[caption id="attachment_364925" align="aligncenter" width="546" caption="Atikah Hasiholan bersepeda dalam film "][/caption]
Bagi masyarakat Indonesia pada umumnya, nama Djamin Ginting tidak terlalu dikenal. Padahal Djamin Ginting adalah salahsatu pahlawan nasional yang berjuang disaat Indonesia ingin melepaskan diri dari penjajahan, serta mempertahankan kemerdekaan itu ketika Belanda kembali ke Indonesia dengan membonceng sekutu. Kini nama Djamin Ginting diabadikan sebagai sebuah nama jalan di Medan, Sumatera Utara.
Djamin Ginting adalah pahlawan nasional dari Sumatera Utara, tepatnya dari Tanah Karo. Karier militernya dimulai dari bawah sebagai tentara Peta, hingga ia meninggal dunia sebagai Duta Besar Indonesia untuk Kanada. Djamin adalah salah satu dari dua orang ajudan Jenderal Ahmad Yani yang selamat dari kekejaman PKI pada peristiwa G30S. Salah satunya adalah Umar Wirahadikusumah.
Melalui film 3 Nafas Likas, sutradara Rako Prijanto yang menerjemahkan skenario Titin Wattimena, mencoba menghadirkan sosok Djamin Ginting.n Tetapi tokoh utama dalam film ini adalah Likas boru Tarigan, isteri sang pejuang.
Ada tiga orang yang sangat berpengaruh dalam diri Likas, yakni ibunya, kakaknya Jure, dan suaminya Djamin Ginting. Ibunya, meski melarang Likas menempuh pendidikan guru, begitu dekat dengan Likas. Sang ibu merasa begitu kehilangan Likas ketika anaknya itu ingin bersekolah guru di sekolah Belanda. Jure adalah kakak tertua Likas yang membiayai dan memberinya motivasi untuk belajar, sedang Djamin Ginting, adalah suami yang juga belahan jiwa Likas.
Ketika ketiga orang itu dipanggil oleh Sang Khalik, jiwa Likas pun seperti melayang. Ironisnya, kepergian ketiga orang yang sangat dicintainya itu, terjadi jauh dari dirinya. Sang suami meninggal di Kanada ketika Likas berangkat ke Jakarta, untuk mengantarkan surat kepada Presiden Soeharto, atas permintaan suaminya yang menjadi Dubes. Kematian Jure yang pelaut hanya diketahui melalui telegram berbahasa Jepang yang diterimanya. Sedangkan ibunya meninggal ketika ia sekolah guru. Likas baru tahu ibunya meninggal ketika ia kembali ke rumahnya di Sibolangit.
Sejak kecil Likas adalah anak yang cerdas dan berani. Ia juga kritis dan selalu berontak atas ketidakadilan jender yang terjadi di kampungnya. Ketika anak-anak lelaki sebayanya menghina orangtuanya, Likas mengamuk, mencabuti tanaman jagung milik orangtua dari anak yang menghinanya. Setelah jadi guru, mengkritik ketidaksetaraan jender di daerahnya, yang membuat ia dikecam keras para lelaki.
Begitulah Likas tumbuh. Di antara kekangan adat, dan ibu yang terlalu posesif, Likas ingin menjadi perempuan yang maju. Untuk itulah ia sekolah guru, meski pun ibunya meminta agar Likas tidak pergi. Sang ibu mengatakan akan mati bila Likas pergi. Ia bahkan berjanji akan memberkan semua perhiasan emasnya bila Likas tetap tinggal di rumah. Tetapi tekad Likas dan motivasi ayahnya yang berpandangan lebih maju, membuat Likas melupakan ratapan sang ibu. Kata-kata sang ayah, “Kau kan suka ke gereja. Kau kan tahu bahwa kematian itu akan terjadi jika Tuhan menghendaki,” membuat Likas kuat meninggalkan ibunya.
Likas kemudian tumbuh menjadi gadis yang cantik dan cerdas. Seorang prajurit Peta yang baru pindah ke Pangkalan Brandan, tempat Likas mengabdikan ilmunya sebagai guru, tertarik kepada Likas. Prajurit itu adalah Djamin Ginting, lelaki yang kelak menjadi suaminya. Likas yang mulanya acuh, tak kuasa menolak cinta Djamin, yang terus menerus membobardir dirinya dengan surat cinta.
Djamin berniat melamar Likas. Tetapi ayahnya tak setuju, karena tidak tahu asal-usul Djamin. Bahkan ketika Djamin datang melamar bersama orangtua dan saudara-saudaranya, ayah Likas pergi entah ke mana. Setelah Likas merajuk sedemikian rupa, ayahnya mau menerima keluarga Djamin. Tapi dalam menerima lamaran itu pun ia memberikan syarat yang sangat berat, yakni mas kawin sebesar 3000 gulden. Harapannya tentu agar Djamin mundur karena tidak sanggup. Tapi Djamin sang pejuang menyatakan sanggup memenuhi permintaan itu.
Likas akhirnya menikah dengan Djamin. Tetapi pernikahan itu justru menjadi permulaan hidup yang sesungguhnya bagi Likas. Sebagai pengantin baru, bukan bulan madu yang indah dirasakan, melainkan penderitaan, karena ia seringkali ditinggal sang suami ke medan laga, atau harus ikut bersama para pejuang hingga ke hutan Aceh Selatan, untuk menghindari tentara penjajah. Di masa gerilya itu pula anak pertamanya lahir.
Rupanya tempat persembunyian para pejuang diketahui Belanda. Mereka diserang oleh pesawat-pesawat Belanda. Likas yang berusaha menghindari bom-bom yang dijatuhkan pesawat, mengalami pendarahan, dan pingsan di air, di antara bebatuan sungai. Beberapa prajurit dan keluarganya tewas. Dalam pelarian, ada pula bayi yang meninggal dalam gendongan ibunya.
Meski pun sudah memiliki isteri dan anak, Djamin Ginting tak kenal istirahat. Ia justru mendahulukan kepentingan bangsa dibandingkan keluarganya. Dalam perjuangannya, Djamin bahkan sempat tertangkap dan disiksa Belanda. Atas bantuan seorang pengusaha keturunan Cina yang dekat dengan penguasa Belanda, Likas bisa melihat bagaimana suaminya diperlakukan kejam oleh tentara Belanda. Tetapi kebebasan Djamin dari tahanan Belanda terjadi karena ancaman pejuang di Sumatera Utara, yang akan membumihanguskan Pangkalan Brandan, bila Djamin tidak dibebaskan.
Setting Pra Kemerdekaan.
3 Nafa Likas merupakan sebuah drama percintaan yang berlatar belakang kehidupan di masa prakemerdekaan. Film ini mengambil setting tahun 1930 di Sumatera Utara. Mulai dari kehidupan desa yang permai di Sibolangit, suasana di Pangkalan Brandan menjelang hingga pasca kemerdekaan, tahun 1960-an, hingga masa kejayaan perekonomian Indonesia di bawah pemerintah Presiden Soeharto.
Skenario Titin Wattimena yang apik dan penutradaraan Rako Prijanto mampu menghadirkan plot-plot yang sangat dramatis. Rako mampu menampilkan kisah Likas yang bukan siapa-siapa dalam percaturan sejarah Indonesia, menjadi sesuatu yang enak untuk diikuti. Karakter Likas yang kuat, mampu diperankan dengan baik oleh Marissa Anita (Likas kecil), dan Atikah Hasiholan (Likas dewasa). Bahkan Vino G Bastian yang selama ini dikenal sebagai bintang yang lebih dikenal karena ketampanan disbanding aktingnya, berhasil menghadirkan sosok Djamin Ginting dengan begitu baik.
Dari aspek pemeranan, hampir semua aktor yang tampil di sini, termasuk Jajang C Noer (sebagai ibu Likas), Arswendi Nasution (ayah Likas) maupun Rina Hasyim (bibi Likas) tampil sempurna. Semua itu tentu tidak lepas dari arahan sutradara Rako Prijanto. Namun seperti kata pepatah “Tak ada gading yang tak retak”, film ini pun bukan tanpa kelamahan. Rako mengabaikan beberapa detail yang akhirnya memperlihatkan sisi lemah film ini. Pertama adalah pada casting dan make-up. Memilih Jajang C Noer sebagai ibu dari Likas jelas sebuah kesalahan yang tidak bisa dianggap sederhana. Jajang terlalu tua untuk menjadi ibu Likas kecil. Apalagi bila kamera mengclose-up wajah jajang, terlihat kerutan-kerutan yang membuat Jajang lebih pantas berperan sebagai nenek ketimbang menjadi ibu Likas.
Bagi masyarakat desa, biasanya wanita menikah pada usia muda, sehingga ketika ia memiliki anak, raut kemudaan itu masih terlihat, bukan wajah penuh keriput seperti milik Jajang C Noer. Orangtua Likas juga bukan tergolong keluarga miskin, yang bisa membuat wajah seseorang menjadi cepat tua karena didera kemiskinan. Buktinya sang ibu memiliki emas banyak, dan sempat mengatakan mampu merawat anak-anaknya. Kalimat itu diucapkan agar Likas tidak pergi. Sebaliknya pemeran Likas tua (Tuti Kirana) terkesan masih terlalu muda – bila melihat umur Likas pada saat buku tentang dirinya ditulis – intonasi Tuti Kirana seperti sedang berteater.
Polesan make-up juga bekerja kurang sempurna, sehingga sosok ayah Likas yang diperankan oleh Arswendi Nasution tidak mengalami perubahan berarti, sejak Likas kecil hingga dewasa. Begitu pula sosok Likas yang diperankan oleh Atikah Hasiholan sejak menjadi guru hingga suaminya meninggal. Hanya memoles rambut Atikah dengan warna putih, tetapi wajah Likas tetap sama dengan ketika ia masih gadis.
Di awal film, kita juga harus meraba-raba akan setting yang diambil. Film ini memang menampilkan rumah-rumah panggung dan wanita berkerudung khas Tapanuli (Karo), tetapi Rako tidak berani menampilkan dialog menggunakan bahasa Karo, sehingga penonton harus meraba-raba, di mana peristiwa ini terjadi. Jika tidak ada tulisan Sibolangit untuk menjelaskan, kita mungkin tidak tahu kapan dan di mana peristiwa itu terjadi. Padahal, ada adegan di mana Likas dan suaminya cukup lama berbicara dengan bahasa Karo.
Satu lagi yang menimbulkan tanda tanya adalah kebaya encim dan batik yang digunakan oleh para siswa sekolah guru di mana Likas menuntut ilmu. Apakah mungkin di tahun 1930-an itu kain batik dari Jawa dan kebaya encim sudah masuk dan digunakan oleh siswa sekolah di Sumatera Utara? Hata itu adalah siswa sekolah Belanda. Entah kalau itu merupakan hasil riset sebelumnya.
Terlepas dari beberapa kelemahan kecil itu, secara keseluruhan Rako menggarap film ini dengan baik. Dramaturginya sangat kuat, sinematografi bekerja dengan baik sehingga mampu menangkap suasana pedesaan di tanah Karo yang indah dan asri. Adegan yang dibangun sangat kuat. Pada beberapa bagian kelucuan dibangun tanpa dibuat-buat. Seperti ketika Likas naik truk untuk menemui suaminya yang ditahan di Medan. Dalam perjalan jauh itu ia harus memangku accu yang sangat berat, dan ia tidak boleh bergerak-gerak. Ketika Likas protes karena sang sopir bawel, sang sopir dengan ringan berkata,”Lebih baik banyak omong daripada banyak gerak!”. Terbukti ketika Likas bergerak, mobil itu mati.
Banyak lagi kelucuan yang terbangun karena dirancang dalam skenrio, bukan kelucuan yang terjadi karena gerak atau dialog situasional sebagaimana banyak ditemui dalam film komedi slapstick. Hal itulah, antara lain, yang membuat film ini enak ditonton, di samping, sekali lagi, secara dramaturgi memang kuat. (herman wijaya/hw16661@yahoo.com)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H