Mohon tunggu...
Muhammad Dahlan
Muhammad Dahlan Mohon Tunggu... Petani -

I am just another guy with an average story

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Puisi, Buruh dan Anjingnya

25 Februari 2017   21:02 Diperbarui: 26 Februari 2017   18:00 390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sam berada di langit ke tujuh, di awan lapis ke sembilan, atau sebut saja apa yang kamu suka. Tapi satu hal yang pasti, ini adalah saat paling membahagiakan dalam hidupnya. Sam mengalami emosi membuncah menyenangkan memandang untaian kata-kata buah tulisan tangannya yang dimuat pada pojok kiri atas halaman belakang sebuah surat kabar. Sam dalam pelukan kegembiraan, sukacita, gairah. Aku benar-benar tidak punya kata-kata untuk menggambarkan emosi yang unik, tetapi jika kamu seorang penulis, cobalah ingat dan bayangkan saat ketika kamu melihat tulisan pertamamu dimuat di media cetak, dan kamu akan mengerti maksudku.

Sam membaca puisi untuk dirinya sendiri, perlahan-lahan, penuh penghayatan, lembut, mereguk dalam-dalam setiap kata, tenggelam dalam fantasi ciptaannya sendiri, sampai hardikan pemilik toko buku mengeluarkan dia dari lamunan, saat meminta bayaran untuk surat kabar yang diambilnya. Sam membayarnya dan melanjutkan membaca puisinya sendiri, berjalan dengan keriangan pada setiap langkahnya menuju halte, menunggu bis jemputan karyawan yang bekerja shift malam ke lokasi tambang.

Sesampai di tempat kerja, dia menghampiri beberapa teman kerjanya yang tengah menanti pergantian shift.

“Lihat, puisiku telah dterbitkan,” kata Sam penuh semangat mengulurkan surat kabar.

Seorang teman mengambil surat kabar dari tangan Sam, membolak-balik halamannya beberapa saat dan berkata, “Hei, lihat kenaikan upah minimum kabupaten telah ditandatangani bupati.” Dan dia mulai membaca berita yang dimuat di halaman depan itu.

“Bukan. Bukan itu. Puisiku ada di halaman belakang,” hardik Sam.

“Yang mana?”

Sam merampas surat kabar dan menunjukan kepadanya.

“Baik,” kata temannya bahkan tanpa membaca puisi, melainkan kembali ke halaman pertama dan mulai membaca rincian kenaikan upah.

“Buta huruf bedebah pencampak sastra. Hanya tertarik pada uang,” kata Sam gusar menyambar surat kabar.

“Oh ya, kami memang buta sastra yang khawatir tentang uang, bukan filsuf seperti kamu yang membuang-buang waktu menulis puisi,” kata seseorang.

“Mengapa kamu tidak menjadi profesor daripada membuang-buang waktu di sini?” ejek yang lain.

“Atau bergabung dengan kelompok teater, menulis lirik lagu, menari-nari jika bertemu pilar atau pohon?” semprot yang lain lagi sambil menirukan gerakan sebuah tarian.

Sam beranjak keluar dari ruang tunggu dengan kesal.

Kita tinggalkan sejenak Sam yang tengah gundah pada perlakuan teman kerjanya. Mari saya ceritakan sedikit tentang Sam, tokoh cerita kita, seorang supir truk gandeng pengangkut batubara dengan bobot ratusan ton. Dia terdampar bersama orang-orang penuh kelakar dan suka berteriak ketika bicara. Sementara Sam penyendiri, kutu buku, dan sekarang, dia menulis. Seandainya Sam mendapat kesempatan yang tepat dia akan menjadi orang berpengetahuan tinggi, tapi situasi menghendaki sebaliknya dan ketidakberuntungan hidup membuat dia tidak punya banyak pilihan.

Sam seorang pekerja yang  baik. Dia bahagia dengan pekerjaannya dan puas dengan kehidupannya. Dia tekuni rutinitas mengemudikan truk besar pengangkut batubara dari tempat pengisian menuju tempat pembongkaran di pelabuhan dengan jarak 40 kilometer dan harus mendapat sedikitnya lima trip dalam sehari. Dia tidak pernah merasa bosan atau kesepian saat antri panjang ketika mengisi atau membongkar muatan sebab dia selalu membawa beberapa buku yang bagus untuk dibaca. Dan sekarang dia mulai menulis, ya, menulis puisi.

Sam selalu ingin menulis tapi tidak tahu bagaimana memulainya, sampai suatu dini hari, ketika menunggu antrian panjang bongkar muatan di pelabuhan saat matahari terbit, semburat merah kekuning-kuningan emas menyambut matahari yang baru bangkit dari garis imajinasi permukaan laut, burung-burung berkicau terjaga dari lena, cakrawala menjernih biru muda. Pemandangan menakjubkan itu menginspirasinya untuk menuangkan percikan-percikan perasaan batinnya ke atas kertas dan dengan demikian lahirlah tulisan pertamanya, sebuah puisi, yang diberinya judul Menyongsong Fajar.

Sam tinggal di ibu kota kabupaten yang memiliki surat kabar harian berisi delapan halaman beroplah kecil. Pada halaman belakangnya terdapat teka-teki silang, surat pembaca, cerpen, dan puisi. Sam terobsesi tulisannya dimuat di surat kabar lokal itu, di halaman belakangnya, satu hari kelak.

Sam mengantar sendiri puisi yang ditulisnya di atas selembar kertas yang dia sobek dari buku tulis putrinya kepada redaktur surat kabar yang menatapnya dengan geli dan berkata, “Kita lihat saja nanti.”

Sekarang mari kita kembali ke cerita kita dan melihat apa yang terjadi pada Sam yang telah pulang kerja.

Dia baru turun dari bis antar jemput karyawan dan berjalan cepat menuju rumahnya ingin segera menunjukan puisinya kepada istri dan putrinya.  Melihat Sam berjalan melewati gerbang gang tanpa melirik membuat Sumi berpikir ada sesuatu yang salah pada Sam karena biasanya dia selalu mampir di warungnya minta dibuatkan secangkir kopi dan membeli sebungkus sosis buat Tom, anjing peliharaannya.

Seperti biasa, Tom adalah yang pertama menyambut Sam dengan menggonggong gembira, melompat, berlari-lari dan mengibaskan ekornya di depan pintu pagar. Tetapi kali ini Sam mengabaikannya  dengan tidak meraih dan menggendong Tom seperti biasanya. Tidak juga dengan belaian, sapaan ramah, dan yang terpenting tidak ada sekantong sosis. Tom bingung pada perilaku aneh tuannya, namun dengan setia mengikuti menuju pintu rumah.

Sam memencet bel.

Istrinya yang telah hidup bersamanya sejak dua puluh tahun lalu membuka pintu, menyunggingkan senyum samar sekilas dan berbalik menuju dapur.

“Lihat, lihat...” kata Sam dengan antusias seperti anak kecil, “Puisiku dimuat di surat kabar.”

“Puisi...? Puisi apa?” tanya istrinya.

Sam memberikan surat kabar kepada istrinya dan menunjukan puisinya.

Istrinya menatap sejenak dan bertanya, “Berapa mereka membayarmu untuk ini?”

“Membayarku...?” Apa yang kau bicarakan...?” Sam bertanya bingung.

“Ya. Membayar kamu. Jangan bilang kamu melakukan ini untuk amal. Atau mungkin puisi ini hanya kategori sastra picisan, sehingga mereka tidak berpikir layak dihargai dengan bayaran!” kata istrinya mencemooh.

“Tolong!” pekik Sam gusar, “Puisi ini adalah karya imajinatifku, bukan barang untuk dijual. Ini tidak ada hubungannya dengan uang. Kamu sepertinya tidak memiliki pemahaman baik tentang penghargaan terhadap nilai seni.”

“Jangan membuang-buang waktu dengan menulis puisi atau apalah nama semacamnya yang membuat seekor gagak hutan membual seolah dirinya adalah merak khayangan. Lihatlah dirimu kini, baru satu tulisanmu diterbitkan, namun lagakmu seolah-olah kamu telah memenangkan hadiah Nobel,” istrinya mengolok-oloknya.

“Lebih baik kamu mencari bisnis sampingan atau mencari pekerjaan lain dengan resiko kerja lebih kecil namun memiliki penghasilan yang lebih baik.”

“Aku tidak butuh usaha atau pekerjaan lain.”

“Kamu ingin membusuk sebagai pengemudi sepanjang hidupmu?”

“Aku mencintai pekerjaanku. Aku suka membaca dan menulis. Ini telah cukup buat hidupku.”

“Oh, tentu. Kamu senang untuk hidup di selokan dan menonton orang lain mendaki gunung kegemilangan!”

“Bapak, ibu benar,” putrinya menyela, muncul tiba-tiba.

“Sini. Ke sini, Nak” kata Sam penuh semangat, memberikan surat kabar kepada putrinya, “Puisi bapak dimuat di surat kabar. Baca dan ceritakan bahwa kau menyukainya.”

“Kamu bisa membacanya nanti. Makan sarapanmu,” potong ibunya dengan tegas, “Kamu hampir terlambat pergi ke sekolah.”

“Bawa surat kabar ini. Perlihatkan kepada teman-temanmu, kepada gurumu,” bujuk Sam kepada putrinya.

Suara klakson terdengar dari halaman depan. Anak gadis itu memasukan surat kabar ke dalam tas dan bergegas keluar. Sam penuh semangat mengikuti berjalan di belakang putrinya menuju pintu depan dan berteriak padanya, “Puisi bapak ada di halaman paling belakang, judulnya Menyongsong Fajar”

Seorang anal laki-laki menunggu di atas sepeda motor. Mungkin teman sekolah putrinya. Pacarnya, mungkin... Sam baru menyadari betapa sedikit yang dia tahu tentang anak satu-satunya itu. Sam berharap putrinya akan menghargai puisi, bakat, karya tulis jeniusnya.

Sam memperhatikan putrinya yang berbicara dengan anak laki-laki di atas motor. Anak laki-laki itu menunjuk jok belakang, mengatakan kepadanya bahwa jok itu kotor. Kemudian, putrinya mengambil surat kabar dari dalam tas. Sam antusias, mungkin putrinya akan menunjukan puisi bapaknya kepada teman sekolahnya itu.

Ya, putrinya memang mengambil surat kabar dari tasnya, tetapi dia bahkan tidak membukanya, melainkan meremasnya dan menggunakannya untuk menyeka jok motor dan melemparkanya ke tanah. Kemudian dia duduk di jok motor itu dan mereka pergi.

Sam mengalami rasa sakit jauh lebih buruk daripada jika pisau menembus jantungnya.

Tom bergegas keluar, mengambil surat kabar dengan mulutnya, membawanya kepada Sam. Menjatuhkan di kaki Sam, seperti berharap tuannya memungut surat kabar itu.

Tiba-tiba Sam menyadari dia telah lupa memperlakukan Tom dengan semestinya, belum memberinya makan.

“Ayo,” kata Sam kepada Tom.

Sam mengambil surat kabar dan mereka berdua, tuan dan anjingnya, berjalan menuju warung Sumi di gerbang gang.

Sam menemukan Tom pertama kali secara tidak sengaja saat anak anjing itu melolong ketakutan di tepi jalan raya. Dia jatuh iba pada anjing kecil itu dan memutuskan membawanya ke rumah untuk dipelihara.

“Sekarang kamu mendapatkan kesenangan baru yang akan selalu merongrong minta makan, seekor anjing kampung!” kata istrinya sinis sesaat setelah Sam menceritakan tentang anjing mungil yang baru saja ditinggal pergi induknya yang mati ditabrak truk di jalan raya.

Sejak saat itu Tom menetap di rumah Sam. Setiap kali Sam pergi bekerja, perlakuan dan makan yang didapat Tom tergantung pada rasa sayang separuh hati dari sang nyonya rumah.

Mereka mencapai warung Sumi.

“Apa yang terjadi operator Sam? Kamu tidak memberi makan anjing peliharaanmu pagi ini.” Sambut Sumi.

“Saya lupa. Berikan Tom sebungkus sosis dan secangkir kopi buatku.”

Sam berpikir untuk menunjukan puisinya kepada wanita separuh baya yang masih gemar bersolek menor pemilik warung itu, tapi dia khawatir perlakuannya tidak akan berbeda seperti teman kerja, istri, dan putrinya. Maka Sam duduk di sebuah kursi kayu dan memutuskan membaca puisinya untuk dirinya sendiri, dia tidak lagi mengharapkan apresiasi dari orang lain terhadap karyanya.

Sam membuka plastik pembungkus sosis dan memberikan kepada Tom yang telah menunggu bersimpuh di lantai. Tom segera menyantap sosis dengan lahap. Sam menyeruput kopi dan mulai membaca puisinya dalam penghayatan penuh hikmat.

Tiba-tiba Sam merasa elusan di kakinya, itu Tom yang menyentuh dengan cakarnya. Melihat penuh harap kepada Sam, sinar matanya menyilaukan, menggonggong, seperti mencoba mengatakan sesuatu.

“Ingin mendengar puisiku...?” harap Sam kepada Tom  sambil membelai telinga anjing peliharaanya itu.

Tom bangkit, kepalanya mengangguk, meletakkan kaki depannya di lutut Sam dan mengibaskan ekornya.

Sam mengulangi dari awal membaca puisinya dengan suara lebih keras. Tom setia mendengarkan suara tuannya dengan penuh perhatian, matanya terpaku pada wajah Sam, dan ekornya bergoyang-goyang. Setelah Sam selesai membaca puisi, dia menatap Tom, anjing itu memperlihatkan ekspresi kekaguman, mengibaskan ekornya, berusaha mengulurkan cakarnya sebagai isyarat meminta berjabat tangan.

Sam kewalahan dengan rasa gembira melihat penghargaan Tom pada puisinya dan memerintahkan Sumi membawakan sekantong sosis lagi. Tom melonjak gembira atas kemurahan hati tuannya dan seakan berkata, “Lagi.”

“Kamu ingin mendengar sekali lagi?” tanya Sam.

Tom bangkit, meletakan cakarnya di kaki Sam dan kepalanya mengelus lutut Sam. Mendongak penuh cinta pada tuannya, terus mengibas-ngibaskan ekor, mendengarkan penuh perhatian pada suara sang tuan, menunggu dia selesai membaca, dan bersiap-siap menerima sebungkus sosis baru.

Begitu terus berulang-ulang puisi itu dibaca oleh Sam dan sebungkus sosis setelahnya bagi Tom, sampai kemudian sang tuan dan anjing pulang ke rumah.

 Sam terharu pada perlakuan anjingnya. Dia mendapatkan dorongan semangat untuk menulis, untuk mengungkapkan, untuk mengatakan banyak hal dengan indah. Tom telah memicu percikan kreativitas dalam dirinya

.

Sesampainya di rumah, Sam duduk di meja tulisnya dan mencurahkan imajinasi, perasaan batin di atas kertas, menjadi puisi demi puisi. Sementara anjing kesayangannya, sang stimulator, inspirator dan motivatornya duduk dengan setia di sisinya dengan rasa kasih sayang yang terselubung sambil memandang lekat-lekat sebuah keranjang besar yang tergeletak di lantai berisi sosis dari warung Sumi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun