Mohon tunggu...
Herman Wijaya
Herman Wijaya Mohon Tunggu... profesional -

Penulis Lepas.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

DR. Anna Mariana, Menebar Energi Baik Melalui Tenun dan Songket

6 Agustus 2018   12:40 Diperbarui: 6 Agustus 2018   13:11 621
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anna Mariana (tengah memegang bunga) setelah mendapat penghargaan dalam ajang Abang dan None Jakarta Selatan di Balai Sarbini Jakarta, Mei 2017 lalu. (Dok. pribadi)

Hidup berkecukupan, memiliki harta berlimpah, bukanlah kebahagiaan yang sebenarnya. Hidup akan lebih berarti jika bermanfaat untuk orang lain, bukan mementingkan diri sendiri.

Itulah filosofi yang dipegang teguh oleh DR. Anna Mariana, SH, MBA, seorang notaris, pengacara dan pemilik rumah mode "Marsya House of Batik and Desinger Accessories" yang khusus menyediakan kain tenun dan songket untuk pelanggannya. Butiknya terdapat di kawasan elit Pondok Indah, Jakarta Selatan. Anna Mariana sendiri adalah isteri dari Tjokorda Ngurah Agung Kusumayudha, SH, MS., M yang bertugas di Kejaksaan Agung RI.

Jika ia hanya menjalankan profesinya, mendampingi suami yang memiliki jabatan tinggi di Kejaksaan Agung, rasanya Anna Mariana bisa menjalani kehidupan dengan tenang, menimati hari-harinya bersama keempat orang anaknya -- dua orang sudah dewasa.

Namun kembali kepada filosofi hidupnya bahwa hidup akan berarti jika kehadiran kita di dunia ini juga berarti buat orang lain, bukan hanya untuk diri sendiri atau keluarga.  Bertolak dari situlah Anna lalu berpikir keras, apa yang bisa dilakukannya untuk masyarakat, agar dirinya berarti bagi orang banyak.

Anna Mariana lalu menemukan jalannya. Sebagai pencinta kain tenun tradisional Anna lalu mengoleksi, mendisain dan bahkan membina para penenun kain tradisional di berbagai daerah. Dia membina mereka agar kain tenun tradisional tetap bertahan di tengah gempuran tekstil buatan pabrik yang halus dan 

Anna Mariana menyanyi bersama penyanyi Iis Sugianto (Dok. Pribadi)
Anna Mariana menyanyi bersama penyanyi Iis Sugianto (Dok. Pribadi)
indah. 

"Pertama kali saya suka dengan kain songket, tenun, khususnya dari Bali dan daerah-daerah lain, berawal dari sejak saya di SMA. Waktu itu saya sudah senang sekali kalau melihat orang memakai kain. Saya dulu sangat senang sekali dengan Ibu Tien Soeharto. Dia begitu anggun kalau memakai kebaya. Ibu Kartini selalu menggunakan kain.  Ibu saya dulu juga sejak saya kecil selalu menggunakan kain," tutur Anna.

Menurut Anna,  dia menekuni tenun tradisional sejak kira-kira sejak 25 tahun lalu, ketika ia menjadi notaris dan sudah berwiraswasta. "Dari situ saya bisa mulai menekuni kain. Karena sudah mulai berpikir bisnis, walau pun basis saya hukum, saya mulai belajar bisnis di Boston University, Amerika, saya mengambil manajemen bisnis. Supaya suatu saat kalau saya menangani bisnis, saya sudah memiliki ilmunya," kata wanita kelahiran Solo, 1 Januari tahun 1960 ini.

Meski pun masih menggeluti profesinya sebagai pengacara, konsentrasi Anna Mariana terhadap kain tenun dan songket tidak luntur.  Di butik miliknya berbagai koleksi kain tenun dari berbagai daerah disimpan. Banyak kain-kain yang sudah tua dan berharga puluhan juta rupiah per lembar. Salah satu koleksinya pernah ingin ditukar dengan mobil mewah, tetapi tidak diberikan. Anna bahkan bercita-cita suatu saat akan membuat museum kain tenun tradisional, untuk menyimpan koleksinya. 

Karena kecintaannya kepada kain tenun dan songket itu ia sudah mendatangai hampir semua sentra tenun tanah air, dari Sabang sampai Merauke. Antara lain dari Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara hingga Papua.

"Kalau ada penenun-penenun yang bagus di tanah air, pasti saya datangi. Saya ingin tahu sejauh mana kemampuan mereka untuk mengembangkan karya-karya tenunnya. Lalu saya ajak bicara, saya ajak diskusi, dan saya memberi advis bagaimana mengembangkan karya mereka, baik dari kualitas kain maupun motifnya," tuturnya.

Untuk meningkatkan daya tawar penenun dan melindungi karya mereka, Anna lalu membentuk Komunitas Pencinta Kain Nusantara (KPKN) dan Komuitas Cinta Berkain (KCB). Selain bergabung di kedua komunitas itu, Anna juga menciptakan Komunitas sendiri yang punya visi dan missi membawa nama baik untuk mempromosikan karya-karya seni Indonesia ke mancanegara.  Ia memperkenalkan kain-kain tradisional  dari seluruh Indonesia, bukan hanya kain Bali.

"Kain-kain yang memiliki motif unik dan memiliki nilai tinggi itu perlu dilindungi hak ciptanya. Saya membantu para perajin untuk mau mematenkan karya mereka, karena saya juga menciptakan beberapa motif dan sudah saya patenkan. Tetapi untuk perajin tradisional yang memang membutuhkan karya saya untuk kehidupan mereka, saya mengijinkan membuat kain dengan motif yang saya ciptakan," papar Anna.

Tenunan merupakan kekayaan budaya Indonesia yang sudah ada di Nusantara sejak dulu. Namun seiring kemajuan jaman, banyak anak-anak muda yang tidak tertarik lagi jadi penenun, karena menenun membutuhkan proses yang lama. Banyak anak-anak muda di Bali, menurutnya, memilih jadi pelaut karena lebih mendapat kepastian untuk mendapatkan penghasilan.  Anna lalu menggugah mereka, dan mengingatkan bahwa kalau mau serius menangani kain tenun tradisional, mereka juga bisa mendapat uang yang banyak. Tapi prosesnya tidak seperti membuat mi instan. Akhirnya banyak yang mau, dan sekarang mulai ada regenerasi.

"Memang tidak mudah membuat kain tenun tradisional kita. Mulai dari bahan bakunya yang menggunakan serat kayu dari pohon yang khusus, bahan pewarna alaminya yang juga diambil dari pohon-pohoh tertentu. Alat produksinya pun masih sangat tradisional, tidak bisa digantikan dengan alat yang lebih canggih. Pernah ada teman dari luar negeri yang mencoba membuat alat tenun dari besi agar lebih kuat dan tahan lama. Ternyata itu tidak bisa dipakai oleh para penenun," katanya.

Diakui, bahan-bahan kain juga tidak bisa digantikan dengan benang-benang yang dibuat oleh industri. Begitu juga dengan bahan pewarnanya, tidak bisa dibuat dengan pewarna sintetis. Dan tentu saja pembuatannya yang lama, membuat tenunan itu tidak mudah diproduksi. Itulah yang membuat pengembangannya terasa lambat, sehingga ada kendala untuk memenuhi permintaan pasar.

Batik Betawi.

Bicara tentang Batik, masyarakat umum pasti akan berpikir asal daerah-daerah di mana kain yang memiliki kaya corak itu dihasilkan. Batik identik dengan budaya Jawa. Seolah pemakai batik hanyalah orang-orang di Jawa, terutama Jawa Tengah.  

Sejak Batik ditetapkan sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi oleh UNESCO pada 2 Oktober 2009 dan ditetapkannya Hari Batik Nasional melalui Keputusan Presiden No. 33/2009, popularitas Batik terus meningkat sehingga hampir setiap daerah ingin memiliki batik khas sendiri.

Jauh sebelumnya batik sudah menjadi pakaian formal dalam acara-acara penting dan produksi batik telah ada di seluruh Indonesia mulai dari Aceh hingga Papua, dengan ciri khas masing-masing. Akan tetapi tetap saja Batik identik dengan etnis Jawa karena pemakai terbesar dan produksi batik terbanyak ada di Pulau Jawa, terutama Jawa Tengah, khususnya di Solo, Yogyakarta dan Pekalongan, walau di Cirebon, Jawa Barat juga ada sentra Batik terkenal yakni di Trusmi.

Banyak yang tidak tahu bahwa etnik Betawi (Jakarta) juga sudah lama membuat Batik. Sayang Batik Betawi tidak sepopuler batik asal Jawa Tengah atau Cirebon. Masyarakat Betawi sendiri belum terbiasa memakai Batik Betawi dalam keseharian maupun dalam acara-acara khusus. Batik Betawi belum masuk hitungan sebagai corak batik yang populer di tingkat nasional.

Melihat hal itu Anna Mariana yang sudah puluhan tahun tinggal di Jakarta merasa tergerak untuk membangkitkan Batik Betawi. Ia memulainya dengan  mengkreasikan tenun dan songket Betawi. Ia mengakui, terciptanya tenun Babe juga atas inisiasi dari Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur DKI Jakarta, Soni Soemarsono, tahun 2017. Sebagai tokoh dan pelopor tenun Nusantara, Anna senang bereksperimen membuat disain yang memuat corak bernafas baru. Ia lalu menciptakan disain dengan sentuhan budaya Bali dan Betawi (Babe) dalam selembar kain 

Fashion show tenun dan songket Betawi karya Anna Mariana di Kampung Betawi Jagakarta. (Dok. Pribadi)
Fashion show tenun dan songket Betawi karya Anna Mariana di Kampung Betawi Jagakarta. (Dok. Pribadi)
tenun.

Sejak dulu budaya Betawi tumbuh dan berkembang dari beragam akulturasi antara Cina, India, Arab dan Melayu. Menurutnya  akan memberikan khasanah pluralisme Jakarta dan memperkuat NKRI. Motif tenun Babe yang memadukan dua daerah itu memperlihatkan ikon Betawi seperti Monas, Sirih Kuning, Ondel-Ondel, Tanjidor dan Elang Bondol. Sedangkan ikon Bali yang muncul berkisar pada Tari Pendet, Barong dan Pura.

Sayangnya di Betawi (Jakarta) sendiri sudah sulit menemukan para penenun, bahkan tidak ada lagi. Anna berpikir keras bagaimana caranya agar tenun atau batik Betawi dibuat oleh orang-orang Betawi sendiri, minimal oleh orang yang berdomisili di Jakarta, walau pun bukan etnis Betawi.

Plt Gubernur DKI Soni Sumarsono bersama Anna Mariana lalu melihat aktivitas seniman tenun binaan Anna Mariana di Bali. Dari sanalah timbul inisiatif untuk mendidik anak-anak muda dari Jakarta yang berminat untuk belajar menenun. Dipenghujung tahun 2016, sambil menyambut tahun baru,  ia  menggerakan anak-anak pesantren asuhannya untuk belajar menenun songket. Kegiatan ini  sejalan dengan Pengembangan Budaya Kain Batik Betawi, serta sosialisasi Pengembangan dan Pembinaan Budaya Kain Tenun dan Songket Betawi.

Kegiatan belajar menenun ini, kata Anna Mariana bisa dilakukan di saat anak-anak pesantren  senggang  dari kegiatan belajar ilmu agama. Dengan memiliki Ilmu menenun, nantinya mereka bukan hanya akan pintar soal agama, tapi juga berpengetahuan luas, memahami juga semakin mencintai budayanya. Keahlian menenun ini juga bisa membuka lapangan usaha dan mendatangkan rejeki.

Menurut Anna proses pengerjaan kain songket dan tenun  sangat khas dan  memerlukan waktu lama.  Terlebih  untuk  menghasilkan tenun kelas premium yang menggunakan benang sutera.  Proses pengerjaannya memakan waktu enam bulan bahkan bisa sampai setahun. Diperlukan ketrampilan, keuletan, ketekunan dan kesabaran khusus. Karena menenun dari benang sutra itu rumit, oleh sebab itu pula  harga songket menjadi mahal  bahkan cenderung fantastis. Ia lalu mengirim anak-anak yang berminat, untuk belajar langsung di sentra tentun dan songket di

Anna Mariana ketika tampil di Kompas TV. (Foto: Dudut Suhendra Putra)
Anna Mariana ketika tampil di Kompas TV. (Foto: Dudut Suhendra Putra)
 Bali.

"Anak-anak  pesantren ini ada yang sudah yatim piatu. Dengan  mereka punya bekal ilmu menenun, mereka diharapkan bisa mandiri, dan punya penghasilan sendiri. Dan yang lebih pasti lagi, mereka  akan menjadi kader penerus  yang pandai menenun."

Untuk lebih memahami Budaya Betawi, Anna lalu bergabung dalam Badan Muswarawah Betawi (Bamus Betawi) di mana kemudian ia didapuk menjadi bendahara. Sejak saat itu dia tidak pernah absen di hampir semua kegiatan masyarawat Betawi.

Sebagai pemilik butik, Anna Mariana juga tidak sulit mempopulerkan memasarkan disain tenun dan Batik Betawi buatannya. Pasarnya bukan cuma di Indonesia, tetapi sudah merambah ke luar negeri. Energi baik yang disebarnya melalui tenun dan songket sungguh bermanfaat bagi banyak orang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun