Beberapa catatan penulis dari debat tersebut dan kaitannya dengan apa yang secara nyata telah dilakukan oleh organisasi-organisasi kemasyarakatan dan komunitas di akar rumput, kiranya dapat memberi masukan bahwa soal kesejahteraan dan keadilan bukan hanya tanggungjawab Pemimpin Negara dan Pemerintah. Demikian pula dengan janji dan narasi, akan menjadi angin lalu jika tidak rasional dan membumi.
Kesejahteraan
Debat diawali dengan strategi yang disampaikan oleh Capres nomor urut 2 berfokus pada Transformasi Bangsa yaitu meningkatkan kemakmuran dan kualitas hidup bangsa Indonesia. Taktiknya dengan memberi makanan bergizi untuk seluruh anak selama masa sekolah dini hingga dewasa.
"Diharapkan ini akan mengatasi kematian ibu waktu lahir, menekan stunting, kemiskinan ekstrim, menyerap hasil panen petani nelayan, meningkatkan ekonomi min 1 -- 2 %," ungkap Prabowo Subianto.
Inisiatif-inisiatif ini sejalan dengan aksi nyata yang telah banyak dilakukan oleh organisasi-organisasi kemasyarakatan baik sosial maupun berbasis keagamaan. KAJ telah memiliki Lembaga Daya Dharma (LDD) yang berusia 50 tahun, bertujuan membantu dan mendukung para buruh yang lemah, sesama yang berkebutuhan khusus dan mereka yang tersingkir.
"LDD adalah bagian dari kehadiran dan pelayanan KAJ, seluruh umat diundang untuk ikut bertanggungjawab atas keberlangsungan pelayanan ini," jelas Uskup Agung Ignatius Suharyo.
Dalam Pedoman Dasar Dewan Paroki (PDDP) Keuskupan Agung Jakarta Tahun 2014 disebutkan bahwa kesadaran diri KAJ sebagai warga Gereja Semesta yang hadir dalam dinamika bangsa Indonesia semakin mendorong untuk berkontribusi bagi kebaikan dan kesejahteraan bersama.
Prabowo menyebutkan pula rencana untuk membangun rumah sakit/puskesmas moderen di setiap kabupaten dan kota serta mengatasi kekurangan dokter. Caranya dengan menambah 300 fakultas kedokteran, mengirim 10 ribu anak-anak pintar ke luar negeri untuk belajar kedokteran, sains dan teknologi (di beberapa WAG menimbulkan ke-baperan karena yang studi ilmu sosial seperti kurang mendapat pehatian).
Menurut penulis membangun prasarana rumah sakit dan fakultas kedokteran adalah baik karena Indonesia masih kekurangan dokter dan tenaga medis. Inisiatif ini tidak cukup jika biaya kuliah mahasiswa kedokteran masih tinggi, sehingga mereka yang berkuliah di fakultas kedokteran umumnya mereka yang mampu membayar uang kuliah tinggi.
Perlu juga ditinjau betapa sulitnya lulusan kedokteran yang akan mengambil spesialis di negeri ini, bagaimana pula dengan dokter-dokter lulusan universitas dari luar negeri, apakah mereka dapat berpraktek di Indonesia?