Mohon tunggu...
Muhammad Dahlan
Muhammad Dahlan Mohon Tunggu... Petani -

I am just another guy with an average story

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hilang

9 Maret 2017   22:08 Diperbarui: 11 Maret 2017   22:00 427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Akulah Mahmud,” akhirnya dia buka suara. Dia diam lagi sejenak, “Saudara siapa gerangan?” lanjutnya bertanya, tetap dengan tatapan yang asing bagiku. Begitu juga tatapan empat orang lainnya yang ada di ruangan ini. Sesekali mereka saling memandang satu sama lain untuk kemudian serentak memandang ke arahku lagi.

Pengakuandan pertanyaan yang baru saja diucapkan kakek tua itu tentu saja membuatku sangat kaget. Kenapa dia mengaku sebagai Mahmud dan berlagak tidak mengenalku?

Mungkin saja Mahmud sudah ada di dalam sana dan sebelumnya telah mengatur persekongkolan dengan kakeknya untuk membuatku kebingungan. Aku membayangkan wajah licik Mahmud tengah cekikin mengintip dari balik ruang tengah.

Aku menyapu pandangan ke seluruh arah ruangan yang aku kenal baik ini. Empat buah kursi tunggu yang terbuat dari rotan dan satu meja kayu masih ada di posisinya masing-masing. Di salah satu sudut terdapat lemari kayu berwarna coklat pudar tanpa kaca tempat menaruh radio transistor tua yang sedang menyiarkan warta berita. Pada dinding di atas radio, terdapat poster presiden Sukarno didampingi Muhammad Hatta tengah membacakan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Begitu juga sebuah meja kecil dari kayu tempat menaruh kotak perabotan yang berisi gunting,sisir dan peralatan cukur lainnya.

Namun sekonyong-konyong aku terperanjat kaget melihat di sebelah cermin besar yang digantung di dinding, tertempel selembar kertas karton warna putih kusam seukuran buku tulis yang belum pernah kulihat sebelumnya, bertuliskan:

Dewasa : Rp 15.000

Anak-anak : Rp 10.000

Aku beringsut maju ke depan cermin besar dan menatapnya lekat-lekat, tetapi bayangan yang muncul dari dalam cermin adalah sesosok lelaki paruh baya dengan bentuk wajah tirus, dahi penuh garis bekerut-kerut. Rambutnya tipis dan jarang-jarang terurai hingga ke bahu, lebih banyak rambut yang berwarna putih dibanding hitam. Demikian pula kumis dan jenggotnya, penuh uban.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun