Mohon tunggu...
Herman Wijaya
Herman Wijaya Mohon Tunggu... profesional -

Penulis Lepas.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Film “3 Nafas Likas”: Kisah Wanita Pendamping Hidup Pahlawan Nasional Djamin Ginting

8 Oktober 2014   21:10 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:51 3615
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1412752169134051397


Rupanya tempat persembunyian para pejuang diketahui Belanda. Mereka diserang oleh pesawat-pesawat Belanda. Likas yang berusaha menghindari bom-bom yang dijatuhkan pesawat, mengalami pendarahan, dan pingsan di air, di antara bebatuan sungai. Beberapa prajurit dan keluarganya tewas. Dalam pelarian, ada pula bayi yang meninggal dalam gendongan ibunya.


Meski pun sudah memiliki isteri dan anak, Djamin Ginting tak kenal istirahat. Ia justru mendahulukan kepentingan bangsa dibandingkan keluarganya. Dalam perjuangannya, Djamin bahkan sempat tertangkap dan disiksa Belanda. Atas bantuan seorang pengusaha keturunan Cina yang dekat dengan penguasa Belanda, Likas bisa melihat bagaimana suaminya diperlakukan kejam oleh tentara Belanda. Tetapi kebebasan Djamin dari tahanan Belanda terjadi karena ancaman pejuang di Sumatera Utara, yang akan membumihanguskan Pangkalan Brandan, bila Djamin tidak dibebaskan.

Setting Pra Kemerdekaan.


3 Nafa Likas merupakan sebuah drama percintaan yang berlatar belakang kehidupan di masa prakemerdekaan. Film ini mengambil setting tahun 1930 di Sumatera Utara. Mulai dari kehidupan desa yang permai di Sibolangit, suasana di Pangkalan Brandan menjelang hingga pasca kemerdekaan, tahun 1960-an, hingga masa kejayaan perekonomian Indonesia di bawah pemerintah Presiden Soeharto.


Skenario Titin Wattimena yang apik dan penutradaraan Rako Prijanto mampu menghadirkan plot-plot yang sangat dramatis. Rako mampu menampilkan kisah Likas yang bukan siapa-siapa dalam percaturan sejarah Indonesia, menjadi sesuatu yang enak untuk diikuti. Karakter Likas yang kuat, mampu diperankan dengan baik oleh Marissa Anita (Likas kecil), dan Atikah Hasiholan (Likas dewasa). Bahkan Vino G Bastian yang selama ini dikenal sebagai bintang yang lebih dikenal karena ketampanan disbanding aktingnya, berhasil menghadirkan sosok Djamin Ginting dengan begitu baik.

Dari aspek pemeranan, hampir semua aktor yang tampil di sini, termasuk Jajang C Noer (sebagai ibu Likas), Arswendi Nasution (ayah Likas) maupun Rina Hasyim (bibi Likas) tampil sempurna. Semua itu tentu tidak lepas dari arahan sutradara Rako Prijanto. Namun seperti kata pepatah “Tak ada gading yang tak retak”, film ini pun bukan tanpa kelamahan. Rako mengabaikan beberapa detail yang akhirnya memperlihatkan sisi lemah film ini. Pertama adalah pada casting dan make-up. Memilih Jajang C Noer sebagai ibu dari Likas jelas sebuah kesalahan yang tidak bisa dianggap sederhana. Jajang terlalu tua untuk menjadi ibu Likas kecil. Apalagi bila kamera mengclose-up wajah jajang, terlihat kerutan-kerutan yang membuat Jajang lebih pantas berperan sebagai nenek ketimbang menjadi ibu Likas.


Bagi masyarakat desa, biasanya wanita menikah pada usia muda, sehingga ketika ia memiliki anak, raut kemudaan itu masih terlihat, bukan wajah penuh keriput seperti milik Jajang C Noer. Orangtua Likas juga bukan tergolong keluarga miskin, yang bisa membuat wajah seseorang menjadi cepat tua karena didera kemiskinan. Buktinya sang ibu memiliki emas banyak, dan sempat mengatakan mampu merawat anak-anaknya. Kalimat itu diucapkan agar Likas tidak pergi. Sebaliknya pemeran Likas tua (Tuti Kirana) terkesan masih terlalu muda – bila melihat umur Likas pada saat buku tentang dirinya ditulis – intonasi Tuti Kirana seperti sedang berteater.


Polesan make-up juga bekerja kurang sempurna, sehingga sosok ayah Likas yang diperankan oleh Arswendi Nasution tidak mengalami perubahan berarti, sejak Likas kecil hingga dewasa. Begitu pula sosok Likas yang diperankan oleh Atikah Hasiholan sejak menjadi guru hingga suaminya meninggal. Hanya memoles rambut Atikah dengan warna putih, tetapi wajah Likas tetap sama dengan ketika ia masih gadis.


Di awal film, kita juga harus meraba-raba akan setting yang diambil. Film ini memang menampilkan rumah-rumah panggung dan wanita berkerudung khas Tapanuli (Karo), tetapi Rako tidak berani menampilkan dialog menggunakan bahasa Karo, sehingga penonton harus meraba-raba, di mana peristiwa ini terjadi. Jika tidak ada tulisan Sibolangit untuk menjelaskan, kita mungkin tidak tahu kapan dan di mana peristiwa itu terjadi. Padahal, ada adegan di mana Likas dan suaminya cukup lama berbicara dengan bahasa Karo.


Satu lagi yang menimbulkan tanda tanya adalah kebaya encim dan batik yang digunakan oleh para siswa sekolah guru di mana Likas menuntut ilmu. Apakah mungkin di tahun 1930-an itu kain batik dari Jawa dan kebaya encim sudah masuk dan digunakan oleh siswa sekolah di Sumatera Utara? Hata itu adalah siswa sekolah Belanda. Entah kalau itu merupakan hasil riset sebelumnya.


Terlepas dari beberapa kelemahan kecil itu, secara keseluruhan Rako menggarap film ini dengan baik. Dramaturginya sangat kuat, sinematografi bekerja dengan baik sehingga mampu menangkap suasana pedesaan di tanah Karo yang indah dan asri. Adegan yang dibangun sangat kuat. Pada beberapa bagian kelucuan dibangun tanpa dibuat-buat. Seperti ketika Likas naik truk untuk menemui suaminya yang ditahan di Medan. Dalam perjalan jauh itu ia harus memangku accu yang sangat berat, dan ia tidak boleh bergerak-gerak. Ketika Likas protes karena sang sopir bawel, sang sopir dengan ringan berkata,”Lebih baik banyak omong daripada banyak gerak!”. Terbukti ketika Likas bergerak, mobil itu mati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun