Sebuah mini bus angkutan umum melaju dengan kecepatan sedang menelusuri jalan raya di tengah hujan deras, angin kencang serta ribut petir. Sebenarnya malam masih lagi ranum dan baru saja datang menggantikan senja, namun alam nampak sangat hitam pekat selain karena hujan tengah mengguyur bumi, juga lantaran sedang mati lampu. Tidak tampak penerangan apapun di depan rumah penduduk di sepanjang kanan-kiri jalan. Tidak ada orang yang lalu lalang dan tentunya mereka lebih memilih berada dalam rumah ketimbang bercengkrama di beranda dalam kondisi cuaca demikian. Hanya cahaya putih berbentuk cambuk menyilau dan mengerikan dari petir yang datang bertaut-tautan menerangi alam malam. Cahaya petir saling sambar menyambar dan bersahut-sahutan juga terlihat di kejauhan, di balik pepohonan, bukit-bukit dan gunung-gunung laksana api kebakaran.
Mini bis berisi penuh sesak dengan penumpang dan barang bawaan mereka yang berjejalan di lantai dan sela-sela kursi serta sebagian dipangku oleh pemiliknya. Badrun duduk pada pinggir kiri kursi paling belakang. Dia bisa merasakan sesekali semburat air hujan menghantam wajah dan dadanya, menerobos melalui sela-sela kisi kaca jendela yang renggang. Badrun tidak pernah merencanakan bahwa dia akan bergabung dalam rombongan pemudik lebaran yang berangkat dari terminal Penajam menuju arah selatan dan menjadi salah satu penumpang mini bus tua dengan pegas pada sistem suspensinya tidak bagus lagi, sehingga kendaraan terguncang setiap kali melintasi bagian permukaan jalan yang tidak rata, rusak dan berlubang.
Keputusan untuk menjadi bagian dari pemudik lebaran, sebuah perayaan kepulangan ke kampung halaman paling dirindukan dan dramatis bagi para perantau, baru Badrun putuskan pada tengah hari, setelah matahari tergelincir menuju senja tadi. Telah belasan tahun lamanya dia teguh bertahan melawan amukan kerinduan akan orangtua, keluarga dan handai tolan. Ingatannya kembali melayang pada rentetan peristiwa yang membimbing langkahnya pulang ke akarnya yang hakiki, kampung halaman.
“Badrun?” sapa seseorang kepada seorang laki-laki bertopi purun yang tengah memindahkan buah-buahan dari keranjang sepeda motornya ke meja penjual buah-buahan.
Lelaki usia pertengahan tiga puluhan tahun itu mengangkat sedikit bagian depan topinya dan menatap seksama wajah orang yang barusan bertanya. Tampak berkelebat kilauan rasa kaget dari tatapan matanya.
“Haris!” Hanya satu kata itu yang keluar mulut Badrun dan selanjutnya kedua lelaki dengan usia sepantaran itu saling merentangkan kedua tangan mereka untuk berpelukan erat dan bergantian membopong, menyisakan keheranan pada pemilik lapak buah yang menyaksikan ulah mereka.
“Sedang apa kau di Pantai Manggar ini?” Tanya Badrun kepada Haris selepas Badrun menerima uang pembayaran dari buah-buahan yang dia serahkan kepada penjual buah. Mereka beranjak menjauh dari deretan pedagang kaki lima dan asongan yang banyak bertebaran di sepanjang pantai dan kini duduk di atas pagar tembok pemecah ombak.
“Sudah pastilah berlibur. Aku membawa istri dan kedua anak kami. Itu mereka tengah berenang .” Jawab Haris seraya menunjuk ke arah anak dan istrinya di tepi pantai yang jaraknya sekira 50 meter dari tempat mereka berdua duduk.
Badrun menatap ke arah istri dan dua orang anak dari salah seorang sepupu jauh dan juga merupakan seorang kawan paling karibnya di kampung. Badrun memperkirakan kedua anak laki-laki dan perempuan dari temannya itu berusia 13 dan 10 tahun. Dia berusaha mengenali siapa istri Haris yang sesekali menatap ke arah mereka berdua dan setiap kali itu pula Badrun berusaha membuang muka, sampai akhirnya menyerah dan bertanya, “Siapa perempuan yang kau jadikan istri itu?”
“Jangan cemas. Dia tidak mengenalimu sebab dia bukan orang kampung kita. Mertua saya orang Balikpapan sini,” tukas Haris seperti mengetahui kekhawatiran kawan sepermainan semasa kecil dan remajanya. “Setelah belasan tahun lamanya kita tidak bertemu, boleh aku bertanya tentang beberapa hal, Badrun?”
Badrun hanya diam untuk beberapa saat, “Jika kau ingin, kau saja yang bercerita. Ceritakan apa saja yang sekiranya perlu kau sampaikan menurutmu” ujarnya menanggapi.
Haris menangkap jawaban Badrun barusan sebagai isyarat bahwa kawannya itu tidak ingin bercerita tentang dirinya, tetapi juga tersirat dia ingin tahu tentang kabar kampung halamannya.
“Aku tengah menjalani cuti tahunan dari perusahan perkebunan kelapa sawit tempatku bekerja sekarang, lokasinya tidak jauh di hulu sungai kampung kita. Hampir sepuluh tahun sudah aku pindah bekerja di sana setelah tempat bekerjaku sebelumnya, sebuah perusahaan kayu di tanah hulu berhenti beroperasi. Aku tetap tinggal di kampung dan pergi-pulang ke tempat kerja setiap hari. Telah banyak dibangun jalan darat di sisi kiri dan kanan sungai yang membelah kampung kita menuju desa-desa di hulu dan hilir sungai yang dulu hanya bisa dijangkau melalui perjalanan sungai.”
Haris berhenti sejenak bercerita seraya memperhatikan reaksi Badrun, namun kawannya dengan kulit terlihat lebih gelap dibanding saat dia masih tinggal di kampung mereka dulu tidak menoleh dari pandangannya yang sejak tadi menatap ke arah laut lepas. “Setelah adanya jalan darat, maka transportasi sungai berangsur-angsur sepi, hanya sesekali kapal kelotok pengangkut barang dan perahu ketinting bermuatan beberapa orang penumpang melintas dalam sehari. Hanya tersisa satu-dua lanting, tempat warga mandi dan mencuci pakaian di sungai serta menambatkan kapal serta perahu. Banyak warga tidak lagi berani turun ke sungai karena merebaknya kejadian warga digigit buaya saat tengah berenang. Entah kenapa pula Sungai Telake semakin keruh airnya dan semakin sulit mendapatkan ikannya. Pernah aku memancing di beton bekas dermaga ponton penyeberangan, hampir setengah hari aku duduk di sana tanpa sekalipun umpan pancingku disentuh ikan. Entah kemana raibnya ikan baung dan udang galah yang dulu sering kita lihat menghampiri bibir pantai saat kita tengah mandi berenang di sungai kala sore hari pada masa kecil kita.”
Sekali lagi Haris menahan cerita demi mencari reaksi Badrun pada rona wajahnya. Badrun membetulkan letak topi purunnya yang tadi sedikit terangkat ke atas tertiup kencangnya hembusan angin laut. “Lanjutkan saja bercerita.” ujar Badrun, masih tanpa menoleh ke arah Haris.
“Lantaran lalu lintas transportasi air makin sepi, menyebabkan hanya tersisa satu rumah rakit di atas sungai saat ini. Itupun tidak lagi berfungsi sebagai toko kelontongan dan bahan bakar minyak seperti dulu, melainkan hanya sebagai rumah tinggal. Pemiliknya memindahkan barang dagangannya ke kios di daratan yang letaknya berhampiran dengan pantai dimana rumah rakit terakhir itu ditambatkan. Mungkin lantaran kios yang mereka sewa itu ukurannya relatif kecil, sehingga mereka memilih mempertahankan keberadaan rumah rakit sebagai sebagai tempat hunian. Atau mereka terlanjur merasa nyaman menetap di atas sungai setelah terbiasa melakoninya selama belasan tahun lamanya. Penghuni rumah rakit terakhir itu adalah Mat Asap.”
“Mat Asap?” Badrun menirukan dalam bentuk kata tanya.
“Ya. Mat Asap. Pemuda flamboyan kampung kita yang jago sepakbola dan catur,” Haris menimpali.
Badrun mencoba mengumpulkan kembali ingatannya tentang wajah Mat Asap. Dia sebaya dengan salah satu pemuda paling populer di kampungnya. Pemuda tampan itu terkenal karena jago main sepakbola dan catur sedari kecil. Dia menjadi rebutan beberapa klub sepakbola di ibu kota kecamatan dan sering dipinjam oleh banyak klub sepakbola kecamatan tetangga, bahkan beberapa kali memperkuat klub sepakbola terkuat dari ibu kota kabupaten. Sayangnya, lantaran derita cedera panjang setelah mengalami cedera patah kaki dalam satu pertandingan menghentikan karier gemilang sepakbolanya dalam usia belia yang belum lagi genap 20 tahun. Dia beralih mengasah dan menekuni bakat luar biasa satunya lagi yang dia miliki, yakni catur. Sebentar saja dia menjelma sebagai pecatur kekuatan baru yang berhasil mengalahkan beberapa jago catur senior tingkat kecamatan, langganan juara catur dalam perayaan hari kemerdekaan. Setiap kali Mat Asap punya waktu luang, dia pasti menyempatkan diri datang ke pangkalan ojek di depan lapangan sepakbola untuk bertanding catur dengan taruhan secangkir kopi susu dan sebungkus rokok. Rutinitas menjadi pemenang taruhan itu menggiring dia menjadi seorang peminum kopi dan penghisap rokok kelas berat. Dia menghisap batang demi batang rokok dengan rakus tanpa henti diselingi menyeruput kopi susu dari satu pertandingan ke pertandingan berikutnya. Sebab itulah dia dijuluki sebagai Mat Asap. Julukan itu semakin lama semakin melekat pada dirinya dan sebagian orang mulai melupakan nama sebenarnya yaitu Ardansyah.
“Bukankah rumah Mat Asap berada di Payo Kali yang jaraknya satu kilometer dari sungai?” Tanya Badrun.
Haris diam sejenak, menarik nafas dalam-dalam, “Mat Asap memperistri Maizurah, anak dari pak Hisyam, pemilik rumah rakit terakhir. Setelah pak Hisyam dan istrinya meninggal dunia karena sakit yang mereka derita, Maizurah beserta suami dan kedua anak mereka menjadi pewaris kepemilikan rumah rakit.”
Badrun tertegun mendengar penjelasan Haris. Raut wajahnya yang semula datar, nyaris tanpa ekspresi sejak dia mempersilahkan Haris untuk bercerita, kini meredup disergap rona murung. Tanpa diduga Badrun beranjak berdiri dan meraih tas selempangnya yang tadi dia geletakkan di atas tembok pagar. Dia ingin segera pergi. “Aku harus pulang sekarang. Itu, istri dan anakmu sudah selesai berenang,” ujarnya sambil menunjuk ke arah istri dan anak Haris yang mulai meninggalkan bibir pantai.
“Bertahanlah dulu sebentar. Mereka harus berbilas dengan air besih di tempat pemandian umum terlebih dulu,” Haris menangkap pergelangan tangan Badrun guna menahan kepergian kawan hilangnya itu. “Di mana kau tinggal?”
“Di satu dataran tinggi yang tanahnya subur untuk bercocok tanam tidak jauh dari sini,”
“Apa nama kampungnya?”
“Tidak bisa kusebutkan namanya, Ris”
“Kapan kau akan pulang kampung untuk menjenguk dan bersimpuh memohon ampunan dari kedua orangtuamu? Mereka berdua semakin renta digerus usia dan terlebih oleh pikiran lantaran kehilangan anak tunggalnya berbilang belasan tahun lamanya sudah. Saban lebaran ibumu bertanya tentang keberadaanmu kepada setiap perantau yang pulang berlebaran di kampung.” Suara Haris yang pada awalnya meninggi berujung semakin pelan dan lemah, seperti menahan isak tangis.
Demikian pula Badrun, ada bulir air yang merembes dan nyaris jatuh dari tepi kedua bola matanya yang buru-buru dia seka dengan jari-jari tangannya mendengar ucapan Haris. “Izinkan aku pergi, Ris. Sebentar lagi anak dan istrimu keluar dari bilik kamar mandi. Berjanjilah untuk tidak memberitahu mereka tentang siapa aku,” pohon Badrun.
“Baiklah. Aku akan merahasiakan pertemuan kita ini, tetapi kau harus menukarnya dengan memberikan nomor teleponmu,” tawar Haris dengan jari-jari tangan kirinya yang tetap menggenggam pergelangan tangan Badrun.
“Tetapi kau tidak boleh memberikan nomorku kepada siapapun juga?”
“Baik.”
“Bisa aku mempercayai janjimu sebagaimana teguhnya orang saleh dalam menjaga rahasia dan sumpah? Sebagaimana yang aku tahu engkau anak yang baik dan taat beribadah semenjak dari bangku madrasah dulu?”
“Insyaallah, aku akan tetap seperti kawan sebangkumu dulu di madrasah semenjak dari tingkat ibtidaiyah, tsanawiyah hingga aliyah,” ikrar Haris sembari melepaskan cengkeraman jari-jari tangannya pada pergelangan tangan Badrun yang menyisakan warna kemerah-merahan pada pergelangan tangan kawannya itu.
Badrun menyebutkan nomor telepon selulernya yang segera Badrun masukkan ke daftar kontak telepon genggamnya.
“Itu istrimu dan anakmu sudah keluar dari kamar mandi. Aku harus pergi sekarang juga,” Badrun segera beranjak menuju sepeda motornya tanpa meminta persetujuan Haris lagi. Dia tergesa-gesa menghidupkan sepeda motornya dan berlalu pergi tanpa menoleh ke belakang untuk kemudian lenyap dari pandangan Haris ditelan tikungan menuju jalan raya.
Selama di atas sepeda motor dalam perjalanan pulang, Badrun tak bisa menghindari kenyataan bahwa pertemuannya dengan Haris barusan membawa dia menelusuri lorong kenangan yang teramat perih yang membawanya membuang diri.
“Telah bapak dapat kabar bahwa kau masih lagi menjalin hubungan dengan gadis itu meskipun sebelumnya kau telah berjanji untuk memutuskan hubungan kalian. Benar demikian, Badrun?
Badrun tersentak mendengar bapaknya membuka percakapan dengan pertanyaan yang teramat pelik untuk dia jawab. Ibunya yang tadi memanggil dia keluar dari kamar, memberitahu bahwa bapaknya ingin bicara di ruang tengah, turut hadir, duduk di sebelah bapaknya, menatapnya dengan pandangan gusar.
“Apa benar demikan, Nak?” Ibunya mengulang pertanyaan bapaknya demi melihat Badrun hanya tertunduk diam tidak menjawab.
“Kami tidak mempermasalahkan siapapun gadis yang kau pilih untuk kau persunting sebagai istri, tetapi dia pilihanmu saat ini memiliki ikatan kekerabatan yang tingkatannya lebih tinggi darimu. Ingatlah, bapakmu seorang imam dan khatib yang selalu memberi pengajaran dan peringatan tentang perbuatan yang boleh dan tidak boleh dikerjakan sesuai tuntunan agama. Lantas apa kata orang jika anak sang imam dan khatib sendiri yang melanggar ajaran agama?” bapaknya menyambung percakapan.
“Hendak kemana kami sembunyikan wajah kami mendengar gunjingan masyarakat setiap harinya. Kau tahu dengan baik bahwa kita tinggal di kampung kecil yang sebagian besar warganya saling kenal satu sama lain. Demikian pula dengan cerita, baik maupun buruk, akan beredar dengan cepat dan menjadi rahasia bersama. Ibarat kata, suara jarum yang jatuh ke tanah di sini turut terdengar oleh mereka yang tinggal di seberang sungai sana,” ibunya kembali menimpali melihat Badrun yang sejak tadi tertunduk dan terpaku membisu di atas kursi rotan.
“Sekali lagi bapak dan ibumu meminta kau menghentikan keinginan terlarang kalian. Simpan saja hasrat tak pantas itu di gudang hati terdalam. Hubungan kalian tak akan pernah sampai kemana-mana. Semakin kalian menguatkan diri bertahan melawan, semakin terluka kalian pada penghujungnya!” Bapaknya mengultimatum seraya berdiri dari kursi, meninggalkan ruang tengah menuju kamarnya.
Sepanjang malam Badrun tidak bisa tidur karena terganggu memikirkan anjuran yang lebih dia maknai sebagai ancaman yang telah menjadi kesekian kalinya dari kedua orangtuanya. Dia merasa berada di persimpangan dilema, tak menemukan cara untuk mendapatkan restu dan tiada jalan keluar untuk membebaskan diri. Kebuntuan pikiran berujung pada keputusan melepaskan diri dari belenggu yang mengungkungnya, keputusan yang telah dia rencanakan sejak beberapa hari lalu. Melarikan diri.
Ditinggalkannya rumah di tengah malam buta menuju jalan raya untuk kemudian menumpang bus antarprovinsi. Dia pergi seorang diri. Dua jam lebih awal dari kesepakatan waktu yang dia buat dengan seorang gadis yang ingin turut serta sebagai pelarian.
Badrun mendatangi seorang kenalan yang sebelumnya telah berjanji akan memberinya tumpangan hunian dan pekerjaan. Amran, seorang pemborong bangunan yang pernah membeli batu gunung dari Kerayan yang diangkut menggunakan kapal menyusuri Sungai Telake, lalu menyeberangi lautan untuk sampai ke Balikpapan. Amran mempekerjakan Badrun sebagai seorang pengawas pekerjaan konstruksi yang dia peroleh dari pemilik proyek. Ditekuninya pekerjaan dengan penuh dedikasi sebagai bentuk terima kasihnya kepada Amran yang telah berkenan menampungnya.
Pada tahun ketiga, Badrun berubah pikiran untuk meninggalkan pekerjaannya. Hal itu bermula ketika dia mengerjakan pembuatan komplek perumahan di kawasan permukiman baru di perbukitan Salok Cinta. Salah seorang warga setempat yang bekerja padanya menawarkan tanahnya.
“Sebenarnya bapak tidak pernah berkeinginan menjual tanah warisan satu-satunya yang tersisa dari leluhur kami, namun saat ini anakku yang baru saja masuk SMA terus merengek minta dibelikan sepeda motor. Meskipun dia bisa memakai sepeda motor kami satu-satunya, tetapi sepertinya dia malu menunjukkan sepeda motor tua kami ke sekolahnya yang berada di tengah kota,” ujar pekerjanya itu sambil menyodorkan surat keterangan kepemilikan tanah.
“Tampaknya kau tidak cocok tinggal di tengah keramaian dan lebih memilih kawasan perbukitan yang terpencil, belum lagi ada orang bermukim di sana dan lebih sunyi dibanding kampung halamanmu nun jauh di seberang teluk sana?” Demikian tanggapan Amran mendengar penuturan Badrun yag pamit berhenti bekerja dan memilih berkebun.
Badrun seorang diri mengerjakan membuka lahan dengan menebang pepohonan sungkai dan bambu, menebas semak belukar dan padang rumput, mencangkul permukaan tanah guna memperbaiki strukturnya untuk selanjutnya ditanami dengan tanaman jeruk, jambu, jagung, pepaya dan salak. Dibangunnya sebuah rumah kecil terbuat dari kayu sungkai bertiang tinggi di pintu gerbang jalan masuk kebun seluas dua hektar persegi berpagarkan kayu sungkai dan bambu. Hasil panen dari kebun buahnya dia pasok kepada pedagang buah di Pasar Manggar dan kawasan wisata Pantai Manggar. Begitulah Badrun melakoni hidupnya selama belasan tahun, terasing sendiri hidup di atas perbukitan yang di malam hari dia akan duduk termenung seorang diri berjam-jam lamanya menatap cahaya lampu jalan raya dan kendaraan yang melintas, cahaya dari lampu rumah penduduk serta kerlap-kerlip lampu dari perahu nelayan, baik yang tengah berlayar maupun sedang bersandar di sepanjang garis pantai tepi laut nun jauh di bawah sana. Berkilo-kilometer jaraknya.
Ketenangan dari pilihan hidupnya itu serta-merta terusik dengan pertemuannya dengan Haris. Karenanya, dia tidak sekalipun menghiraukan panggilan telpon atau membalas pesan singkat dari Haris yang bercerita banyak hal dan kejadian terkini di kampung halaman. Sampai akhirnya Haris lelah dan menyerah merasa diperlakuan sedemikian buruk oleh seorang teman karib. Berbulan-bulan lamanya Badrun terbebas dari dering telpon dari Haris, hingga pada suatu hari pesan singkat dari Haris kembali masuk ke telpon genggamnya.
Mat Asap telah berpulang mendahului kita tadi pagi setelah lebih dua minggu dirawat di rumah sakit kabupaten karena komplikasi sakit jantung dan paru-paru.
Badrun bergeming membaca berita duka dari Haris. Tidak juga tergerak hatinya mengirimkan ucapan belasungkawa untuk disampaikan kepada keluarga yang tengah berduka atas meninggal dunianya Mat Asap akibat dampak buruk jangka panjang dari kerakusannya menghisap rokok.
Cuaca tidak menentu menjelang masuknya musim kemarau. Matahari tengah hari menggantung di atas kepala. Panasnya udara dalam rumah membuat rasa gerah, tidak nyaman, dan malas bergerak. Badrun berbaring di serambi depan demi mencari hembusan angin sepoi-sepoi. Sesekali tampak ranting rapuh dan daun-daun kering gugur dari pohon yang tumbuh di halaman depan. Badrun baru saja akan terlelap ketika telepon genggamnya berdering. Diraihnya telepon genggam dengan malas-malasan. Sebuah pesan WhatsApp dari nomor telepon tidak dikenal masuk. Foto profilnya hanya berupa sekuntum bunga mawar jingga. Dengan rasa penuh penasaran Badrun membaca pesan asing itu.
Assalamualaikum.
Apa kabar, Badrun?
Aku harap kamu baik-baik saja hidup dalam lingkaran dunia kecilmu.
Tadi pagi Haris bertandang ke rumahku untuk menceritakan pertemuan kalian beberapa bulan lalu. Aku sangat terkejut mendengarnya. Aku tidak tahu reaksi macam apa yang kutunjukkan pada Haris kala itu. Dia berpesan agar aku menyampaikan permintaan maafnya karena berkhianat pada perjanjian kalian. Dia terpaksa melakukannya lantaran merasa kau memperlakukannya dengan buruk dan menjulukimu sebagai kerabat dan sahabat yang tak lagi ingin bicara. Namun sesuatu yang lebih penting, ini dia lakukan demi kebahagianmu beserta kedua orangtuamu.
Meskipun telah belasan tahun berlalu dan aku telah berjanji meneguhkan hati untuk bersikap wajar apabila kelak aku mendapatkan kabar tentang dirimu, namun ternyata tidak semudah itu. Aku terguncang
Aku teringat kembali ketika menjelang pukul 3 dini hari, dengan penuh hati-hati aku membuka pintu rumah agar tidak menimbulkan suara berdecit. Dengan mengendap-endap aku meniti titian bambu menuju daratan, aku palingkan wajah sejenak dengan maksud menatap rumah kami untuk terakhir kalinya, bergegas menuju jalan raya dan berharap segera menemukan bus yang akan membawa kita pergi meninggalkan kampung. Aku berharap segera menemuimu di sana seperti janjimu kau akan tiba lebih awal dari aku, tetapi ternyata engkau belum datang dan tidak pernah datang hingga menjelang matahari terbit dan alam berangsur-angsur menjadi terang. Aku berbaik sangka engkau mendapat kendala sehingga tidak bisa datang dan kita bisa merencanakannya pada lain hari.
Pada siang hari, aku terkejut bukan kepalang mendengar kegemparan bahwa engkau telah menghilang dari rumah melaui selembar surat yang engkau tinggalkan tergeletak di atas meja dalam kamarmu. Mata semua orang tertuju ke arahku, seolah kepadaku letak segala salah dan menjadi sebab lenyapnya dirimu. Aku diinterogasi oleh banyak pihak, tetapi aku jawab bahwa aku tidak tahu lantaran kau memang tidak pernah memberi tahu tempat yang akan kita tuju. Engkau hanya pernah mengatakan bahwa kau akan membawaku ke rumah seorang kenalanmu di kota.
Berhari-hari, berbulan-bulan, tahun berganti tahun aku melalui kesedihan yang panjang dan melelahkan, menelan bisa dalam ratapan. Berjalan dengan kepala tertunduk guna menghindari tatapan sinis beserta kilatan mata penuh kebencian warga yang menudingku sebagai sosok yang paling bertanggung jawab memisahkan seorang anak dari orangtuanya, mengusir seorang warga dari kampung halaman yang teramat dia cintai. Pernah aku terpuruk pada kondisi moral terendah dan berpikir untuk tidak peduli lagi pada dunia dan mengakhiri hidup. Untunglah kedua orangtuaku berada di pihakku dan tidak turut menyerangku. Aku teguhkan semangat dan membiarkan waktu merawat segalanya. Tenggelam bersama arus masa.
Kini, kabar tentang keberadaamu dibawa lagi ke hadapanku. Entah bagaimana aku harus bersikap lantaran keadaanku sudah berbeda jauh seiring bergulirnya waktu yang memutar roda nasib manusia. Haris tentunya sudah bercerita banyak tentang keadaanku saat ini. Aku berharap kita memaknai ini semua sebagai suratan tangan yang tak mungkin dihindari. Aku telah berhenti melakukan perlawanan untuk bersandar pada kepasrahan atas apa yang telah berlaku.
Seminggu lagi lebaran akan tiba. Persiapkan dirimu untuk pulang kampung merayakan hari kemenangan atas keteguhan iman melawan hawa nafsu. Engkau tahu ibumu tidak pernah putus harapan bahwa satu hari nanti dia akan berkumpul lagi dengan anak satu-satunya. Pulanglah menjawab harapan dan doa yang ibumu panjatkan siang dan malam.
Wassalamualaikum,
Maizurah
Badrun termangu beberapa saat selepas membaca pesan yang tidak dia sangka-sangka datangnya. Dia tidak tahu harus bersikap bagaimana. Bermacam perasaan hadir dan bermain dipikirannya. Perasaan serba salah jelas terlihat pada riak wajahnya. Ada rasa perih menghimpit dada. Tidak mungkin dia menempuh jalan pulang sedangkan dia masih lagi setia memelihara impian semusim silam dan lebih memilih tersisih karenanya. Dia meletakan meletakan kembali telpon genggamnya ke tempat semula tanpa membalas pesan meskipun dia mengerti Maizurah tahu bahwa dia telah membacanya melalu dua tanda centang biru di samping pesan yang Maizurah kirim.
Badrun menepikan kendaraan ke bahu jalan ketika telepon genggam di saku depan bajunya dirasakannya bergetar. Sebenarnya dia baru saja pergi di bawah hujan rintik dan jika dia menoleh ke belakang, pintu gerbang pagar rumahnya masih bisa terlihat dengan jelas. Bergegas dia meraih telepon genggamnya, pada status bar tampak notifikasi sebuah pesan WhatsApp masuk dari Maizurah.
Assalamualaikum, Badrun.
Hari ini adalah hari terakhir puasa dan genap enam hari pesanku terdahulu belum juga kau balas. Aku tidak bermaksud menyeretmu kembali ke cerita silam yang mungkin kau tak sudi lagi mengingatnya. Sama sekali tidak.
Baru saja Haris datang lagi untuk menanyakan perkembangan berita tentang dirimu. Aku jawab bahwa aku telah berkirim pesan kepadamu dan kukatakan pula bahwa kau memperlakukan aku seperti dirinya. Tidak menghiraukan.
Aku dan Haris menjadi dua orang yang merasa paling bersalah karena menyembunyikan berita tentang keberadaanmu pada ibumu. Seperti yang Haris pernah ceritakan kepadamu pada pertemuan kalian, setiap menjelang hari lebaran, ibumu akan berkeliling kampung mencari informasi siapa saja perantau yang pulang berlebaran. Ibumu menanyai mereka kalau-kalau ada diantara mereka yang pernah bertemu atau tahu tentang keberadaanmu. Lihatlah kelakuan kami, membiarkan ibumu pergi berjalan jauh setiap hari mencari berita tentang anak semata wayangnya, padahal sesungguhnya hanya kami berdualah penduduk kampung ini yang mengetahui hal tersebut.
Ibumu mampir di rumahku kemarin meminta tolong turut dibuatkan buras, gulai ayam dan serundeng kelapa parut. Selepas sembahyang subuh, ibumu datang membantu aku dan kedua anak perempuanku menanak, membungkus dan mengikat buras. Setelahnya, ibumu pergi ke pangkalan ojek di kampung seberang sungai sana yang menjadi tempat turun dari perjalan pulang para perantau yang berasal dari kampung-kampung di sepanjang hulu dan hilir sungai. Teramat getir hati ini menyaksikan kegigihan semangat dari kakak sepupu tiga kaliku itu dalam pencarian tak berujungnya.
Ibumu berjanji akan mengambil buras, gulai ayam dan serundeng menjelang waktu berbuka petang nanti. Aku bermaksud menahan dia untuk berbuka puasa bersama di rumah rakit kami karena bapakmu akan berbuka puasa hari terakhir di mesjid dan memimpin kegiatan takbir, penerimaan zakat serta mempersiapkan shalat ied esok. Aku berharap aku bisa tetap merahasiakan kebaradaanmu sambil berdoa semoga tergerak hatimu untuk pulang kampung berlebaran.
Pulanglah agar kita dapat bermaaf-maafan benar-benar dari hati ke hati secara berjabat tangan, bukan hanya dalam untaian kata-kata berupa pesan.
Bersama ini aku kirimkan foto kami berempat ketika membungkus buras tadi pagi.
Tampaknya ada berita gembira buat warga kampung menjelang lebaran tahun ini. Baru saja Naila, anak sulungku, berteriak kegirangan karena memperkirakan akan terjadi tontu hari ini setelah dia menyaksikan tanda-tandanya berupa ikan tempakul dalam jumlah besar melompat-lompat jauh ke atas daratan serta banyak anak udang yang menempel di pelampung rumah rakit kami. Memang kabarnya dalam dua hari ini hujan turun terus menerus di tanah hulu sana. Semoga tontu kali ini memberi kami banyak udang galah untuk dicampur ke dalam serundeng kelapa parut sebagai hidangan lebaran besok. Sangat sulit mendapatkan udang galah dengan cara memancing dan menjala beberapa tahun belakangan ini.
Wassalamualaikum,
Maizurah
Badrun masih lagi termangu menatap pesan WhatsApp dari Maizurah yang dia baca sambil berteduh di bawah pohon akasia di tepi jalan menurun dari atas bukit. Ditatapinya lekat-lekat foto empat orang perempuan berbeda generasi yang tengah duduk di lantai mengelilingi dua buah baki besar penuh berisi nasi yang dilumuri santan. Di sisi baki terdapat daun pisang yang telah dipotong-potong berbentuk segi empat dan tali rafia. Dua anak perempuan Maizurah yang beranjak remaja tersenyum jenaka menghadap kamera sambil memperlihatkan buras yang mereka buat. Maizurah yang membuat foto selfie memandang datar, nyaris tanpa ekspresi dan lebih tepat dikatakan tatapan mata misterius. Ibunya menghadap ke samping dengan kepala sedikit tertunduk tengah mengikat buras dan tampak tidak menyadari jika Maizurah diam-diam membuat foto selfie. Badrun terpaku lebih lama menatap wajah ibunya dan Maizurah. Betapa waktu telah menorehkan pahatan yang lebih dalam di wajah kedua orang perempuan bersepupu itu. Badrun membatin.
Badrun disergap rasa bersalah, gelisah, dan gugup. Suaranya tertahan, sejenak terdiam, mulutnya kaku tanpa bisa terucap. Bulir bening mengalir di pipinya. Dia rogoh saku celana kanan, lalu diambil sapu tangan dan membersihkan kedua matanya. Badrun tiba-tiba merasa teramat sangat ingin pulang kampung sesegera mungkin guna meminta ampun dan maaf kepada kedua perempuan yang telah lama tersakiti oleh ulah darah muda yang menguasainya dulu sehingga terlalu mudah membenci. Juga kepada bapaknya. Begitu juga kerinduan pada kampung halaman, serta Sungai Telake dengan tontunya.
Tontu. Entah berapa lama sudah dia tidak mendengar kata itu dan nyaris hilang dari perbendaharaan katanya. Tontu merupakan anugerah dari kemurahan hati Sungai Telake yang menghadiahkan ikan, udang serta seluruh binatang air lainnya kepada warga yang bermukim di sepanjang tepi sungai. Tontu, yang belum tentu tejadi setahun sekali, bermula ketika hujan deras terjadi selama berhari-hari di tanah hulu menyebabkan debit air sungai bertambah secara drastis dan arus deras menggerus dan mengaduk dasar sungai, sehingga partikel tanah terangkat dan menjadi lumpur yang mengotori seluruh sungai dan menyebabkan seluruh binatang air menjadi keracunan lumpur. Ikan dan udang muncul di permukaan air dan berebut berenang menuju pantai.
Badrun bertekad melarung kapal-kapalan kertas kedukaan yang dia lipat dengan rapi berbilang belasan tahun lamanya bersama tontu yang mencuci Sungai Telake.
Aku akan pulang sore ini untuk berlebaran di kampung. Tak usahlah kau sampaikan berita ini kepada orangtuaku agar kau terbebas dari anggapan mereka bahwa engkau mengetahui keberadanku sejak dulu lagi.
Demikan balasan singkat Badrun seraya melanjutkan perjalan dan berhenti di depan mesjid kecil di kaki bukit, menyerahkan dua keranjang besar buah-buahan, yang sedang ditunggu penjual buah di Pantai Manggar, kepada warga yang tengah bergotong royong mempersiapkan shalat ied besok. Setelah itu Badrun bergegas pulang.
“Penumpang Long Kali turun dimana?” supir mini bus sekonyong-konyong bertanya dengan suara keras memecah lamunan Badrun dan mengejutkan penumpang lain yang tertidur. Badrun segera menoleh keluar. Hujan telah reda, namun masih menyisakan gerimis. Dia coba mencoba menerka ada di kawasan mana sekarang, tetapi lampu yang masih lagi belum menyala membuat dia tidak bisa mengenali tempat di luar sana yang diselimuti gelap gulita.
“Tidurkah penumpang Long Kali? Ini sudah di Gunung Koramil,” supir kembali bertanya sambil menurukan kecepatan kendaraan dan menoleh ke belakang beberapa saat.
Badrun berusaha mengingat dan mencari tempat perhentian yang kira-kira masih ada. Dia khawatir akan menyebut nama tempat yang boleh jadi sudah tidak ada lagi sekarang, dan tiba-tiba terlintas tempat sekolahnya dulu.
“Saya turun di depan Gedung Serba Guna, Pak”
Hawa dingin menusuk tulang menyambut Badrun ketika turun dari angkutan umum. Dihisapnya dalam-dalam nafas udara kampungnya sehingga terasa lapang dadanya. Dikenakannya penutup kepala jaketnya guna menghindari buliran gerimis lembut membasuh wajahnya. Diraihnya telepon genggam dari kantung jaket, sempat dia lihat jam pada layar telepon genggam menunjukkan pukul 20.30. Dengan cahaya kecil dari senter telepon genggam Badrun melangkah menelusuri titian kayu ulin diantara Gedung Serba Guna dan Penginapan Faridah menuju jalan Pasar Lama. Di bagian belakang terdapat Madrasah Ibtidaiyah tempat dia dulu menimba ilmu. Badrun ingat pada masa kecilnya dia sering melompat dari bangunan sekolah berupa gedung kayu berkolong tinggi ke titian ulin saat bermain kejar-kejaran dengan teman-teman sekelasnya pada jam istirahat.
Selepas turun dari titian ulin dia memasuki jalan beraspal menuju kawasan Pasar Lama. Dari cahaya samar-samar senter telepon genggam dan penerangan redup dari pelita dan lilin di depan rumah warga, Badrun bisa mengetahui bahwa bentuk permukiman warga masih tetap sama seperti dulu, namun bangunan pasar telah berganti. Saat tiba di depan jalan masuk pasar, Badrun heran menatap mesjid di kawasan pasar itu tampak sepi dan tidak terdengar lantunan takbir malam lebaran atau orang yang keluar masuk mesjid untuk membayar zakat. Mungkin kegiatan tersebut telah lebih awal dilaksanakan lantaran gelap gulita karena mati lampu. Badrun menerka dalam hati.
Dipalingkannya pandangan ke arah bekas dermaga ponton penyeberangan di tepi sungai di belakang mesjid, tampak banyak kelebatan cahaya senter dan suara gaduh orang-orang.
Untuk beberapa saat Badrun hanya diam termangu di persimpangan jalan tanpa melanjutkan perjalanan menuju rumahnya di perumahan dalam pasar.
Seorang anak menjelang remaja dengan senter kepala yang dililitkan pada dahinya muncul dari arah tepi sungai. Badrun bergegas menghentikan langkah anak tersebut untuk bertanya, ”Apakah tontu telah tiba?”
Anak remaja tanggung itu mengarahkan senternya ke wajah Badrun untuk mengetahui siapa orang yang menghentikan dirinya, “Tontu tidak sempat terjadi lantaran hujan deras tiba-tiba turun di sekitar desa Tualan hulu sana dan tak lama kemudian terjadi banjir,” anak remaja itu menerangjelaskan.
“Lantas suara gaduh orang-orang di bekas dermaga itu apa?”
“Rumah rakit hanyut dan kemudian tenggelam akibat ditubruk dan terseret beberapa pohon besar yang tumbang dan hanyut terbawa arus deras banjir kira-kira beberapa saat setelah waktu berbuka puasa tadi. Tidak ada warga yang mengetahui kejadian tersebut atau mendengar suara minta tolong penghuni rumah rakit karena terjadi saat turun hujan deras,” lanjut anak remaja itu seraya bergegas melanjutkan perjalanannya menuju ke dalam pasar.
Badrun merasakan degup jantungnya berdetak lebih kencang dan sejurus kemudian dengan setengah berlari, dia menghambur ke sungai. Badrun menyaksikan sangat banyak warga dari berbagai usia, pria dan perempuan, berkumpul di sekitar bekas dermaga ponton penyeberangan yang nyaris tenggelam terendam banjir. Suara mereka sangat gaduh dan sebagian tampak beteriak-teriak histeris bersaing dengan suara gemuruh arus banjir. Badrun menoleh ke arah kiri dan kanan, berharap menemukan warga yang dikenalnya guna mendapatkan penjelasan yang lebih rinci. Seketika pandangannya terhenti pada sosok seorang pria tua yang duduk di teras rumah di belakang mesjid di bawah penerangan lampu emergency yang cukup terang. Badrun segera berlari menghampiri pria tua yang seharusnya tengah memimpin takbiran malam lebaran.
“Bapak...” hanya satu kata itu dengan suara serak menahan tangis yang bisa terlontar dari mulut Badrun, untuk selanjutnya dia memeluk bapaknya, menjatuhkan lutut untuk meraih tangan bapaknya serta menciumnya. Bapaknya dengan wajah kuyu dan tatapan mata rapuh memandang sang anak hilang yang pulang menjelang hari kemenangan.
“Ibumu turut hanyut dan tenggelam, Nak.” Lirih ucap bapaknya, nyaris tidak terdengar.
Hujan deras kembali mencurah membasuh bumi laksana langit meneteskan simpati pada lara tiada tara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H