MEMPERINGATI HARI KOMUNIKASI SEDUNIA
Indonesia dalam sepuluh tahun ke depan memasuki era Bonus Demografi yaitu kondisi dimana jumlah penduduk produktif atau angkatan kerja lebih besar dibanding dengan golongan usia penduduk lain yakni anak-anak dan lansia. Sementara itu saat ini, dunia memasuki Era Digitalisasi, dan kaum muda adalah kelompok masyarakat yang terlahir dalam era dimana informasi membanjiri kehidupannya. Hari Komunikasi Sedunia kiranya mengingatkan kita pentingnya membangun relasi dan dialog yang berkesinambungan antar individu, kelompok, institusi bahkan bangsa guna mengupayakan saling pengertian, toleransi, dan menghargai.
Hari Komunikasi juga hendaknya membawa kita pada sebuah refleksi apakah kita telah mampu menggunakan teknologi komunikasi secara tepat dan berdaya guna, bukan sebaliknya menjadikan batas, jarak atau benturan hingga gerakan radikalisme dan ekstrimesme antar umat manusia. Berdasarkan hal tersebut, tulisan ini akan mencoba menjawab bagaimana pengaruh media digital terhadap kaum muda terutama dalam kaitannya dengan pemahaman nilai-nilai Pancasila; kemudian bagaimana seyogyanya teknologi informasi ini dioptimalkan untuk memperkecil gerakan radikalisme dan intoleran; pada akhirnya bagaimana melalui pendidikan formal maupun non formal nilai-nilai Pancasila dapat dikuatkan kepada kaum milenial di era globalisasi ini.
Global Village
Era Globalisasi ditandai dengan berkembangnya media digital (Era Digital). Di sini  semua yang bersifat manual menjadi otomatis dan ringkas. Contoh media digital adalah internet, handphone dan web. Komunikasi melalui internet mengikuti pola media massa yaitu one to many. Komunikasi massa yang dimaksud ini menggunakan sarana televisi, radio, majalah atau koran. Sedangkan computer mediated communication (CMC) yang kini kerap digunakan masyarakat, mencakup model komunikasi interpersonal (one to one), komunikasi massa (one to many), dan komputerisasi (many to one). Model terbaru adalah yang disebut many to many yaitu setiap individu dapat menerima dan mengirim pesan baik bersifat pribadi maupun massal (Burnett and David Marshall). Internet merupakan teknologi komunikasi utama saat ini karena mempunyai pengaruh yang besar dalam berbagai aspek.Â
Berdasarkan hal di atas, dunia seakan disatukan dalam 'Global Village', sebuah teori yang diperkenalkan oleh Marshall McLuhan seorang ilmuwan komunikasi dan kritikus. Global village dimaknai sebagai fenomena globalisasi yang ditandai dengan melemahnya batas-batas nasional, terkikisnya identitas dan budaya lokal, mempengaruhi ekonomi nasional di tengah-tengah ekspansi modal, serta meningkatnya migrasi internasional. Era ini telah membawa tatanan baru dalam kehidupan manusia di berbagai negara. Terdapat banyak sisi positif dari globalisasi, diantaranya masyarakat antar negara dapat berinteraksi lebih mudah, pengembangan ilmu pengetahuan semakin pesat, hubungan internasional dapat terjalin lebih baik. Bersamaan dengan itu, masuknya budaya asing ke Indonesia tanpa dapat dibendung telah menggerus nilai-nilai asli bangsa Indonesia.
Sesuai grafik di atas, dapat dilihat kaitan era digitalisasi dengan generasi milenial. Menurut data Asosiasi Penyelenggara Data Internet Indonesia (APJII) pengguna sarana internet di Indonesia tertinggi adalah kaum muda yakni usia 13-18 tahun, disusul usia 19-34 tahun. Adapun secara umum menurut Badan Pusat Statistik (BPS) di tahun 2020, penduduk Indonesia terbesar adalah generasi Z yang mencapai 75,49 juta jiwa atau 27,94% dan milenial sebesar 25,87%. Dampak perkembangan teknologi komunikasi pada kaum milenial merupakan salah satu aspek yang sangat relevan untuk disikapi secara bersama dan bijak.
Berdasarkan hasil Studi Kasus Lemhannas PPRA 64 bertema "Tantangan Implementasi Nilai-Nilai Pancasila pada Kehidupan Beragama di Era Globalisasi", 24 Mei 2022 terungkap bahwa dunia maya telah menyodorkan ide-ide yang berkaitan dengan kekerasan mulai dari yang bersifat provokasi, 'edukasi' tentang pembuatan bom hingga penjaringan anggota. Paham radikal secara umum diartikan sebagai suatu pemikiran yang berupaya melakukan perubahan dengan cara yang tak biasa atau mengarah pada kekerasan dan pemaksaan kehendak. Internet dianggap memberi banyak peluang dan pengaruh kepada kaum muda karena dalam kehidupan dan aktivitas mereka saat ini tak dapat lepas dari gadget. Sebagai ruang publik, internet dianggap mempercepat proses radikalisasi sekaligus meningkatkan peluang untuk swa-radikalisasi.
Ironisnya, dunia pendidikan mulai dari tingkat TK menjadi lahan merasuknya radikalisme, hal ini diperkuat dengan pernyataan Pengamat Intelijen dan Terorisme, Dr. Wawan Hari Purwanto, SH, MH, "Dari beberapa kasus banyak pihak terpapar melalui medsos. Bahkan mereka juga bisa melakukan tanya jawab jika mereka mengalami kesulitan dalam membuat bahan peledak. Sehingga rekrutmen sekarang ini tidak perlu tatap muka lagi." (tribunnews.com/metropolitan 13Jun2019/Toni Bramantoro/diakses 29Mei2022). Hal ini juga ditegaskan oleh salah seorang peserta Diskusi di Kelompok E dari TNI. Menurutnya, berdasarkan penelusuran di sebuah PTN negeri perekrutan kelompok intoleran dilakukan begitu halus mulai dari penerimaan mahasiswa. Strateginya, para mahasiswa senior melakukan profiling mahasiswa baru dan melakukan pendekatan antara lain dengan cara menawarkan pemondokan, beasiswa, mentoring, hingga mengarahkan mereka untuk memperoleh pekerjaan.
Peran Keluarga
Keluarga memegang peranan penting dalam pertumbuhan generasi muda. Keluarga merupakan unsur terkecil dalam  masyarakat, namun merupakan dasar utama bagi terbentuknya sumber daya manusia yang dapat memengaruhi keadaan masyarakat. Teori Struktural Fungsional memperkuat pemahaman ini bahwasanya tiap-tiap anggota  keluarga  harus  menjalankan peran dan fungsi sebagaimana mestinya. Teori ini menekankan tentang bagaimana memahami masyarakat sebagai suatu sistim yang saling berhubungan dan mengakui adanya keanekaragaman dalam kehidupan sosial (Talcott Parson).
Dengan demikian, pendekatan kepada kaum muda dalam hal ini milenial menjadi hal mendesak untuk dilakukan. Strateginya dengan terus menerus dan secara sistimatis melalui institusi pendidikan formal maupun non formal guna menumbuhkan kesadaran terhadap bahaya radikalisme serta mengajak siswa untuk memperkuat jati diri  bangsa, meningkatkan ketahanan mental dan ideologi negara. Sekolah-sekolah perlu kembali secara berkala melakukan upacara Kenaikan Bendera tidak hanya saat peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI, dimana siswa ditanamkan nilai-nilai Pancasila secara konsisten.Â
Mekanisme pengajaran Pencasila harus dilakukan dengan cara yang baru sesuai kondisi era digital saat ini, dikemas sedemikian rupa agar menarik tak hanya untuk dihafalkan, melainkan interaktif dan kreatif menurut golongan usia atau tingkat pendidikan. Misalnya, dibuat terbitan seri dalam bentuk karikatur atau game, namun tidak keluar dari koridor dan semangat nasionalisme. Merangkul para youtuber, blogger milenial untuk menyisipkan semangat kebhinekaan dalam konten-konten yang inspiratif.
Peran orangtua dalam keluarga juga tak kalah penting, bagaimana mengajar dan memberi teladan kepada anak-anak dalam hidup berdampingan dengan masyarakat yang multikultural. Misalnya dengan mengajak anak-anak berkunjung ke tetangga pada hari-hari raya, bersilaturahim, atau menolong mereka yang kesusahan. Secara bersama dalam komunitas menanamkan sikap saling menghormati antar pemeluk agama yang berbeda, toleran dan menghilangkap sikap diskriminasi. Hubungan emosional yang erat antara orangtua dan anak-anaknya juga akan membentengi anak-anak dari perilaku intoleran kepada teman-temannya, dikarenakan mereka belajar mengasihi mulai dari dalam keluarga. Sekiranyapun mereka sedang mengalami persoalan, anak-anak akan mencari orang terdekat dalam hal ini ayah, ibu atau kakak untuk mengutarakan masalah yang dihadapi dan mencari solusi terbaik bersama-sama.
Dalam banyak kasus yang diberitakan di media massa, kejahatan narkoba, perdagangan manusia dan pelecehan seringkali berawal dari penggunaan media sosial, dimana kaum remaja begitu mudah melakukan  'curhat' di media sosial yang kemudian ditanggapi oleh pihak lain tak dikenal secara negatif. Dalam hal ini pemahaman literasi media sangat perlu dilakukan sejak usia dini mulai dari dalam lingkungan keluarga, sehingga anak-anak dapat menggunakan media sosial secara lebih bermanfaat dan bertanggungjawab.
Tangungjawab Bersama
Strategi penanggulangan radikalisme dan intoleran dengan membangun kerukunan mulai dari masyarakat akar rumput yakni keluarga dan komunitas RT/RW perlu dilakukan secara bersama dan bukan hanya merupakan tanggungjawab  Pemerintah. Terkait dengan bagaimana mengotimalkan era Bonus Demografi, perhatian terhadap kaum milenial sebagai generasi penerus tak dapat ditunda lagi. Rekomendasi  terhadap hal tersebut, pertama pembentuk Team Cyber Anti Radikalisme termasuk juga Anti Narkoba, kemudian menyeleksi kegiatan yang tak prioritas dengan kegiatan Anti-Radikalisme dalam dunia pendidikan.Â
Disamping itu, perlu dibangun  kemitraan yang kuat melalui dialog dan pertemuan berkala antar tokoh agama, masyarakat serta menjalin koordinasi lintas Ormas keagamaan. Adanya penyempurnaan modul pendidikan agama yang secara khusus membahas akses yang dapat menimbulkan paham radikal tersebut sebagai kewaspadaan nasional. Dalam kaitan dengan kebijakan pemerintah, sebagaimana diutarakan Presiden RI, Joko Widodo tentang pemberantasan terorisme, dibutuhkan kombinasi penggunaan hard power dan soft power. Pendekatan hard power adalah mengaji ulang Undang-Undang Terorisme untuk penguatan payung hukum menghadapi terorisme.Â
Selain peran dari Kementerian Komunikasi dan Informatika RI, masyarakat perlu secara bersama mengimbangi banjirnya hoax dan ujaran kebencian dengan tulisan, konten yang bersifat damai, positif dan inspiratif dari berbagai aspek kehidupan. Konten di media sosial perlu dipenuhi dengan nilai-nilai budaya Indonesia dan kearifan lokal agar generasi muda tak mudah lupa terhadap hati diri bangsa.
Daftar Pustaka
Buku Bahan Pengajaran Bidang Studi Pancasila, Lemhannas RI, tahun 2021
Berkomunikasi Ala Net Generation / Dian Budiargo; Â Jakarta: Elex Media Komputindo, 2015
Mengembangkan Kompetensi Etis di Lingkungan Kita / Mathilda AMW Birowo; Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2017
Mass Communication Theory/Denis McQuil; Sage, London, 2010
Tantangan Implementasi Nilai-Nilai Pancasila pada Kehidupan Beragama di Era Globalisasi, Kerangka Acuan Untuk Peserta Diskusi Studi Kasus Bidang Empat Konsensus Dasar Sub Bidang Studi Pancasila, PPRA LXIV, 2022
Artikel-artikel relevan dari Google.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H