Dalam pola penjurian saja sampai saat ini belum ada kesesuaian, tentang bagaimana mekanisme penjurian itu berlangsung, karena Panitia FFI 2014 tidak memilik pedoman penyelenggaraan yang bisa menjadi pegangan. Pertama ada wacana bahwa juri akan menilai di rumah masing-masing. Oleh karena itu panitia akan memberikan kopi film dalam bentuk DVD, flash disc atau hard disc. Tetapi kemudian tidak semua pemilik film setuju filmnya dinilai dengan cara demikian, selain tidak sedikit film yang belum dikopi ke dalam media lain.
“Menonton film yang benar adalah di bioskop, karena memiliki layar dan audio yang memadai. Kalau nonton di rumah, film bagus pun rasanya hambar, karena tidak semua orang punya alat pemutar dan audio yang bagus,” kata seorang produser. Alhasil, mekanisme penjurian ini pun masih menjadi perdebatan. Belum lagi soal kesepakatan honor juri yang masih alot.
Mereka yang duduk Badan Perfilman Indonesia (BPI) sendiri yang menjadi penyelenggara (sebenarnya konsultan) FFI, bukanlah orang-orang yang punya pengalaman menyelenggarakan FFI, sehingga tidak mampu membuat pedoman penyelenggaraan FFI. Sehingga apabila terjadi permasalahan, akan sulit untuk dipecahkan, karena tidak ada dasar yang dijadikan pegangan. Buku Pedoman merupakan semacam "KUHP"nya penyelenggaraan FFI.
Menyelenggarakan FFI di daerah juga bukan tanpa tantangan. Pihak tuan rumah biasanya bersedia menanggung kebutuhan yang disepakati, tetapi dengan catatan, kehadiran artis-artis terkenal yang akan mendongkrak publikasi menjadi tuntutan utama. Dan mendatangkan artis terkenal ke daerah bukan persoalan mudah karena, meski pun FFI adalah hajat mereka, gosokan fulus tetap menjadi pertimbangan utama. Maka, bila FFI sepi dengan kehadiran artis-artis terkenal, tentu saja ini hanya menjadi semacam ritual yang membosankan bagi masyarakat daerah. Faktor fulus itu bisa dikesampingkan jika panitia memiliki kedekatan atau kekuatan yang mampu membawa si artis meramaikan acara di daerah.
Persoalan-persoalan itu tentu tidak akan terjadi, setidaknya dapat diminamilisir, jika kegiatan FFI sudah dijalankan jauh-jauh hari. Katakanlah panitia sudah mulai bekerja sejak bulan Juni, sehingga punya waktu selama 6 bulan sampai acara puncak berlangsung. Waktu selama itu dibutuhkan karena FFI bukan hanya persoalan administrasi, tetapi lebih kepada kemampuan mengorganisir, melobi banyak pihak dan merancang suatu acara yang menarik, di samping substansi festival itu sendiri, yakni penilaian film-film peserta, tetap menjadi yang utama.
FFI bisa terlaksana lebih cepat jika lelang pengadaan barang dan jasa pemerintah untuk penyelenggaraan FFI berlangsung lebih awal. Untuk itu pemerintah, khususnya Departemen Teknis yang menyediakan anggaran, harus memikirkan sebuah perencanaan anggaran yang lebih baik dengan memperhitungkan faktor-faktor yang menjadi penentu suksesnya penyelenggaraan FFI.
Pemerintah juga harus yakin bahwa peserta lelang, atau yang kemudian menang dalam lelang FFI, adalah perusahaan yang memiliki modal cukup, sehingga mampu membiayai kegiatan awal di kepanitiaan. Sebab kalau pemenang tender hanya mengandalkan termin pembayaran dari kas negara, bisa jadi kegiatan pantia pun akan tersendat. Sebab mengurus pencairan anggaran, walau hanya 20 persen dari pagu, tidak semudah membalikan tangan. Banyak sekali persoalan kecil yang bisa menghambat pencairan anggaran.
Selama beberapa tahun ini FFI selalu tersandera oleh tender pemerintah. Kegiatan panitia FFI baru bisa berjalan setelah tender dilaksanakan. Sementara pelaksanaan tender selalu berdekatan dengan bulan Desember yang sudah menjadi kebiasaan dilangsungkannya Acara Puncak FFI. Kalau hal itu terus berulang, berapa pun anggaran yang disediakan, penyelenggaraan FFI tidak akan maksimal. (herman wijaya/hw16661@yahoo.com)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H