"Tolong belikan 3 porsi mie goreng, besok kita besuk teman di Sukamiskin! Dia minta dibawakan bakmi goreng. Kita naik bus aja, santai!"
Begitu bunyi pesan WA dari SS, seorang aktor film senior, Juli tahun 2016 lalu. Pesan yang sangat menarik. Sudah lama saya ingin datang ke Sukamiskin, lapas yang sangat terkenal sejak masa revolusi, karena di situ juga Bung Karno pernah ditahan.
Datang ke Sukamiskin sebenarnya bukan pengalaman baru. Sebelum tahun 90-an, pernah ke sana untuk membesuk kerabat dekat yang ditahan karena kasus kriminal berat.
Kemudian tahun 90 ada lagi kesempatan mengunjungi Sukamiskin. Kali ini bisa masuk hingga ke dalam, karena saya datang bersama rombongan Panitia Tetap FFI 1987 - 1992 yang datang untuk memghibur penghuni lapas. Waktu itu panitia mengajak artis dangdut Camelia Malik yang suka menari jaipongan saat menyanyi.
Mia, begitu ia biasa dipanggil, menyanyi dan berjaipongan di depan ratusan penghuni lapas. Waktu itu Mia sedang montok-montoknya. Badannya bagus, memiliki lekukan jelas di bagian pinggang. Bila ia meliuk-liuk, dijamin mata ogah berkedip.
"Kalau kita pulang, tuh tahanan pasti pada pusing," kata Kasino Warkop, berbisik kepada saya. Kasino (almarhum) memang selalu mengeluarkan komentar-komentar lucu di berbagai kesempatan. Bukan hanya di film atau di panggung.
Ajakan aktor senior SS untuk mengunjungi Sukamiskin sangat menarik. Karena Sukamiskin jamannow lebih dikenal sebagai tempat tahanan untuk narapidana (napi) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Sejak Sukamiskin jadi Lapas untuk Napi Tipikor, selalu ada keinginan yang kuat untuk datang. Tapi apa alasannya? Mau ketemu siapa? Pejabat jelas bukan level saya.
Dari terminal Baranangsiang kami naik bus tujuan Terminal Leuwipanjang, Bandung. Dari Leuwipanjang dilanjutkan dengan naik bus Damri yang ber-AC mirip bus Transjakarta hingga ke terminal Cicaheum, kemudian disambung dengan angkot tujuan Cileunyi yang melewati LP Sukamiskin.
Singkat cerita kami sampai di LP Sukamiskin. Lapor ke petugas jaga di depan tujuan kami datang. Kami diminta menyerahkan identitas dan meninggalkan tanda pengenal. Kami diberi tanda pengenal pengunjung yang harus digantung di leher. Kami bersyukur tidak diminta meninggalkan telepon genggam.
Seorang sipir bertubuh kekar bersikap sok akrab dengan SS. Dia bersedia mengantar kami ke dalam, bertemu dengan HF, aktor tampan yang menjadi penghuni Lapas Sukamiskin, sejak 2 tahun terkahir setelah dipindah dari LP Cipinang.
"Dia tadi ada di lapangan tenis, ayo kita ke sana!" kata sang sipir. Kami memgikuti saja langkahnya hingga ke lapangan tenis. Suasana di lapangan tenis sangat ramai. Mantan Menpora AM sedang main tenis dengan napi tipikor lainnya, saya kurang begitu kenal. Kata sipir, dia mantan jaksa. HF tidak ada di situ.
Kami duduk di pinggir lapangan menyaksikan AM bermain tenis hingga selesai. Setelah itu dia berhenti, dengan ramah menghampiri kami dan mengajak makan. Di pinggir lapangan memang ada sebuah meja panjang berisi berbagai jenis makanan yang nampak sangat lezat. Masakan daerah.
"Ayo, ayo makan, saya lapar nih!" kata AM yang hari itu sedang berulang tahun. Dia dikunjungi oleh isteri, anak dan ibunya. Kami ikut menikmati makanan yang disediakan. Bakmi goreng dari restoran terkenal yang saya bawa, menghilang, entah ke mana rimbanya.
Di tempat itu ada RR, pejabat Kementerian ESDM yang ditangkap karena kasus suap di BPH Â Migas, ada beberpa napi tipikor lainnya yang saya tidak kenal. Saya tidak terlalu memperhatikan, karena makanan yang kami santap terlalu lezat untuk dimakan sambil santai. Harus fokus.
Usai makan sipir mengajak kami ke saung-saung yang dibangun di lapangan terbuka di tengah lapas. Bentuknya hampir mirip dengan saung di rumah makan Sunda pada umumnya. Tiap saung berukuran rata-rata 3 X 3 meter. Di setiap saung ada tempat duduk yang nyaman, kursi panjang, meja makan dan kursinya, bahkan kompor gas dan dispenser, seperti di saung milik mantan Ketua DPP Partai Demokrat AU tempat kami menunggu HF. Di situ saya sempat dibuatkan kopi panas oleh seorang lelaki berusia 40-an yang menurut HF, jurumasak pribadi AU.
Di sebelah saung milik AU saya melihat mantan Presiden PKS LHI sedang masyuk memeluk perempuan muda, cantik. Keduanya tak bersuara seperti melakukan happening art. Di dekat mereka ada seorang perempuan muda mengenakan baju putih sedang menggendong bayi. Saya menduga dia baby sitter.
Sejenak saya mencoba mengingat-ingat kasus daging sapi yang membuat LHI masuk tahanan. Ketika itu disebut-sebut nama seorang perempuan muda cantik berinisial DM, yang ketika itu berusia 19 tahun. Perempuan yang sedang melakukan happening art dengan LHI pastilah DM. Yang digendong oleh sang baby sitter pasti anaknya. Tapi mengingat usia sang bayi yang masih sangat muda, saya jadi bertanya-tanya, kapan bikinnya? Bukankah LHI sudah lebih lama masuk penjara?
"Di sini enggak perlu khawatir soal begituan. Kita sediain tempat. Tapi kalau mau pulang, ingat-ingat kitalah yang ada di dalam. Tinggalin dong buat beli rokok," Â kata HF sambil tertawa.
Menurutnya yang membedakan antara orang di dalam dan di luar Lapas Sukamiskin hanyalah kemerdekaan. Urusan kebutuhan jasmani, rohani, kebutuhan biologis, bukan persoalan besar. Rata-rata napi Tipikor adalah orang kaya, yang uangnya tidak habis begitu saja meskipun ditahan dan disita KPK.
Rata-rata napi Tipikor tidak membutuhkan bantuan materi, mereka bisa membeli. Banyak napi tipikor yang memiliki rumah mewah di dekat LP Sukamiskin supaya keluarganya bisa datang sewaktu-waktu. Salah satunya yang diketahui memiliki rumah di dekat LP Sukamiskin adalah terpidana kasus pajak, GT.
Deretan saung bambu yang ada di LP Sukamiskin bukan disediakan oleh pemerintah c/q pihak lapas, melainkan dibikin atas biaya pribadi para napi.
"Harganya 30 sampai 50 juta rupiah per saung. Kalau pemiliknya bebas, bisa dijual kepada napi lain yang berminat," kata HF.
Saya diajak berkeliling melihat-lihat saung. Dengan telepon genggam yang saya bawa, saya sempat mengambil gambar dari beberapa sudut pengambilan.
Di ujung lapangan yang menempel dengan tembok bangunan sel, terdapat sebuah panggung. Di panggung itulah, menurut HF , para napi suka mengadakan kegiatan kesenian untuk mengusir rasa jenuh, terutama saat 17 Agustus.
Tidak jauh dari panggung saya melihat beberapa napi sedang berbicara ngariung. Salah satunya adalah politikus Partai Demokrat, SB, yang terkenal dengan ungkapannya, "Masuk barang itu!". Badannya terlihat kurus, kelihatannya sedang sakit, meski pun masih nampak ceria. Beberapa bulan kemudian saya mendapat kabar SB meninggal dunia.
Saya tidak memperhatikan napi yang lain. Menurut HF, pelaku tipikor adalah orang-orang top. "Kita bisa bikin negara di sini. Apa yang kurang? Menteri ada, jenderal TNI, polisi, hakim, jaksa, anggota DPR, semua ada!" kata HF.
Setelah ngobrol ngalor-ngidul antara SS, HF dan saya, akhirnya kami harus pulang, karena hari sudah sore. Dalam perjalanan menuju pintu ke luar, kami berpapasan dengan mantan Menag, SA. Fisiknya masih nampak segar, tak ada perubahan. Saya sempat minta foto bersama dengannya. Setelah itu kami berpisah, lalu meninggalkan LP Sukamiskin.
Dalam perjalanan pulang, saya terus merenung, efek jera apa yang ditimbulkan melalui proses penahanan seperti itu. Tidak heran jika korupsi tak pernah habis, dan pelakunya beranak pinak. Para napi tipikor masih bisa menimati kemewahan, tak sulit mendapatkan apa yang diinginkan karena mereka bisa membayar semua yang diinginkan. Mulai dari barang, jasa, hingga pelayanan oleh para sipir maupun penguasa di penjara, yang berseragam maupun tidak.
Perlakuan pihak penjara terhadap Napi Tipikor sangat berbeda dibandingkan napi kriminal biasa. Apalagi untuk kelas copet, maling ayam, atau maling jemuran. Bahkan hukum syariah yang keras terhadap penzinah, pemabuk maupun penjudi di Nanggroe Aceh Darussalam, tak mampu menjangkau  koruptor.
Jadi bila melihat bagaimana hukuman dan perlakuan terhadap napi tipikor saat ini, omong kosong korupsi bisa hilang dari Indonesia. Seribu pejabat seperti Kepala Lapas Sukamiskin maupun mantan artis IK pun ditangkap, saya tak yakin Indonesia bebas korupsi.Â
"Jangan terlalu serius. Kalau malu jadi orang Indonesia di luar negeri, kita balik bendera yang kita bawa. Kita ngaku aja sebagai orang Polandia!" gurau seorang teman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H