Mohon tunggu...
Herman Wijaya
Herman Wijaya Mohon Tunggu... profesional -

Penulis Lepas.

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Artikel Utama

Penertiban Parkir Liar Jangan seperti Sinetron

10 September 2014   00:17 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:10 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1410261599456848303

[caption id="attachment_358195" align="aligncenter" width="562" caption="Ilustrasi Parkir Liar (KOMPAS.COM/PRAVITA RESTU ADYSTA)"][/caption]

Dinas Perhubungan DKI Jakarta kembali mengeluarkan jurus mautnya untuk menertibkan parkir liar. Mulai Senin (8/9) kemarin, penertiban dilakukan di beberapa titik jalan, yakni di Kalibata Jakarta Selatan, Beos Jakarta Barat, dan Jatinegara Jakarta Timur.

Di hari pertama penertiban parkir liar di lima lokasi, kendaraan yang ketahuan melanggar diderek dan didenda Rp 500 ribu per hari. Mulai hari ini, “Hukumannya dobel, ditambah dengan tilang dari pihak kepolisian,” kata Kepala Bidang Pengendalian Operasional Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Syafrin Liputo.

Penertiban parkir liar bukanlah pekerjaan baru yang dilakukan oleh aparat Dinas Perhubungan DKI. Cuma di era Jokowi – Ahok, kesannya menjadi demikian heboh, karena petugas melakukan langkah-langkah yang lebih ekstrem dalam penertiban. Mulai dari menggembosi ban, menggembok hingga menggangkat dengan jaring (khusus motor).

Aksi itu jelas melahirkan tontonan yang menarik bagi masyarakat, menimbulkan kegeraman dan kepedihan bagi pemilik kendaraan yang kena tindak, dan yang punya news valuebuat media.

Sulit dibayangkan, seperti apa rasanya harus kehilangan uang sebesar Rp.500 ribu bagi seorang sopir angkutan umum atau mobil angkutan barang. Sedangkan mobil pribadi yang ditilang, juga belum tentu milik orang yang hari itu mengemudikannya. Bisa saja dia cuma sopir dari pemilik mobil. Kalau si pemilik mobil tidak mau tahu dengan denda yang harus dibayarkan, terpaksa sang sopir menanggung resiko. Paling-paling pinjam sama majikan. Bayarannya potong gaji.

Majikan yang seperti itu bukan cerita kosong. Ketika saya bekerja di sebuah rumah produksi, kerusakan yang sifatnya insidentil seperti mobil tergores, berbenturan atau kecelakaan lain, sopir harus membayar biaya klaim asuransinya. Memang tidak terlalu besar dibandingkan membiayai kerusakan; tetapi untuk seorang sopir, biaya klaim asuransi itu cukup memberatkan.

Hukuman memang pahit. Dan itu resiko harus yang ditanggung oleh orang yang melanggar hukum (kalau hukum itu adil tentunya). Jadi kalau tidak mau menanggung resiko, jangan melanggar hukum. Dalam hukum, pelanggaran karena alpa atau terpaksa, tetap diganjar hukuman.

Itulah, yang terjadi dengan mobil-mobil yang parkir sembarangan. Padahal, mungkin tempat parkirnya tidak ada; mungkin cuma mampir sebentar untuk mengambil/menurunkan barang; mungkin menunggu penumpang; dsb. Dlsb. Alasan apa pun yang dikeluarkan, tetap saja salah. Titik.

Langkah Pemprov DKI melalui Dinas Perhubungan menertibkan parkir liar patut didukung oleh semua pihak. Parkir liar jelas mengganggu kepentingan orang lain. Menimbulkan kemacetan dan kesemrawutan. Karena itu harus ditindak dengan tegas.

Cuma yang jadi pertanyaan: sampai sejauh mana konsistensi Pemprov DKI dalam menjalankan kebijakan ini. Di negeri ini, urusan konsistensi merupakan barang mahal yang sulit dicari. Makanya istilah anget-anget tai ayam masih sering terdengar. Pemerintah dan aparatnya kerap kehabisan stamina dalam menjalankan kebijakan. Cuma kenceng diawal, tapi kendor belakangan, lalu menguap.

Ketika Wiranto masih mejadi Panglima ABRI, ada Gerakan Disiplin Nasional. Yang mewajibkan orang berlaku disiplin di tempat-tempat umum. Antara lain – yang saya ingat – orang tidak boleh menyeberang sembarangan, kecuali melalui jembatan penyeberangan. Aparat militer ikut mengawasi orang yang menyeberang jalan.

Di awal jabatannya sebagai Kapolri, Bambang Hendarso Danuri juga memerintahkan bawahannya untuk merazia preman. Tindakan itu mendapat apresiasi dari masyarakat, karena masyarakat memang sudah capek dirusuhi preman yang terus bermunculan. Tindakan terhadap preman ini masih dijalankan dalam momen-momen tertentu, misalnya menjelang Ramadhan lalu. Sporadis.

Dalam soal lalulintas, ada penertiban untuk pengendara yang memasuki jalur busway; kemudian pemasangan RIFD (Radio Frequency identification)untuk membatasi pembelian BBM bersubsidi di SPBU; dan baru-baru ini penjualan bensin dan solar bersubsidi di SPBU jalan tol dihilangkan. Semua kebijakan itu kebanyakan sudah dan hampir menguap. Jadi sudah banyak kebijakan yang hanya bersifat coba-coba, dan masyarakat menjadi kelinci percobaannya. Setelah pemerintah dan aparatnya kehabisan stamina, perilaku masyarakat kambuh lagi. Sementara "korban" sudah jatuh.

Penertiban parkir liar yang dilakukan oleh Dinas Perhubungan DKI menarik untuk diikuti, karena selalu melahirkan kejutan-kejutan baru. Masyarakat memperbincangkannya, media memberikan ruang untuk memberitakannya. Ini seperti kreativitas public relation yang jitu.

Apakah langkah itu berhasil menghilangkan praktek parkir liar di Jakarta? Belum tentu. Pelanggaran itu seperti balon. Dipencet di kiri, benjol di kanan. Begitu sebaliknya. Coba saja jalan di beberapa ruas jalan Jakarta, masih banyak parkir liar. Seolah-olah gebrakan Dinas Perhubungan DKI dan koar-koar Ahok tidak berpengaruh.

Dalam operasi penertiban parkir liar dengan denda 500 ribu perak Senin (8/9) kemarin. Berhasil dijaring 12 buah kendaraan. Kendengarannya sangat ironis. Dari sekian luas jalan di Jakarta, dengan jumlah kendaraan yang jutaan, masa cuma segitu yang berhasil ditindak. Jangan-jangan biaya operasional penertiban jauh lebih mahal ketimbang hasil yang dicapai.

Sudah saatnya segala sesuatu dibuat dengan rencana sematang mungkin. Ada kerjasama lintas sektoral yang lebih luas, bukan hanya melibatkan segelintir petugas dari unit-unit yang kecil. Supaya penertiban bisa dilakukan secara serentak di lima wilayah DKI. Penertiban juga tidak boleh pandang bulu, supaya masyarakat melihat bahwa hukum dan peraturan dijalankan dengan adil. Sebab di Jakarta, bukan cuma parkir liar yang mengganggu jalan: orang membuat bengkel dengan memanfaatkan trotoar dan jalan, kaki lima, masih banyak kok!

Penertiban parkir liar jangan seperti sebuah cerita sinetron. Selalu melahirkan kejutan baru dalam cerita, dan aktor yang makin terkenal karenanya. (herman wijaya/ hw16661@yahoo.com).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun