Sebagian besar dari kita mungkin sudah pernah mendengar kata casino (kasino), dan mengerti bahwa casino merupakan rumah (tempat) berjudi. Tempat kasino terkenal di dunia ada di Las Vegas, Amerika, Monaco, Macao  (China), dan beberapa tempat lain di dunia yang kurang begitu dikenal oleh masyarakat umum.
Indonesia pernah memiliki kasino di Jakarta, tepatnya di Gedung Djakarta Theater -- sekarang Bioskop XXI Jakarta Theater -- di masa Gubernur Ali Sadikin. Ketika itu Bang Ali terus terang mengatakan pembangunan Jakarta dibiayai oleh judi, termasuk dari kasino. Gang-gang di Jakarta yang disebut MHT (Mohammad Husni Thamrin) dibuat dengan uang dari judi. Maka ketika masyarakat memprotes judi, Bang Ali mengatakan jangan jalan di situ karena itu dibiayai dari judi.
Kasino di Jakarta waktu itu hanya diperuntukkan untuk warganegara non pribumi dan orang asing. Masyarakat pribumi dilarang masuk. Non pribumi pun kalau kulitnya agak gelap, kadang dilarang masuk oleh petugas. Itu cerita orang yang mengalami masa itu.
Meski pun bukan orang berduit -- bahkan cenderung miskin -- setidaknya sudah tiga kali saya masuk ke kasino. Yang pertama tahun 1994 ketika menjadi wartawan yang masuk dalam delegasi Indonesia dalam Festival Film Asia Pasifik (FFAP) di Sydney, Australia.
Di luar agenda festival, terutama malam hari, kami anggota delegasi biasa mencari tempat-tempat hiburan di Sydney. Selain melihat-lihat pertunjukkan striptease di King Cross, kami juga diajak untuk masuk ke sebuah kasino yang terletak di kawasan China Town.
Waktu itu masuk ke kasino adalah pengalaman yang baru. Jangankan main, melihat mesin jackpot secara langsung saja baru pertama kali. Yang saya ingat ketika itu kasino di China Town Sydney tidak terlalu besar. Suasana di dalam agak sempit. Hanya sebentar di sana, kami ke luar lagi. Terus terang, kalau pun punya uang, saya tidak akan tahu bagaimana cara berjudi di kasino.
Tahun 2015 saya berkesempatan mengikuti kegiatan perfilman di Hongkong. Dari Hongkong saya dan tiga orang teman -- dua produser film -- menyeberang ke Macau menggunakan ferry. Tiba di pelabuhan Macau kami dijemput dengan dua mobil mewah, Velfire. Dua teman produser berada dalam satu mobil, dan saya bersama seorang teman lainnya di mobil yang lain.
Saya tidak tahu mau ke mana dia pergi dan apa yang akan dikerjakan. Nampaknya dia punya pengaruh di The Venezian. Kami lalu menuju kamar yang sudah dibooking di lantar 9 untuk menaruh bawaan. Kami mendapat sebuah suit room besar yang memiliki 3 tempat tidur single. Kamarnya mewah dan artistik. Selesai mandi, kami pergi ke foodcourt.
Foodcourt di The Venezian sangat besar. Langit-langit dari fiber yang bergambar seperti awan. Bila berada di tempat tesebut seolah-olah kita berada di ruang terbuka. "Ini supaya penjudi merasa siang terus, jadi dia enggak akan berhenti berjudi sebelum uangnya habis," kata teman produser sambil tertawa.
The Venezian adalah sebuah hotel yang sangat besar. Di bagian bawah terdapat toko-toko dan restoran, serta sebuah sungai buatan yang diisi gondola yang bisa dinaiki. Turis bisa "berlayar" di sungai buatan itu dengan gondola sambil mendengarkan lagu-lagu berbahasa Italia yang dinyanyikan oleh seorang berpakaian khas pengemudi gondola di Venesia, Italia.
Di tengah-tengah pertokoan itulah terdapat kasino The Venezian. Pertokoan dan restoran mengelilinginya. Kata teman yang produser lagi, kalau menang di kasino bisa langsung belanja dan makan enak. Tapi kalau kalah tidur saja di kursi kayu yang terdapat di lorong menuju pintu kasino.Â