“Lantas suara gaduh orang-orang di bekas dermaga itu apa?”
“Rumah rakit hanyut dan kemudian tenggelam akibat ditubruk dan terseret beberapa pohon besar yang tumbang dan hanyut terbawa arus deras banjir kira-kira beberapa saat setelah waktu berbuka puasa tadi. Tidak ada warga yang mengetahui kejadian tersebut atau mendengar suara minta tolong penghuni rumah rakit karena terjadi saat turun hujan deras,” lanjut anak remaja itu seraya bergegas melanjutkan perjalanannya menuju ke dalam pasar.
Badrun merasakan degup jantungnya berdetak lebih kencang dan sejurus kemudian dengan setengah berlari, dia menghambur ke sungai. Badrun menyaksikan sangat banyak warga dari berbagai usia, pria dan perempuan, berkumpul di sekitar bekas dermaga ponton penyeberangan yang nyaris tenggelam terendam banjir. Suara mereka sangat gaduh dan sebagian tampak beteriak-teriak histeris bersaing dengan suara gemuruh arus banjir. Badrun menoleh ke arah kiri dan kanan, berharap menemukan warga yang dikenalnya guna mendapatkan penjelasan yang lebih rinci. Seketika pandangannya terhenti pada sosok seorang pria tua yang duduk di teras rumah di belakang mesjid di bawah penerangan lampu emergency yang cukup terang. Badrun segera berlari menghampiri pria tua yang seharusnya tengah memimpin takbiran malam lebaran.
“Bapak...” hanya satu kata itu dengan suara serak menahan tangis yang bisa terlontar dari mulut Badrun, untuk selanjutnya dia memeluk bapaknya, menjatuhkan lutut untuk meraih tangan bapaknya serta menciumnya. Bapaknya dengan wajah kuyu dan tatapan mata rapuh memandang sang anak hilang yang pulang menjelang hari kemenangan.
“Ibumu turut hanyut dan tenggelam, Nak.” Lirih ucap bapaknya, nyaris tidak terdengar.
Hujan deras kembali mencurah membasuh bumi laksana langit meneteskan simpati pada lara tiada tara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H