Ketika Wiranto masih mejadi Panglima ABRI, ada Gerakan Disiplin Nasional. Yang mewajibkan orang berlaku disiplin di tempat-tempat umum. Antara lain – yang saya ingat – orang tidak boleh menyeberang sembarangan, kecuali melalui jembatan penyeberangan. Aparat militer ikut mengawasi orang yang menyeberang jalan.
Di awal jabatannya sebagai Kapolri, Bambang Hendarso Danuri juga memerintahkan bawahannya untuk merazia preman. Tindakan itu mendapat apresiasi dari masyarakat, karena masyarakat memang sudah capek dirusuhi preman yang terus bermunculan. Tindakan terhadap preman ini masih dijalankan dalam momen-momen tertentu, misalnya menjelang Ramadhan lalu. Sporadis.
Dalam soal lalulintas, ada penertiban untuk pengendara yang memasuki jalur busway; kemudian pemasangan RIFD (Radio Frequency identification)untuk membatasi pembelian BBM bersubsidi di SPBU; dan baru-baru ini penjualan bensin dan solar bersubsidi di SPBU jalan tol dihilangkan. Semua kebijakan itu kebanyakan sudah dan hampir menguap. Jadi sudah banyak kebijakan yang hanya bersifat coba-coba, dan masyarakat menjadi kelinci percobaannya. Setelah pemerintah dan aparatnya kehabisan stamina, perilaku masyarakat kambuh lagi. Sementara "korban" sudah jatuh.
Penertiban parkir liar yang dilakukan oleh Dinas Perhubungan DKI menarik untuk diikuti, karena selalu melahirkan kejutan-kejutan baru. Masyarakat memperbincangkannya, media memberikan ruang untuk memberitakannya. Ini seperti kreativitas public relation yang jitu.
Apakah langkah itu berhasil menghilangkan praktek parkir liar di Jakarta? Belum tentu. Pelanggaran itu seperti balon. Dipencet di kiri, benjol di kanan. Begitu sebaliknya. Coba saja jalan di beberapa ruas jalan Jakarta, masih banyak parkir liar. Seolah-olah gebrakan Dinas Perhubungan DKI dan koar-koar Ahok tidak berpengaruh.
Dalam operasi penertiban parkir liar dengan denda 500 ribu perak Senin (8/9) kemarin. Berhasil dijaring 12 buah kendaraan. Kendengarannya sangat ironis. Dari sekian luas jalan di Jakarta, dengan jumlah kendaraan yang jutaan, masa cuma segitu yang berhasil ditindak. Jangan-jangan biaya operasional penertiban jauh lebih mahal ketimbang hasil yang dicapai.
Sudah saatnya segala sesuatu dibuat dengan rencana sematang mungkin. Ada kerjasama lintas sektoral yang lebih luas, bukan hanya melibatkan segelintir petugas dari unit-unit yang kecil. Supaya penertiban bisa dilakukan secara serentak di lima wilayah DKI. Penertiban juga tidak boleh pandang bulu, supaya masyarakat melihat bahwa hukum dan peraturan dijalankan dengan adil. Sebab di Jakarta, bukan cuma parkir liar yang mengganggu jalan: orang membuat bengkel dengan memanfaatkan trotoar dan jalan, kaki lima, masih banyak kok!
Penertiban parkir liar jangan seperti sebuah cerita sinetron. Selalu melahirkan kejutan baru dalam cerita, dan aktor yang makin terkenal karenanya. (herman wijaya/ hw16661@yahoo.com).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H