu dibangun di kawasan yang masih sepi, dikelilingi lapangan golf.
Meski pun fasilitas di hotel sangat lengkap, standar hotel bintang lima, tetapi terus menerus berada di hotel tentu membosankan. Kami juga ingin melihat-lihat suasana kota Pnom Penh, membeli souvenir dan lain sebagainya.
Beruntung pihak hotel menyediakan kendaraan minibus dengan jadwal tertentu, dan tujuan  ke kota Pnom Penh. Kami memanfaatkan kesempatan itu. Mobil sempat mengantar kami melihat Istana Raja. Kami hanya melihat-lihat dari plaza yang terdapat di depan Istana, karena ketika kami datang istana sedang ditutup untuk kunjungan turis. Kami juga  melihat-lihat monumen Kemerdekaan yang berada di depan kediaman PM Hun Sen, tidak jauh dari istana.
Seperti kebiasaan orang Indonesia bila ke luar negeri, rasanya kurang afdol bila tidak belanja. Kebetulan dalam rombongan kami ada beberapa ibu-ibu, yang lebih tertarik untuk belanja ketimbang melihat-lihat tempat bersejarah atau situs penting lainnya.
Usai makan siang, mobil membawa kami ke Central Market, sebuah pasar pusat souvenir di Pnompenh, dengan bangunannya yang atistik. Pasar ini dirancang tahun 1937 oleh araitek Jean Debois. Di tengah-tengahnya berbentuk kubah. Pasar ini dipenuhi oleh penjual batu akik dan permata.
Di bagian luar terdapat kios-kios mirip pasar tradisional di Indonesia, yang menjual berbagai jenis )Â mulai dari kain, slayer, dompet, hiasan kulkas, bebatuan akik, kerajinan dari logam dan lain sebagainya. Yang menarik, semua barang yang dihargai dengan dolar, mulai dari 2 dolar yang terendah, hingga ratusan dolar.
Saya teringat pesan teman, tapi masih belum terlalu yakin apakah dolar diperlukan untuk semua transaksi. Toh Kamboja punya mata uang sendiri, Riel, yang hari ini kursnya 1 Riel setara dengan Rp. 3,5. Berarti 1 dolar sama dengan 4.000 lebih.
Mata uang riel juga diterima oleh para pedagang, tetapi umumnya pedagang akan menghitung dulu besaran yang harus dibayar pembeli untuk barang dagangannya. Umumnya pedagang akan mendahulukan dolar. Memang dengan dolar lebih praktis, walau pun secara tidak sadar, jadi lebih mahal.
Selesai dari Central Market, beberapa dari kami menuju ke Russian Market (Tuol Tom Puong Market). Pasar ini mirip pasar tradisional di Indonesia. Di bagian depan dijual pakaian-pakaian, topi atau perhiasan, tetapi lebih sedikit dibandingkan di Central Market. Di bagian dalam ada pedagang souvenir, makin kedalam los sayur, daging atau ikan. Banyak ikan air tawar segar dijual di sini. Kamboja yang dilewati Sungai Mekong memang kaya akan ikan air tawar.
Kami beraangkat dari Central Market ke Russian Market menggunakan Tuk-tuk, sejenis becak roda empat. Ongkosnya 3 dolar! Nah pake dolar lagi. Di Kamboja, pengemudi Tuk-tuk pun akan menyebut angka dalam dolar bila ditanya ongkos.
Lalu bagaimana dengan barang-barang di Russia  Market yang seperti pasar tradisional di Indonesia itu? Sami mawon. Memang membayar dengan dolar lebih praktis dibandingkan dengan riel Kamboja. Tapi jangan salah, tanpa kita sadari, kita membayar dengan mahal. Memang kedengarannya kecil: 2 dolar, 3 dolar, 5 atau 10 dolar. Tapi kalikan dengan kurs rupiah, ya besarlah!
Ke Siem Reap.
Usai mengikuti Festival Film Asia Pasifik (FFAP) ke-57 di Pnom Penh, saya berpisah dengan rombongan. Saya menuju Siem Reap di utara Kamboja, sendirian. Siem Reap adalah kota wisata. Di kota itulah terdapat Kota Tua Angkor Thom yang dibangun oleh Raja Jayawarman VII dan Candi Angkor Wat yang terkenal. Dekat Siem Reap juga terdapat Danau Tonle Sap.Â
Perjalanan dari Pnom Penh ke Siem Reap sekitar 6 jam. Bus dua kali berhenti di rumah makan, seperti kebiasaan bus antarkota di Indonesia. Busanya tidak terlalu bagus, tetapi ber-AC. Setiap penumpang mendapat sebotol air mineral selama perjalanan.
Dalam perjalanan ke Siem Reap, bus  pertama kali berhenti di sebuah rumah makan. Di depan terdapat kios terbuka yang menjual buah-buahan dan belalang goreng. Ya belalang goreng, seperti yang banyak dijual di Gunung Kidul.
Saya dan beberpa penumpang lain turun, pergi ke toilet untuk buang air kecil. Selesai dari kamar kecil saya memesan makanan. Agak susah memesan makanan di Kamboja, karena rata-rata menjual makanan dari daging babi. Saya memesan nasi putih dan sayur ikan air tawar. Seperti ikan gabus. Kuahnya diberi rempah-rempah atau tanaman khas Kamboja. Agak wangi seperti campuran daun seledri dan sereh.Â
Bus kemudian melanjutkan perjalanan. Pemandangan di sepanjang jalan mirip dengan di Indonesia. Saya jadi teringat perjalanan dengan mobil dari Makassar ke Bantaeng. Banyak rumah panggung di pinggir jalan, persawahan, sungai-sungai  yang airnya melimpah, pohon-pohon lontar, kerbau, dan perkampungan.
3 jam perjalanan  mobil berhenti lagi di depan ruko-ruko dan pasar. Di atas bangunan pasar terlihat tulisan Komphong Tom. Sopir langsung masuk rumah makan. Tapi tidak ada penumpang yang masuk. Saya sendiri memilih berjalan melihat-lihat area luar pasar. Selain masih kenyang, tidak berselera dengan masakan Kamboja.
Setelah sopir dan kernetnya makan, mobil kembali melanjutkan perjalanan. Satu setengah jam perjalanan, mobil berhenti lagi di depan pertokoan. Barang-barang dari bagasi, termasuk koper yang saya bawa diturunkan, sementara pintu bus tidak dibuka. Saya sempat bertanya kenapa sopir -- menggunakan bahasa Inggris -- kenapa koper saya diturunkan. Sopir menjawab ketus, "Never mine!". Saya pasrah. Cuma saya sendiri yang protes.
Setelah barang-barang diangkat, baru pintu bus dibuka. Ternyata kami sudah sampai tujuan. Begitu kami turun dari bus para pengemudi tuk-tuk suda menyerbu menawarkan jasa. Saya mengambil koper di pool bus, lalu menawar ongkos tuk-tuk ke hotel yang saya tuju. Saya menunjukkan nama hotel ke pengemudi tuk-tuk, seorang anak muda berlulit hitam, bernama Charoen. Ongkosnya 2 dolar.Â
Setelah menaruh koper di kamar, saya baru sadar bahwa tas berisi kamera tertinggal di pool bus. Rupanya karena terlalu sibuk melayani tawaran pengemudi tuk-tuk, saya lupa dengan tas kamera. Setengah panik saya bergegas ke luar kamar hotel, lalu menyetop tuk-tuk yang sedang lewat. Karena sudah tahu jaraknya dekat, saya
Menawar ongkosnya 1 dolar. Pengemudi tuk-tuk setuju, lalu membawa saya ke pool bus. Ternyata tas saya masih ada di bangku panjang yang ada di pool bus. Lega rasanya. Dengan tuk-tuk yang sama saya kembali ke hotel.
Malam pertama di Siem Reap tak banyak yang saya lakukan. Karena besok subuh akan dijemput oleh Charoen, untuk berangkat ke Angkor Wat dan Angkor Thom. Kami sudah sepakat, ongkosnya 16 dolar seharian. Charoen akan menjemput, dan menunggu sampai sore di Angkor Thom.
Malam itu saya hanya ke luar mencari makan. Banyak tempat makan di Siem Reap, baik yang ada di pinggir jalan dengan tenda tapi diberi meja dan tempat duduk, atau di rumah-rumah makan. Saya memilih masuk rumah makan, memilih makanan dengan menu cap cay. Harganya 5 dolar plus minum air putih tambah es.
Selesai makan saya kembali ke hotel, dan mampir dulu di sebuah minimarket untuk membeli roti buat sarapan besok pagi, dan kopi air mineral.
Pukul 05.00 waktu setempat Charoen sudah datang. Ketika saya ke luar lamar hotel, dia dengan tuktuknya sudah menunggu di halaman hotel. Masih gelap, kami berangkat. Udara agak dingin.
Tuktuk mengarah ke jalan menuju Angkor Wat, tapi berbelok dulu ke kanan menuju ke sebuah gedung tempat penjualan tiket Angkor Wat dan Angkor Thom. Sedampainya di tempat penjualan tiket, antrian sudah panjang. Umumnya turis dari berbagai negara. Charoen menunggu di lapangan tempat tuk-tuk pengantar pakir.
Saya ikut antrian. Sampai di loket diminta memperlihatkan paspor, laku difoto dengan kamera kecil yang ada di samping loket, seperti di imigrasi. Tidak lama kemudian tiket sudah ke luar, ada foto saya di lebaran tiket. Saya harus membayar 37 dolar.
Setelah mendapat toket, saya menemui Charoen di tempat parkir, lalu kami berangkat menuju Angkor Wat. Baru 500 Â meter berjalan, tuk tuk dihentikan oleh petugas pemeriksa tiket. Jadi tempat penjualan tiket dan pemeriksaannya tidak di dekat lokasi wisata, melainkan masih di Kota Siem Reap. Sedangkan Angkor Wat masih sekitar 3 kilometer jaraknya, dan Angkor Thom lebih jauh lagi.
Menjelang matahari terbit kami sampai di sebuah tanah lapang yang menghadap ke danau. Di tengah-tengah danau itulah terdapat kompleks Angkor Wat yang sangat luas. Sudah banyak turis yang datang.
Setelah puas mengelilingi Angkor Wat sambil memotret, sekitar jam 13.00 waktu setempat, saya ke luar kompleks, lalu menemui Charoen. Kami lalu berangkat ke Kota lama Angkor Thom, untuk melihat beberapa candi yang besar dan memiliki bentuk berbeda.
Karena luasnya Kompleks Angkor Thom, saya hanya bisa  melihat 4 buah candi, lalu mengajak Charoen kembali ke hotel, karena sudah lapar dan terlalu capai. Uang cash di dompet hanya tersisa sekitar 50 dolar, yang akan saya gunakan untuk membayar Charoen, ongkos tuk-tuk, makan, ngopi dan keperluan lainnya.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI