Kepala Perpustakaan dan Penyebaran Informasi Teknologi Pertanian Gayatri K. Rana menjelaskan, sejak tahun 2015 Gedung Museum Tanah mengalami renovasi tanpa merubah keadaan aslinya dan tetap mempertahankan 2 gedung heritage yang dimilikinya.
Dari musium tanah kami berjalan menuju Bogor Trade Mal (BTM). Di depan sebelah kiri BTM kami harus berjalan ekstra hati-hati karena pinggir jalan sudah dipenuhi angkot yang ngetem dan pedagang kuliner kaki lima. Sementara mobil-mobil yang datang dari arah Pasar Bogor dan Tanjakan Empang terus melaju. Beruntung jalur lambat di depan Kantor cabang BRI agak kosong sehingga kami bebas melenggang.
Kami menelisuri pinggiran jalan Ir. H. Juanda lalu berbelok ke Jl. Paledang. Di jalan ini terdapat bangunan-bangunan tua di sebelah kanan, di sebelah kiri terdapat lembah yang sudah dipenuhi oleh permukiman. Sungai Cibalok, anak Cisadane, mengalir persis di pinggir jalan. Ada beberapa jembatan yang menghubungkan Jl. Paledang dan kampung-kampung yang terdapat di lembah raksasa. Di ujung lembah, bediri megah Gunung Salak yang indah.
Kami mampir di Restoran Gumanti, restoran dua lantai yang pada masanya sekitar 20 tahun lalu sangat terkenal. "Waktu saya masih ngepos di DPR, restoran ini enggak pernah sepi. Kita harus booking kalau mau ke sini," kata teman seperjalanan saya.Â
Jl. Paledang sendiri, meski namanya menjadi terkenal karena terdapat Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), merupakan jalan yang memberi kesan tersendiri. Ada beberapa bangunan tua di sini. Di sebelah kanan jalan kalau dari arah Jalan Juanda. Ada Kafe Peppino yang artistik, berseberangan dengan Restoran Gumanti. Di sebelah kiri ada Sungai Cibalok dan perkampungan yang berada di lembah. Pemandangan di sini cukup indah, suasana asri karena banyak pepohonan tua.
Saya sempat berkhayal, alangkah indahnya bila Pemkot Bogor menjadikan Jl. Paledang sebagai kawasan rekreasi kuliner yang modern, tempat berdirinya kafe-kafe dengan hiburan yang sehat, pusat penjualan makanan dan oleh-oleh Kota Bogor. Sayang jalan itu terlalu gelap di malam hari.
Trotoar di Jl. Paledang cukup bagus. Tetapi mendekati Lapas, trotoar mengecil. Suasana kembali semrawut karena di depan Lapas merupakan titik berkumpul penumpang commuterline yang baru turun atau mau menuju stasiun Bogor.
Di depan lapas itu merupakan ujung dari jembatan penyeberangan menuju Stasiun Bogor.
Karena menjadi titik berkumpul manusia, maka tak heran jika tempat itu sangat padat dan semrawut. Ojek online mangkal dan menurunkan penumpang di situ, begitu pula angkot-angkot. Sementara trotoar sudah habis diokupasi oleh pedagang makanan dan minuman, hingga naik ke jembatan penyeberangan.
Jembatan penyeberangannya sendiri luar biasa, dengan kemiringan sekitar 60 derajat dan cukup tinggi. Ini jelas bukan jembatan penyeberangan yang ramah untuk disabilitas dan orangtua. Tapi mau apa lagi? Tidak ada pilihan!
Begitulah Bogor hari ini. Kota hujan yang sudah terkikis keindahannya. Gunung Salak yang dulu ramah menyapa penumpang kereta api yang tiba di Stasiun Bogor, kini lebih sering bersembunyi. Jalan-jalan yang dulu lengang dan sejuk karena diteduhi pohon-pohon mahoni dan kenari, kini sumpek dan semrawut.