Mohon tunggu...
Herman Wijaya
Herman Wijaya Mohon Tunggu... profesional -

Penulis Lepas.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Mengunjungi Lapas Tipikor Sukamiskin yang "Menakjubkan"

22 Juli 2018   18:40 Diperbarui: 23 Juli 2018   07:58 4322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Harganya 30 sampai 50 juta rupiah per saung. Kalau pemiliknya bebas, bisa dijual kepada napi lain yang berminat," kata HF.

Saya diajak berkeliling melihat-lihat saung. Dengan telepon genggam yang saya bawa, saya sempat mengambil gambar dari beberapa sudut pengambilan.

Di ujung lapangan yang menempel dengan tembok bangunan sel, terdapat sebuah panggung. Di panggung itulah, menurut HF , para napi suka mengadakan kegiatan kesenian untuk mengusir rasa jenuh, terutama saat 17 Agustus.

Tidak jauh dari panggung saya melihat beberapa napi sedang berbicara ngariung. Salah satunya adalah politikus Partai Demokrat, SB, yang terkenal dengan ungkapannya, "Masuk barang itu!". Badannya terlihat kurus, kelihatannya sedang sakit, meski pun masih nampak ceria. Beberapa bulan kemudian saya mendapat kabar SB meninggal dunia.

Saya tidak memperhatikan napi yang lain. Menurut HF, pelaku tipikor adalah orang-orang top. "Kita bisa bikin negara di sini. Apa yang kurang? Menteri ada, jenderal TNI, polisi, hakim, jaksa, anggota DPR, semua ada!" kata HF.

Setelah ngobrol ngalor-ngidul antara SS, HF dan saya, akhirnya kami harus pulang, karena hari sudah sore. Dalam perjalanan menuju pintu ke luar, kami berpapasan dengan mantan Menag, SA. Fisiknya masih nampak segar, tak ada perubahan. Saya sempat minta foto bersama dengannya. Setelah itu kami berpisah, lalu meninggalkan LP Sukamiskin.

Dalam perjalanan pulang, saya terus merenung, efek jera apa yang ditimbulkan melalui proses penahanan seperti itu. Tidak heran jika korupsi tak pernah habis, dan pelakunya beranak pinak. Para napi tipikor masih bisa menimati kemewahan, tak sulit mendapatkan apa yang diinginkan karena mereka bisa membayar semua yang diinginkan. Mulai dari barang, jasa, hingga pelayanan oleh para sipir maupun penguasa di penjara, yang berseragam maupun tidak.

Perlakuan pihak penjara terhadap Napi Tipikor sangat berbeda dibandingkan napi kriminal biasa. Apalagi untuk kelas copet, maling ayam, atau maling jemuran. Bahkan hukum syariah yang keras terhadap penzinah, pemabuk maupun penjudi di Nanggroe Aceh Darussalam, tak mampu menjangkau  koruptor.

Jadi bila melihat bagaimana hukuman dan perlakuan terhadap napi tipikor saat ini, omong kosong korupsi bisa hilang dari Indonesia. Seribu pejabat seperti Kepala Lapas Sukamiskin maupun mantan artis IK pun ditangkap, saya tak yakin Indonesia bebas korupsi. 

"Jangan terlalu serius. Kalau malu jadi orang Indonesia di luar negeri, kita balik bendera yang kita bawa. Kita ngaku aja sebagai orang Polandia!" gurau seorang teman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun