Mohon tunggu...
Herman Wijaya
Herman Wijaya Mohon Tunggu... profesional -

Penulis Lepas.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mengapa Anak-anak Kita Kehilangan Etika?

13 September 2014   18:43 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:48 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1410583512688456697

[caption id="attachment_358916" align="aligncenter" width="300" caption="Seorang anak muda menunjukkan sikap hormatnya kepada orangtua. Foto diambil di lingkungan dalam Kraton Yogya, tiga tahun lalu. (Foto: Herman Wijaya)"][/caption]

Beberapa waktu lalu media sosial diramaikan dengan komentar terhadap postingan status seorang anak muda yang marah, karena ia “dipaksa” untuk memberi tempat duduk kepada seorang wanita hamil. Para komentator umumnya menyerang wanita muda tersebut, yang dinilai tidak punya etika, bahkan kehilangan empati terhadap kaumnya yang sedang menanggung beban berat. Dalam kehidupan sehari-hari kita memang menaruh sikap hormat kepada orangtua, orang hamil atau orang yang sedang sakit. Karena itulah, orang-orang beretika selalu memberikan privelese kepada orang dari kategori itu.

Sikap anak muda yang egois, tidak peduli dengan lingkungan sekitarnya, atau katakanlah tidak memiliki etika, saat ini sangat lumrah kita temui di tempat-tempat umum. Bagi pengguna angkutan umum, bukan hal aneh melihat anak-anak muda yang duduk dengan tenang sambil bermain gadget dengan telinga tertutup headset sambil mengangguk-anggukan kepala. Ada pula yang bercanda-canda atau bercengkerama dengan lawan jenisnya. Anak-anak muda itu tidak perduli di depannya ada orangtua, orang hamil, bahkan menggendong anak.

Di tiap-tiap kereta Commuter Line selalu ada kursi prioritas untuk orangtua, orang sakit atau wanita hamil. Biasanya kursi itu terletak di ujung gerbong. Untuk kursi prioritas itu biasanya diberi stiker dengan tulisan kursi khusus dan gambar yang menunjukkan orangtua, orang sakit dan wanita hamil. Tetapi realitasnya, kursi-kursi khusus itu kerap diduduki oleh orang-orang yang tidak berhak. Bahkan anak-anak muda yang terlihat gagah dan bugar.

Bila ada petugas dan orang yang membutuhkan kursi itu, biasanya petugas meminta agar orang yang tidak berhak bangun, agar kursinya diberikan kepada orang yang berhak. Tetapi petugas seringkali tidak ada. Kadang petugas juga seolah-olah tidak melihat. Bila commuter line penuh sesak, petugas juga tidak kelihatan.

Persoalan lain di commuter line adalah orang-orang yang duduk di dekat pintu kereta. Orang-orang yang duduk ini kadang sampai dua baris, sehingga menggangu penumpang lain yang berdiri. Mereka tidak perduli kalau penumpang yang berdiri menahan badannya agar tidak jatuh terkena gerakan sentrifugal di dalam kereta. Sebagian bahkan memejamkan mata atau ngobrol dengan temannya. Dalam kasus ini pun petugas seringkali tidak ada, atau kalau pun ada mendiamkan saja.

Bagi pengguna lalulintas, sudah bukan hal aneh lagi melihat perilaku orang-orang dijalanan yang main serobot, memasuki jalur terlarang, atau bahkan melawan arus yang bisa membahayakan anggota masyarakat lainnya.

Yang ingin disampaikan di sini adalah persoalan etika yang hilang dari sikap dan perilaku masyarakat kita, terutama anak-anak muda. Mengapa hal itu terjadi pada bangsa yang dulu dikenal ramah dan sopan ini?

Saya yang awam mencoba menganalisanya. Mungkin analisa saya salah, para pakar perlu meluruskannya. Maklum saya tidak memiliki kompetensi yang cukup untuk melakukan ini.
Saya melihat persoalannya bermula dari rumah. Kini banyak orangtua yang tidak lagi mengajarkan sopan-santun atau etika kepada anak-anaknya. Kalau pun ada hanya sebatas formalitas saja. Anak-anak dibiarkan mencari sendiri nilai-nilai moral dan etika dari lingkungannya. Kenapa demikian, karena banyak orangtua yang tidak sempat lagi melakukan hal itu. Tuntuan terhadap orangtua sekarang sangat berat untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Banyak kepala keluarga yang harus ke luar sebelum anak-anaknya bangun tidur, dan baru pulang setelah anaknya tertidur. Hanya sedikit sekali waktu yang diberikan kepada anak-anaknya.

Anak-anak muda juga tidak memiliki fasilitas umum yang baik untuk menyalurkan bakat dan kreativitasnya. Di mana sekarang anak-anak bisa berolahraga atau bermain musik selain di tempat yang harus mengeluarkan uang?

Bagi keluarga tidak mampu di perkotaan, mendidik anak lebih sulit lagi. Saya banyak menemukan keluarga yang memiliki dengan ukuran sangat kecil. Ada sebuah keluarga dengan empat anak yang menempati ruangan seluas 3 X 5 meter. Ruangan itu berfungsi sebagai tempat tidur, dapur, dan menerima tamu. Anak-anak yang agak besar biasanya baru berada di rumah menjelang tidur. Selebihnya berkeliaran.

Yang kedua adalah tontonan televisi. Kita semua tahu bagaimana kualitas tontonan televisi kita. Baik yang berupa reportase, feature, variety show atau sinetron. Sebagian besar tidak mendidik, baik dalam aksi maupun dialog. Tontonan semacam itu setiap hari disaksikan oleh keluarga-keluarga di Indonesia. Tidak ada yang mampu memfilternya.

Yang ketiga adalah gadget dan warnet. Saat ini anak lebih banyak menghabiskan waktu luangnya dengan gadet dan warnet. Kita tahu dalam gadget dan warnet terdapat berbagai hal yang bisa dilihat dan dipelajari. Baik yang positif maupun negative. Nyaris tak ada satu pun anak-anak modern yang tidak memiliki gadget. Itulah teman mereka sehari-hari. Dalam keseharian, anak-anak menjadi asosial, bahkan jauh dari keluarganya sendiri.

Tentu masih banyak lagi faktor-faktor yang mempengaruhi mengapa anak-anak kita kehilangan etika. Kita beharap pendidikan agama, sekolah, dan pemerintah bisa menjaga anak-anak kita untuk tetap beretika. Selama ini pemerintah abai. Kita berharap Jokowi dan revolusi mentalnya, akan memperbaiki, dengan fasilitas yang cukup untuk kebutuhan itu. (herman wijaya/hw16661@yahoo.com).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun