Mohon tunggu...
Herman Wijaya
Herman Wijaya Mohon Tunggu... profesional -

Penulis Lepas.

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Iseng-iseng Masuk Casino

7 Agustus 2018   20:18 Diperbarui: 8 Agustus 2018   00:24 4760
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Reruntuhan Gereja St. Paul di Kota Tua Macau. (Dok. Pribadi)

Sebagian besar dari kita mungkin sudah pernah mendengar kata casino (kasino), dan mengerti bahwa casino merupakan rumah (tempat) berjudi. Tempat kasino terkenal di dunia ada di Las Vegas, Amerika, Monaco, Macao  (China), dan beberapa tempat lain di dunia yang kurang begitu dikenal oleh masyarakat umum.

Indonesia pernah memiliki kasino di Jakarta, tepatnya di Gedung Djakarta Theater -- sekarang Bioskop XXI Jakarta Theater -- di masa Gubernur Ali Sadikin. Ketika itu Bang Ali terus terang mengatakan pembangunan Jakarta dibiayai oleh judi, termasuk dari kasino. Gang-gang di Jakarta yang disebut MHT (Mohammad Husni Thamrin) dibuat dengan uang dari judi. Maka ketika masyarakat memprotes judi, Bang Ali mengatakan jangan jalan di situ karena itu dibiayai dari judi.

Kasino di Jakarta waktu itu hanya diperuntukkan untuk warganegara non pribumi dan orang asing. Masyarakat pribumi dilarang masuk. Non pribumi pun kalau kulitnya agak gelap, kadang dilarang masuk oleh petugas. Itu cerita orang yang mengalami masa itu.

Meski pun bukan orang berduit -- bahkan cenderung miskin -- setidaknya sudah tiga kali saya masuk ke kasino. Yang pertama tahun 1994 ketika menjadi wartawan yang masuk dalam delegasi Indonesia dalam Festival Film Asia Pasifik (FFAP) di Sydney, Australia.

Di luar agenda festival, terutama malam hari, kami anggota delegasi biasa mencari tempat-tempat hiburan di Sydney. Selain melihat-lihat pertunjukkan striptease di King Cross, kami juga diajak untuk masuk ke sebuah kasino yang terletak di kawasan China Town.

Waktu itu masuk ke kasino adalah pengalaman yang baru. Jangankan main, melihat mesin jackpot secara langsung saja baru pertama kali. Yang saya ingat ketika itu kasino di China Town Sydney tidak terlalu besar. Suasana di dalam agak sempit. Hanya sebentar di sana, kami ke luar lagi. Terus terang, kalau pun punya uang, saya tidak akan tahu bagaimana cara berjudi di kasino.

Tahun 2015 saya berkesempatan mengikuti kegiatan perfilman di Hongkong. Dari Hongkong saya dan tiga orang teman -- dua produser film -- menyeberang ke Macau menggunakan ferry. Tiba di pelabuhan Macau kami dijemput dengan dua mobil mewah, Velfire. Dua teman produser berada dalam satu mobil, dan saya bersama seorang teman lainnya di mobil yang lain.

Suasana Kota Venizia tiruan di Hotel The Venezian, Macau. (Foto: Dok. Pribadi)
Suasana Kota Venizia tiruan di Hotel The Venezian, Macau. (Foto: Dok. Pribadi)
Dari pelabuhan Macau kami langsung dibawa ke Hotel The Venezian di Taipa, kawasan baru Macau. Macau. Di The Venezian kami dibawa masuk ke lounge yang mewah untuk minum-minum. Setelah itu seorang teman yang produser meninggalkan kami bertiga. "Nanti malam kita ketemu di foodcourt," katanya.

Saya tidak tahu mau ke mana dia pergi dan apa yang akan dikerjakan. Nampaknya dia punya pengaruh di The Venezian. Kami lalu menuju kamar yang sudah dibooking di lantar 9 untuk menaruh bawaan. Kami mendapat sebuah suit room besar yang memiliki 3 tempat tidur single. Kamarnya mewah dan artistik. Selesai mandi, kami pergi ke foodcourt.

Foodcourt di The Venezian sangat besar. Langit-langit dari fiber yang bergambar seperti awan. Bila berada di tempat tesebut seolah-olah kita berada di ruang terbuka. "Ini supaya penjudi merasa siang terus, jadi dia enggak akan berhenti berjudi sebelum uangnya habis," kata teman produser sambil tertawa.

The Venezian adalah sebuah hotel yang sangat besar. Di bagian bawah terdapat toko-toko dan restoran, serta sebuah sungai buatan yang diisi gondola yang bisa dinaiki. Turis bisa "berlayar" di sungai buatan itu dengan gondola sambil mendengarkan lagu-lagu berbahasa Italia yang dinyanyikan oleh seorang berpakaian khas pengemudi gondola di Venesia, Italia.

Di tengah-tengah pertokoan itulah terdapat kasino The Venezian. Pertokoan dan restoran mengelilinginya. Kata teman yang produser lagi, kalau menang di kasino bisa langsung belanja dan makan enak. Tapi kalau kalah tidur saja di kursi kayu yang terdapat di lorong menuju pintu kasino. 

Di kursi-kursi itu memang saya melihat banyak orang yang tertidur atau duduk-duduk sepanjang hari dengan wajah yang lusuh. Mereka adalah orang-orang yang kalah berjudi di kasino.

Macau adalah sebuah kota judi. Semua hotel yang ada di Macau memiliki kasino dan tempat hiburan lainnya, baik di Taipa atau di Kota Lama yang terdapat bangunan-bangunan peninggalan Portugis. Salah satunya yang terkenal adalah sisa reruntuhan gereja St. Paul, The Ruin of St. Paul.

Hari kedua di Macau kami pergi ke Kota Lama menggunakan taksi. Kota Lama terletak di Pulau Berbeda yang dihubungkan dengan jembatan sangat panjang, De Amizade di Timur dan De Sai Van di Barat. Kota lama sendiri tersambung dengan daratan Tiongkok.

Sama seperti di Taipa, di Macau Lama juga terdapat beberapa kasino lama. Film-film lama pernah mengambil lokasi syuting di sini, termasuk film Indonesia "Jahoma -- Jakarta Hongkong Macau" yang dibintangi oleh Ratno Timoer tahun 1968.

Di Kota Lama kami hanya mengunjungi sisa gereja St. Paul yang hanya tersisa bagian depannya saja. Gereja didirikan pada tahun 1602-1640 dan menjadi bagian dari St Paul's Collegea terbakar  pada tahun 1835. Agar tidak roboh, sisi belakang bangunan yang tersisa ditunjang dengan besi.

Reruntuhan Gereja St. Paul di Kota Tua Macau. (Dok. Pribadi)
Reruntuhan Gereja St. Paul di Kota Tua Macau. (Dok. Pribadi)
Selain berputar-putar di sekitar gereja, kami tidak pergi ke mana-mana di kota lama. Setelah mengambil gambar di beberapa sisi kami pulang menggunakan taksi dari depan Hotel dan Kasino Grand Lisboa yang terkenal.

Kami sampai menjelang malam di The Venezian. Ketika kami sampai The Venezian sedang ditaburi cahaya yang sangat indah yang dipancarkan dari alat semacam proyektor. Cahaya membentuk gambar dan warna yang berganti-tanti di dinding hotel. Dinding hotel yang besar tertutup oleh perwainan gambar dan warna yang indah sekali.

Tidak ada kegiatan lain yang kami lakukan di Macau selain nonton tivi di kamar, berkeliling di pertokoan yang ada di The Venezian hanya untuk melihat-lihat atau makan di foodcourt.

Pada malam kedua, teman satu kamar mengajak untuk masuk ke kasino. "Yuk kita iseng main rolet. Aku punya aplikasi yang bisa menebak angka yang bakal ke luar dari setiap putaran rolet," katanya sambil menunjukkan permainan judi rolet di telepon genggamnya.

"Maksudnya bagaimana?" tanya saya.

"Misalnya kalau sekarang jarum persis di angka sembilan, pada putaran berikutnya akan ketahun ada di angka berapa!" jawabnya meyakinkan.

"Oke saya sediakan 500 HK dolar. Kita patungan!" tantang saya.

Dia setuju. Masing-masing kami menyediakan 500 HK dolar untuk "berjudi".

Casino The Venezian adalah sebuah kasino yang sangat besar, hampir seluas lapangan bola. Ribuan orang lalulalang untuk berjudi. Ratusan pegawai berseragam siap melayani.  Minuman mineral disediakan cuma-cuma, tinggal ambil.

Dengan uang 1000 HK dolar, kami membeli koin sebagai pengganti uang untuk berjudi. Sesuai kesepakatan, kami memilih judi rolet. Kami lihat dulu pada angka berapa jarum menempel. Setelah tahu, teman membuka aplikasi judinya di telepon genggam. Ternyata, munculnya jawaban di aplikasi lebih lama dari putaran rolet di meja. 

Saya sangat khawatir aksi kami akan ketahuan. Maklum kamera cctv di kasino berbaris seperti ular. Akhirnya saya meminta teman menutup telepon genggamnya. Malam itu kami kalah 1000 HK dolar (waktu itu kira-kira Rp.1 juta) dalam waktu kurang dari 15 menit!

Kami memutuskan untuk berhenti, lalu berputar-putar untuk melihat berbagai jenis permainan yang ada di kasino. Selain takut kalah, uang yang kami bawa memang pas-pasan! Pengalaman di The Venezian itu mengajarkan kepada saya bahwa uang Rp.1 juta hanya seperti sebutir pasir di kasino!

Saya kembali mendapat kesempatan masuk kasino petengahan tahun 2017 kemarin. Ketika mengurus pekerjaan di Kuala Lumpur, saya dan seorang teman aktor film senior, menyempatkan diri pergi ke Genting Island. Dari Kuala Lumpur, tepatnya dari KL Sentral tempat hotel kami berada, ke Genting Island ada bus antar kota langsung. Ongkosnya 10 RM (Ringgit Malaysia) atau sekitar Rp.30.000.

Genting Island terletak di pegunungan Titiwangsa yang masih asri. Kasino Genting terletak di puncak, di dalam Hotel First World yang memiliki 5 ribu kamar. Untuk mencapai tempat itu, dari terminal bus disediakan gondola besar yang bisa muat 6 orang dewasa. Dari terminal bus menju Hotel First World melewati pemandangan yang indah. Jalan raya meliuk-liuk di bawah, hutan yang asri dan Pagoda Chin Swee yang terkenal.

Chin Swee Temple (kiri) di Genting dilihat dari gondola. (Dok. Pribadi)
Chin Swee Temple (kiri) di Genting dilihat dari gondola. (Dok. Pribadi)
Sampai di Hotel First World, kami dijemput seorang teman yang sudah tinggal di sana selama dua tahun! Bagaimana dia bisa tinggal di Hotel selama dua tahun, punya kisah tersendiri yang sangat menarik, karena teman itu juga bukan orang kaya. Hanya orang yang sangat kaya (konglomerat) yang bisa tinggal 2 tahun di Genting!

Oleh teman tersebut saya diminta untuk masuk antrian yang menuju ke sebuah meja resepsionis. Saya diminta menyiapkan paspor. Ada tiga anak muda memakai jas serupa yang melayani orang-orang yang mengantri. Saya sampai di depan pemuda yang melayani antrian.

Saya menyerahkan paspor yang diminta. Dia memasukan data-data dan memotret saya dengan kamera yang ada di meja, seperti kamera di meja imigrasi. Tidak lama kemudian ia menyerahkan paspor dan sebuah kartu plastik ukuran ATM berisi nama dan foto saya.  

"Ini adalah kartu member di kasino Genting. Di sini ada deposit 20 ringgit yang harus kita mainkan di kasino malam ini juga. Member di Genting juga dapat fasilitas kamar hotel gratis. Tapi di musim liburan begini susah dapat kamar. Semua kamar penuh!" kata teman yang menjemput.

Malam itu kami numpang tidur di kamarnya. Kami tidak mandi karena udara di Genting sangat dingin. Pemandangan di luar dilapisi kabut tebal. Kami mencari makan, setelah itu masuk ke kasino. Oleh teman yang menjemput saya diajari bagaimana caranya main. Kartu mirip ATM yang diberikan di meja resepsionis dimasukan ke mesin.

Mesin lalu akan membaca berapa jumlah deposit yang kita miliki. Lalu dalam setiap game kita bisa mempertaruhan uang tergantung kemauan kita. Saya hanya menonton. Teman itulah yang main. Ternyata di tangannya, deposit cuma-cuma yang diberikan kasino bertambah jadi 100 RM.

Bangunan-bangunan baru bermunculan di Gunung Titiwangsa, tempat Casino Genting berada. (Dok. Pribadi)
Bangunan-bangunan baru bermunculan di Gunung Titiwangsa, tempat Casino Genting berada. (Dok. Pribadi)
"Lebih baik kita berhenti dulu. Kalau kita nafsu, uang kita dimakan lagi sama dia! Buntutnya karena penasaran uang yang ada di dompet pun kita mainin!" kata teman tersebut. Saya cuma mengikuti saja. Malam itu selesai sudah perkenalan dengan Genting Casino.

Oh ya, tidak seperti kasino di Macau yang luas dan terang, di Genting lampunya agak temaram. Bahkan di kasino lama yang kami masuki dihari kedua, susananya agak mistis, seperti memasuki ruangan yang dimasuki Bruce Lee dalam film "Enter The Dragon".

Hari kedua, dengan bimbingan teman tersebut di atas, saya sudah bisa main sendiri. Saya memilih judi mesin. Sebenarnya tidak ada yang menarik dengan judi mesin ini. Kita menyerahkan nasib sepenuhnya pada perputaran gambar-gambar di mesin. Karena kita cuma memasukan nilai uang yang dipertaruhkan, memencet tombol, lalu muncul gambar-gambar di layar. 

Jika gambar tersusun dalam konfigurasi tertentu, katakanlah ada gambar nanas yang berdempetan, atau muncul beberapa, kita akan mendapatkan kemanangan dengan nilai tertentu. Tetapi bila gambarnya acak-acakan, alamat "bablas artose!".

Yang terjadi gambar yang muncul kebanyakan acak-acakan. Alhasil uang 100 Ringgit Malaysia hasil kemenangan hari pertama, ludes dalam tempo singkat. Karena penasaran, isi dompet sebesar 100 ringgit lagi ke luar. Itu pun bablas! Akhirnya dengan kesadaran penuh saya mundur dari hadapan mesin. Sekali lagi, karena duit pas-pasan. Sementara teman saya yang aktor lawas itu terlihat berkali-kali mengeluarkan uang dari dompetnya! Besoknya dia mengaku malam itu kalah limaratus ringgit atau setara dengan Rp.1,5 juta!

"Di Genting ini jahat! Sejak dipegang oleh anaknya Lim Goh Tong, orang sulit menang di sini," kata teman saya. Lim Goh Tong adalah pendiri kasino Genting.

Malam itu usai makan bubur kami kembali ke kamar. Meski pun tanpa AC, kamar di The First World sangat dingin. Kami tidur agak larut, sehingga baru bangun pukul 10.00 esok paginya. Pemandangan di luar kamar hotel masih berkabut. Jendela di kamar hotel tidak bisa dibuka penuh karena ada pengait yang paten.

"Dulu jendelanya bisa dibuka. Tapi banyak yang bunuh diri lompat dari jendela hotel. Orang-orang yang kalah judi!" kata teman yang sudah lama di Genting. Sementara pemandangan di bawah yang tidak tertutup kabut, sangat indah. Jalan raya meliuk-liuk seperti ular. Dibandingkan masuk ke kasino, saya lebih tertarik melihat pemandangan indah di Genting.  Kasino jelas bukan tempat saya!

Pemandangan dari kamar First World Hotel pukul 10.00 pagi, Genting masih diselimuti kabut. (Dok. pribadi)
Pemandangan dari kamar First World Hotel pukul 10.00 pagi, Genting masih diselimuti kabut. (Dok. pribadi)
 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun