[caption id="attachment_368369" align="aligncenter" width="619" caption="KOMPAS.COM/BANAR FIL ARDHI"][/caption]
Sejak diselengarakan pertama kali tahun 1955 Festival Film Indonesia (FFI) sudah dianggap sebagai hajat paling bergengsi insan perfilman di Indonesia. Dalam perjalanannya yang selalu menghadapi kerikil, kadang tersaruk-saruk dan bahkan pernah istirahat cukup panjang karena kehabisan nafas, toh sejak tahun 2004 FFI bangkit lagi, dan tetap melanjutkan langkahnya sampai tahun 2014 ini.
Bagi kebanyakan insan film, FFI ibarat kekasih yang menyebalkan. Kehadirannya dirindukan, walau ketika ada di hadapan mata, keberadaanya justru dibenci. Diakui atau tidak, kebencian itu merupakan bentuk lain dari rasa peduli. Sebab rasa benci itu juga tidak permanen sifatnya, karena di lain waktu, rasa benci itu berubah menjadi rasa sayang. Artinya kebencian timbul bukan karena FFI-nya, tetapi kepada siapa yang memegang kemudi, dan berada di dalam kendaraan bernama FFI itu. Jadi, kapan pun FFI diselenggarakan, siapa pun penyelenggara dan pelaksananya, pro dan kontra selalu ada.
Pada awalnya FFI diselenggarakan oleh Yayasan Film Indonesia (YFI). Dan pada tahun 1979 diambil alih oleh pemerintah, ketika itu Menteri Penerangan dijabat oleh Ali Murtopo. Pengambilan FFI oleh pemerintah lebih kepada alasan politis, yakni keinginan pemerintah untuk mengontrol terhadap perfilman. Apalagi film dinilai sebagai media yang sangat strategis, mampu mempengaruhi karakter masyarakat, menjadi alat ampuh untuk propaganda politik. Sebagai konsekuensinya, pemerintah ikut bertanggungjawab penuh terhadap biaya penyelenggaraan FFI.
Di satu sisi, keterlibatan pemerintah dalam hajat perfilman disyukuri karena dapat membantu mengurangi beban masyarakat film untuk membiayai hajatnya. Tetapi di sisi lain, keterlibatan pemerintah merupakan cengkeraman yang sulit dilepaskan.
Sejak tahun 1993 FFI tidak lagi diselenggarakan, karena kondisi perfilman ketika itu sedang terpuruk. Masuknya era pertelevisian swasta di Indonesia dan banyaknya bioskop bukan dari grup 21 yang gulung tikar, menyebabkan pasar film nasional mengalami kelesuan, kalau tidak mau dikatakan hancur. Pemerintah (Departemen Penerangan) mencoba menggerakan industri perfilman yang sedang kolaps dengan memproduksi beberapa judul film, juga Gabungan Pengusaha Bioskop (GPBSI), tetapi karena film-film yang diproduksi tidak berkualitas, tetap tidak mampu membangkitkan minat masyarakat untuk menonton film.
Barulah setelah Mira Lesmana bersama Riri Riza membuat film Petualangan Sherina (2000), kemudian Rizal Matovani dan Jose Rizal membuat film Jelangkung (2001), dan Rudy Soedjarwo membuat Ada Apa Dengan Cinta (2002), perfilman Indonesia seperti bangun dari tidur panjangnya. Judul-judul film baru kemudian lahir, sehingga tercetus keinginan untuk kembali menyelenggarakan FFI. Dan atas inisiatif sutradara film Adi Surya Abdi yang juga menjadi anggota Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N), tahun 2004 FFI kembali diadakan. Adisoerya Abdy menjadi Ketua Panitia Pelaksana.
Sejak tahun 2004 hingga tahun 2013 penggunaan anggaran untuk FFI pun harus melalui mekanisme lelang pengadaan barang dan jasa pemerintah ini Sesuai dengan Kepres No.80 tahun 2003. Maksud diadakannya Keppres ini adalah untuk mengatur pelaksanaan pengadaan barang / jasa yang sebagian atau seluruhnya dibiayai oleh APBN / APBD. Dan proses pengadaan barang dan jasa ini berjalan dengan efisien, efektif, terbuka dan bersaing, transparan, adil/ tidak diskriminatif, dan akuntabel.
Maksud penggunaan anggaran melalui tender sebenarnya bagus, sejauh untuk alasan-alasan yang tersebut di atas. Tetapi bagi penyelenggaraan FFI, penyediaan anggaran lewat tender menjadi kontraproduktif. Waktu pengadaan barang dan jasa yang terlalu mepet dengan kebiasaan menetapkan Acara Puncak FFI (malam pemberitan Piala Citra), membuat kerja panitia tidak maksimal.
Tahun 2014 ini misalnya, lelang pengadaan barang dan jasa untuk pelaksanaan FFI baru diadakan bulan September 2014, dan kontrak dengan pemenang lelang baru pada tanggal 14 Oktober 2014. Panitia Penyelenggara FFI yang sudah mengantongi SK Penunjukan dari Menteri Ekonomi Kreatif jauh sebelumnya, belum berani bergerak selama belum ada kepastian pemenang. Panitia FFI baru menyatakan bekerja pada tanggal 17 Oktober 2014. Sampai dengan acara puncak yang akan diadakan di Palembang 6 Desember 2014 mendatang, berarti panitia punya waktu bekerja selama kurang dari 2 bulan. Menjadi pertanyaan, apakah kurun waktu itu cukup untuk melaksanaan FFI yang berkualitas?
Agak meragukan panitia mampu melaksanakan pekerjaannya dengan baik, karena untuk melaksanakan FFI, waktu kurang dari dua bulan itu sangat sempit. Saat ini saja, bila melihat realitas di lapangan, belum ada kegiatan yang sangat mencolok di sekretariat kepanitiaan. Bahkan banner, spanduk atau umbul-umbul yang menjadi petanda adanya kegiatan FFI, tidak sepotong pun terlihat, setidaknya sampai dengan minggu ketiga Oktober 2014 ini.
Ketua Panitia Pelaksana FFI 2014 Kemala Atmodjo memang pernah memastikan bahwa, begitu launching dilakukan, maka semua atribut promosi dan publikasi langsung terlihat. Kenyataannya, apa yang diucapkan berbeda dengan kenyataan.
Kalau boleh mereka-reka, ketiadaan atribut atau symbol-simbol pelaksanaan FFI bukan pada disain atau sulitnya mendapat percetakan yang siap mengerjakan. Bisa jadi karena faktor ada faktor-faktor non teknis. Apakah karena pembiayaan yang harus dikeluarkan EO, atau faktor lainnya yang belum jelas.
Pekerjaan yang harus dilakukan panitia FFI sendiri sebetulnya sangat banyak, tidak hanya sebatas membuat banner, umbul-umbul atau alat promosi dan publikasi lainnya. Menerima pendaftaran peserta, merekrut juri FFI yang direncanakan jumlahnya melebihi 100 orang, menyiapkan materi film yang akan dinilai oleh juri FFI; merancang promosi dan publikasi; menghubungi artis untuk kegiatan roadshow di beberapa kota atau acara puncak di Palembang; membuat piala FFI yang akan dikembalikan bentuknya menjadi Piala Citra seperti semula; hingga kelak menghubungi para nomine yang akan hadir pada acara puncak di Palembang. Bidang Penjurian dan Bidang Acara adalah dua bidang yang punya pekerjaan terberat setiap kali FFI dilaksanakan. Dan pekerjaan akan semakin berat begitu mendekati hari-H.
Dalam pola penjurian saja sampai saat ini belum ada kesesuaian, tentang bagaimana mekanisme penjurian itu berlangsung, karena Panitia FFI 2014 tidak memilik pedoman penyelenggaraan yang bisa menjadi pegangan. Pertama ada wacana bahwa juri akan menilai di rumah masing-masing. Oleh karena itu panitia akan memberikan kopi film dalam bentuk DVD, flash disc atau hard disc. Tetapi kemudian tidak semua pemilik film setuju filmnya dinilai dengan cara demikian, selain tidak sedikit film yang belum dikopi ke dalam media lain.
“Menonton film yang benar adalah di bioskop, karena memiliki layar dan audio yang memadai. Kalau nonton di rumah, film bagus pun rasanya hambar, karena tidak semua orang punya alat pemutar dan audio yang bagus,” kata seorang produser. Alhasil, mekanisme penjurian ini pun masih menjadi perdebatan. Belum lagi soal kesepakatan honor juri yang masih alot.
Mereka yang duduk Badan Perfilman Indonesia (BPI) sendiri yang menjadi penyelenggara (sebenarnya konsultan) FFI, bukanlah orang-orang yang punya pengalaman menyelenggarakan FFI, sehingga tidak mampu membuat pedoman penyelenggaraan FFI. Sehingga apabila terjadi permasalahan, akan sulit untuk dipecahkan, karena tidak ada dasar yang dijadikan pegangan. Buku Pedoman merupakan semacam "KUHP"nya penyelenggaraan FFI.
Menyelenggarakan FFI di daerah juga bukan tanpa tantangan. Pihak tuan rumah biasanya bersedia menanggung kebutuhan yang disepakati, tetapi dengan catatan, kehadiran artis-artis terkenal yang akan mendongkrak publikasi menjadi tuntutan utama. Dan mendatangkan artis terkenal ke daerah bukan persoalan mudah karena, meski pun FFI adalah hajat mereka, gosokan fulus tetap menjadi pertimbangan utama. Maka, bila FFI sepi dengan kehadiran artis-artis terkenal, tentu saja ini hanya menjadi semacam ritual yang membosankan bagi masyarakat daerah. Faktor fulus itu bisa dikesampingkan jika panitia memiliki kedekatan atau kekuatan yang mampu membawa si artis meramaikan acara di daerah.
Persoalan-persoalan itu tentu tidak akan terjadi, setidaknya dapat diminamilisir, jika kegiatan FFI sudah dijalankan jauh-jauh hari. Katakanlah panitia sudah mulai bekerja sejak bulan Juni, sehingga punya waktu selama 6 bulan sampai acara puncak berlangsung. Waktu selama itu dibutuhkan karena FFI bukan hanya persoalan administrasi, tetapi lebih kepada kemampuan mengorganisir, melobi banyak pihak dan merancang suatu acara yang menarik, di samping substansi festival itu sendiri, yakni penilaian film-film peserta, tetap menjadi yang utama.
FFI bisa terlaksana lebih cepat jika lelang pengadaan barang dan jasa pemerintah untuk penyelenggaraan FFI berlangsung lebih awal. Untuk itu pemerintah, khususnya Departemen Teknis yang menyediakan anggaran, harus memikirkan sebuah perencanaan anggaran yang lebih baik dengan memperhitungkan faktor-faktor yang menjadi penentu suksesnya penyelenggaraan FFI.
Pemerintah juga harus yakin bahwa peserta lelang, atau yang kemudian menang dalam lelang FFI, adalah perusahaan yang memiliki modal cukup, sehingga mampu membiayai kegiatan awal di kepanitiaan. Sebab kalau pemenang tender hanya mengandalkan termin pembayaran dari kas negara, bisa jadi kegiatan pantia pun akan tersendat. Sebab mengurus pencairan anggaran, walau hanya 20 persen dari pagu, tidak semudah membalikan tangan. Banyak sekali persoalan kecil yang bisa menghambat pencairan anggaran.
Selama beberapa tahun ini FFI selalu tersandera oleh tender pemerintah. Kegiatan panitia FFI baru bisa berjalan setelah tender dilaksanakan. Sementara pelaksanaan tender selalu berdekatan dengan bulan Desember yang sudah menjadi kebiasaan dilangsungkannya Acara Puncak FFI. Kalau hal itu terus berulang, berapa pun anggaran yang disediakan, penyelenggaraan FFI tidak akan maksimal. (herman wijaya/hw16661@yahoo.com)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H