Mohon tunggu...
Herman Wijaya
Herman Wijaya Mohon Tunggu... profesional -

Penulis Lepas.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Bogor yang Sumpek tapi Ngangenin

21 Juni 2018   10:10 Diperbarui: 21 Juni 2018   12:52 846
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aparat berjaga di depan Terminal Baranangsiang.

Jika pernah makan di RM Ampera, seperti itulah konsepnya. Kita bisa memilih menu -- masakan Sunda -- lalu memberikan kepada pelayan untuk dipanaskan. Nasi ambil sesukanya, ada nasi putih dan nasi merah. Sambal juga ada 3 macam; yang mentah atau digoreng. Beberapa jenis lapapan mulai dari buah mentimun, daun pohpohan, kemangi, salada dan leunca.

Rumah makan itu cukup ramai. Pengunjung terus berdatangan, sampai kami selesai makan dan ngopi di luar. Sampai kami beranjak, masih ada saja yang datang. Rata-rata datang dengan mobil masing-masing. Terkesan masyarakat makin sejahtera.

Dari rumah makan kami memutuskan jalan kaki menuju stasiun Bogor. Masuk ke terminal untuk memotong jalan Sambu, lalu ke Jl. Bangka hingga tembus ke Jl. Ir. H. Juanda, tidak jauh dari Jembatan Kali Ciliwung yang membelah Kebun Raya. 

Terminal Baranangsiang merupakan terminal tua yang nyaris tidak terurus. Pernah ingin diremajakan, mungkin akan berubah fungsi, tetapi mendapat penolakan keras dari para sopir, sehingga status quo sampai saat ini. 

Terminal Baranangsiang
Terminal Baranangsiang
Dulu angkot ngetem di terminal. Bila penuh baru berangkat. Kini angkot yang masuk terminal bisa dihitung dengan jari. Angkot memilih ngetem di pinggir jalan untuk menjemput penumpang. Sejak muncul ojek online penumpang lebih manja.

Angkot bisa berlama-lama berhenti di pinggir jalan, bahkan di tempat terlarang. Bila ada petugas yang perduli baru jalan. Mungkin karena terlalu banyak angkot di Bogor, petugas seperti bosan. Atau petugas memahami sekarang makin sulit bagi sopir angkot mendapatkan uang. Angkot yang berhenti tidak pada tempatnya sering didiamkan saja. Atau kalau pun "ditertibkan" tidak terlalu serius. Bogor memang dikenal sebagai kota angkot. Bus kota tidak laku di sini, selain jalan-jalan di Bogor merupakan warisan lama yang sulit dilalui bus kota berbadan besar.

Kami menelusuri Jalan Ir. H. Juanda  menuju Pasar Bogor melewati bahu jalan, karena trotoar sudah menghilang diokupasi pedagang. Ada pedagang talas, alpokat, sayur dan buah-buahan, makanan bahkan pedagang kelinci. Sepanjang perjalanan kami harus waspada karena jalan yang kami lalui merupakan jalur sepeda motor yang juga dilewati kendaraan roda empat.

Trotoar ada di seberang yang berbatasan dengan pagar Kebun Raya. Tetapi tidak banyak yang bisa dilihat di sana kecuali kita ingin ke Kebun Raya. Melalui bahu jalan yang kami lalui lebih banyak yang bisa dilihat dan sesekali dipotret menggunakan kamera mirrorless yang saya bawa.

Jalan lalu terpecah menjadi dua, antara jalan Suryakencana dan jalan Ir. H. Juanda yang menuju istana Bogor dan kemudian di depan Bogor Trade Mall terpecah lagi menjadi dua: yang ke kiri menuju Tanjakan Empang, Ciapus dan Ciomas, yang kanan menuju arah Istana Bogor, Stasiun, ke arah Cimahpar, Jambu Dua, dan bisa kembali lagi ke Jl. Pajajaran, arah Terminal Baranangsiang, Botani Square, Tugu Kujang, jalan tol atau ke arah Tajur.

Jl. Suryakencana sudah tidak asing lagi bagi kami. Setiap Cap Go Meh kami selalu datang untuk memotret kemeriahan Cap Go Meh di Wihara Danagun. Pada Imlek dua tahun lalu saya melihat Walikota Bima Arya datang ke wihara tersebut. Dia masuk wihara berdiri di antara lilin-lilin besar yang sedang menyala,  mengucapkan Selamat Imlek di depan kamera, lalu pergi. Dia tidak menemui pengelola kelenteng untuk menanyakan situasi atau mengucapkan selamat.

Kami melewati jalan Suryakencana menuju mal BTM. Jalanan padat oleh kendaraan dan orang yang lalu lalang. Banyak mobil yang pakir di depan pertokoan dan pasar tradisional yang kumuh. Kami sempat memotret Musium Tanah dekat pasar. 

Musium Tanah
Musium Tanah
Menurut website Pemprov Jabar, sejarah singkat Museum Tanah Bogor tidak dapat dipisahkan dari kegiatan penelitian tanah di Indonesia yang dimulai sejak belanda dengan didirikannya Laboratorium Voor Agrogeologie en Grond Onderzoek atau Laboratorium untuk perluasan pengetahuan tentang tanah pada tahun 1905. 

Tahun 1974, laboratorium tersebut berganti menjadi Lembaga Penelitian Tanah bergabung dalam satu wadah yaitu Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Selang 14 tahun kemudian, tepatnya 29 September 1988 Kementerian Pertanian bekerja sama dengan International Soil Regerence and Information Centre (ISRIC) Wageningen Belanda mendirikan Museum Tanah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun