Mengingat cerita seram demikian membuatku jadi bergidik ngeri membayangkan andai aku tersesat ke negeri orang bunian. Aku berharap itu tidak terjadi padaku sekarang ini. Aku sangat ketakutan dan mungkin saja aku telah menangis tanpa kusadari.
Aku putuskan menelusuri jalan aspal mengikuti arah tujuan truk pengangkut buah itu.Aku berpikir mungkin saja iring-iringan truk pergi menuju tempat penampungan atau pabrik pengolahan buah yang entah untuk dijadikan apa. Tentulah ada erkampungan penduduk di sana. Setelah sekian lama berjalan, mulai tampak olehku beberapa rumah-rumah penduduk, di depan pekarangan tiap-tiap rumah terdapat timbunan bertandan-tandan buah yang sama dengan muatan truk. Semakin jauh maka semakin banyak pula rumah di kedua sisi jalan dan semakin menggunung pula buah-buah itu. Di salah satu sudut pemukiman yang menjorok kedalam terlihat banyak orang berkumpul dan lalu lalang.
Aku menuju ke sana. Ternyata itu pasar. Aku kembali tersentak kaget dan sekali lagi rasa takut membuat jantungku berdegup lebih kencang karena setahuku lokasi pasar berada di seberang sungai. Ada di mana aku sekarang ini sebenarnya? Begitu banyak orang di pasar ini, namun tidak seorangpun yang aku kenal dan tak ada yang peduli atau menoleh ke arahku. Semua orang berjalan tergesa-gesa dan berdesak-desakan di lorong-lorong pasar yang sempit. Ada penjual obat sedang melakukanpertunjukan sulap. Suaranya lantang melolong melalui pengeras suara, membujuk pengunjung pasar untuk mendekat. Biasanya aku sangat tertarik menonton atraksi penjual obat. Tetapi tidak untuk saat sekarang ini.
Aku terus berpikir keras bagaimana caranya mencari jalan pulang ke rumahku yangterletak di tepi Sungai Telake. Aku ikuti rombongan pengunjung pasar yang tasnya penuh berisi barang belanjaan yang mengambil jalan ke arah Timur. Itu juga arah ke Sungai Telake. Tentulah mereka akan pulang ke rumahnya, pikirku. Aku membuntuti mereka namun tak berani menyapa atau bertanya. Ternyata jalan ini tidak terlalu panjang, tembus ke jalan raya dua jalur yang lebar. Di seberang jalan tampak bangunan beton bertuliskan Kantor Kelurahan. Sejak kapan kantor ini berubah dari bangunan kayu berbentuk huruf L menjadi bangunan batu atau beton yang besar dan megah? Demikian pula mushalla di sebelahnya serta rumah-rumah lain di sepanjang tepi jalan. Bukankah tadi pagi bangunan-bangunan itu masih terbuat dari kayu semua? Setahuku hanya bangunan kantor polisi dan kantor PLN yang terbuat dari beton. Kantor camat, kantor lurah, balai desa,mesjid, sekolah dan rumah penduduk semuanya merupakan bangunan kayu.
Aku bergerak ke arah kiri jalan, arah seharusnya letak Sungai Telake dari depan kantor lurah ini. Aku lihat lapangan sepakbola yang seharusnya hanya ada beberapa rumah di setiap sisi lapangan kini penuh dengan banyak rumah, diantaranya rumah beton pula. Di depan lapangan terdapat pangkalan yang bertuliskan Pos Ojek. Banyak sepeda motor dan orang berkumpul dan mengobrol disana. Ada yang bermain catur sambil minum kopi. Sama seperti di pasar tadi, tak seorangpun di antara mereka yang kukenal dan menoleh kepadaku saat aku melintas di depan mereka.
Aku memandang ke seberang jalan raya mencari letak pintu gerbang menuju jalan tanah dengan lebar sekitar tiga meter, jalan menuju rumahku. Tetapi tidak tampak olehku. Yang ada justru jalan beton semen yang lebar. Setidaknya delapan meter lebarnya, taksirku. Rumah dan toko di sekitar gerbang jalan beton semen semuanya bangunan model baru yang belum pernah aku melihatnya. Namun aku mengenali satu rumah kecil bercat kapur putih yang letaknya tepat di depan gapura persimpangan jalan, terjepit di antara rumah dan ruko-ruko besar dan berloteng tinggi.
Itu rumah kakek Yunus!
Aku ingin segera menghambur keseberang sana, namun kendaraan yang melintas sangat padat dan tak putus-putus. Cukup lama aku menunggu untuk bisa menyeberang jalan.
Aku masuk ke rumah kakek Yunus yang pintunya berupa pintu-pintu bersambung seperti pintu toko yang selalu terbuka di siang hari. Kakek Yunus yang berdiri dengan posisi membelakangi pintu sedang menerima uang dari orang bertubuh tambun yang baru saja selesai dicukurnya. Ada dua laki-laki dewasa dan satu remaja yang sedang mengantri giliran mereka.
Aku maju beberapa langkah mendekati kakek Yunus sembari menarik perlahan bajunya dari belakang. “Mana Mahmud, Kek?” tanyaku.
Kakek dengan rambut penuh uban dan mengenakan peci itu berpaling, menoleh ke arahku. Dia membetulkan posisi kacamatanya yang tadi melorot di hidungnya. Dia menatapku dalam-dalam, dari kaki naik ke kepala. Aku berpikir mungkin saja dia kaget atau tidak senang melihat pakaian dan tubuhku yang kotor. Lama dia terdiam, namun terus menatapku tanpa berkedip. Tiga orang yang sedang antri dan seorang yang baru saja selesai potong rambut juga menatapku dengan pandangan yang tidak aku mengerti maksudnya. Aku menjadi kikuk.