Mohon tunggu...
Mathilda AMW Birowo
Mathilda AMW Birowo Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, Konsultan PR

Empat dasawarsa menggeluti bidang Corporate Communication di Kompas Gramedia, Raja Garuda Mas Group dan Bank CIMB Niaga. Memiliki pengalaman khusus dalam menangani isu manajemen serta strategi komunikasi terkait dengan akuisisi dan merger. Sarjana Komunikasi UI dan Sastra Belanda ini memperoleh Master Komunikasi dari London School of Public Relations serta sertifikasi Managing Information dari Cambridge University. Setelah purnakarya, menjadi Konsultan Komunikasi di KOMINFO. Saat ini mengembangkan Anyes Bestari Komunika (ABK), dosen Ilmu Komunikasi di Universitas Indonesia; Universitas Multimedia Nusantara; Trainer di Gramedia Academy dan KOMINFO Learning Center serta fasilitator untuk persiapan Membangun Rumah Tangga KAJ; Dewan Pengurus Pusat Wanita Katolik RI; Ketua Umum Alumni Katolik UI; Koordinator Sinergi Perempuan Indonesia (Kumpulan Organisasi Perempuan Lintas Iman dan Profesi). Memperoleh penghargaan Indonesian Wonder Woman 2014 dari Universitas Indonesia atas pengembangan Lab Minibanking (FISIP UI) dan Boursegame (MM FEB UI); Australia Awards Indonesia 2018 aspek Interfaith Women Leaders. Ia telah menulis 5 buku tentang komunikasi, kepemimpinan dan pengembangan diri terbitan Gramedia. Tergabung dalam Ikatan Alumni Lemhannas RI (PPRA LXIV/Ikal 64).

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Branding Capres: Omon-omon, Data, dan Etika

8 Januari 2024   15:08 Diperbarui: 18 Januari 2024   07:02 2643
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Begitu hangat Debat kedua Calon Presiden yang digelar Minggu malam, 7 Desember 2024 lalu. Tema debat Pertahanan, Keamanan, Hubungan Internasional dan Geopolitik. Penulis ingin meninjau penampilan tiga calon dari sisi komunikasi.

Unsur pertama yang dapat kita nilai dari penampilan ketiganya adalah melalui teknik public speaking (berbicara di depan umum), termasuk narasi dan bahasa tubuh.

Ketiga calon memiliki kemampuan public speaking yang bagus, secara umum berbicara lancar dengan sedikit melihat pada catatan/hp, percaya diri dan banyak senyum. Mereka setidaknya memiliki ciri khas masing-masing, ada yang cool, jaim, juga jenaka.

Kekuatan public speaking selain melalui substansi materi yang dibawakan yaitu sesuai dengan topik yang diangkat atau selaras dengan pertanyaan yang diajukan, adalah juga bagaimana mereka membawakannya dengan didukung bahasa tubuh yang memadai.

Gaya menjadi semacam 'Brand' dari masing-masing calon yang kemudian melekat dalam benak pemirsa. Sehingga jika yang 'baper-an' akan tampak sekali melalui mimik wajah, mengernyitkan kening, tatapan yang tendensius, senyum kecut sampai senyum puas. Sedemikian rupa hingga ada bagian yang disensor oleh penyelenggara, sayangnya sempat bocor dan beredar melalui media sosial, ketika salah satu calon menanggapi pernyataan calon lainnya dengan gerakan jenaka yang muncul begitu saja tanpa diskenariokan. Sebetulnya untuk sebuah tayangan inilah sisi 'human interest' yang menjadi tontonan enak dilihat.

Bukan rahasia lagi, jika istilah 'goyang gemoy' sudah melekat pada masyarakat, dan bisa saja nanti menandingi Rungkad, Poco-poco atau Maumere. Tentu dalam memilih Calon Presiden ada aspek2 prinsip yang perlu menjadi dasar pertimbangan dari sekedar seru-seruan saja.

Capres dan Branding

Kemampuan ketiga calon untuk mengemas narasi baik secara sengaja atau tidak akan berdampak pada persepsi khalayak terhadap mereka.

Menurut Joseph A. Devito Persepsi merupakan suatu proses dimana seseorang sadar terhadap suatu peristiwa dalam hal ini penampilan Capres, mengenal mereka juga melalui apa yang mereka dengar dari orang lain tentang capres tersebut.

Persepsi memang tak selalu tepat, namun ketika persepsi seseorang terhadap orang lain dibagikan melalui media sosial tentu ini akan memberi keuntungan bagi para Capres. Apakah itu sindiran, cercaan atau pujian yang dalam teori komunikasi semakin diangkat dan dibahas akan memperkuat image dan branding mereka.

Branding adalah elemen penting dalam komunikasi strategis. Branding dari seorang Capres adalah yang membedakan dia dengan Capres lainnya dan bagaimana Tim Suksesnya menghubungkan sosok Capres dengan masyarakat khususnya target suara melalui berbagai program dan publikasi.

Bagaimana jika kemudian image (citra) yang diperbincangkan itu cenderung negatif?

Di sinilah kekuatan media, terutama media sosial yaitu sharing tanpa proses editing seperti layaknya berita dalam media mainstream (media massa seperti TV, Radio, Koran). Dalam media sosial setiap orang dapat mengumbar pemikiran dan kesannya begitu saja. Kenyataannya, bagi masyarakat pesan-pesan di media sosial terasa lebih mudah dicerna dan enak untuk dibahas.

Potongan-potongan komentar atau video dari salah satu calon yang menggelitik kemudian dibungkus sedemikian rupa menjadi tayangan segar yang menempel dipikiran publik. Bahkan, menjadikan sesuatu yang selalu diingat/top of mind, sehingga saat masuk ke bilik pemilihan bisa saja nama itu yang dicoblos. tanpa memandang kredibilitas calon.

Ibaratnya, jargon dari sebuah iklan produk yang terus ada dalam benak kita, (maaf harus menyebut merek): "di komiks aja!" atau "Indomie seleraku", juga "apapun makanannya teh botol minumannya".

Penulis mengalami hal yang sama ketika anak-anak masih bayi dan menggunakan popok sekali pakai, maka ketika menanyakan dimana rak dari produk tersebut kepada sang pramuniaga, penulis menyebut pampers (merk popok sekali pakai). Nama ini lebih akrab ditelinga dibanding popok sekali pakai. Walaupun, saat sampai di rak yang dituju, yang penulis beli adalah merk lain.

Demikian halnya dengan Odol, sebutan banyak orang untuk membeli pasta gigi. Odol itu sendiri asalnya sebuah merk produk pencuci mulut yang dikeluarkan pengusaha Jerman, Karl August Lingner pada tahun 1892. Merk tersebut tidak beredar lagi di Indonesia saat ini, meski namanya tetap populis.

Debat Capres kedua ini juga menghasilkan beberapa cetusan baru yang hangat diperbincangkan di banyak WA Group seperti "omon-omon"; "ayo kita teruskan diskusi..." Ini merupakan pernyataan yang serius dari seorang Capres menanggapi apa yang dikemukakan seorang capres lain.

Selanjutnya, celetukan ini dapat saja berkembang menjadi sebuah 'Anekdot" yakni tanggapan terhadap fenomena sosial atau sebuah kisah menarik yang mengacu pada kejadian sebenarnya. Sama halnya dengan celetukan "ayo kita selesaikan secara kekeluargaan" atau "kita selesaikan secara jantan di luar" yang sebetulnya sebuah candaan berdasarkan tanggapan dari sebuah obrolan. Untuk asyik-asyikan ini juga tak masalah.

Post Truth

Sumber: Hive.blog
Sumber: Hive.blog
Di samping hal-hal tersebut, dalam forum debat kedua Capres masih tampak emosi yang keluar melalui narasi, pertanyaan ataupun bahasa tubuh. Seorang Capres masih sering terpicu atau tersinggung dengan apa yang disampaikan oleh capres lain.

Hal tersebut termaknai melalui jawaban atau tanggapan mereka yang kemudian mengambil sebagian porsi dari durasi yang seharusnya digunakan untuk memberi pandangan yang lebih obyektif.

Debat kemudian menjadi semacam ajang untuk 'membuka' borok atau menyudutkan Capres lain melalui pertanyaan-pertanyaan yang sebetulnya memancing atau menjurus. Soal Alutsista (Alat Utama Sistem Senjata) TNI yang cukup panjang diperdebatkan menjurus pada salah satu Capres yang dalam jabatan dan perannya sangat berhubungan dengan masalah tersebut. Apakah jawaban atau klarifikasinya tentang pembelian pesawat tempur bekas dapat dipertanggungjawabkan, publik lah yang dapat menilai.

Dalam era digital isu-isu politik terutama saat menghadapi Pemilu menjadi bahan empuk untuk mengolah Hoax (berita bohong). framing (membingkai peristiwa) atau bahkan pembunuhan karakter. Post Truth merupakan era dimana kebohongan tersamar menjadi sesuatu yang dianggap benar.

Hal tersebut sejalan dengan konsep propaganda yang dilakukan Nazi melalui Joseph Gobbels yaitu kebohongan yang terus menerus disebar akan dipahami sebagai sesuatu yang benar.

Dalam kaitannya dengan budaya politik maka perdebatan seperti Debat Capres seringkali memicu emosi dan membawa para tokoh ini keluar dari inti persoalan. Kita saksikan berkali-kali ketiga Capres terpancing untuk melakukan pembenaran diri ketimbang menjelaskan persoalan lebih substansial.

Hal ini tidak menjadi efektif bahkan dapat menurunkan citra diri bilamana tidak mampu dibarengi dengan data dan fakta. Ketika seseorang membela diri dengan mengemukakan fakta yang dianggapnya suatu kebenaran, tentunya tidak sama dengan data (kualitatif/kuantitatif). Fakta dapat saja bersifat subyektif jika dipandang dari satu sisi saja.

Bandingkan dengan seorang Capres mengangkat data dalam bentuk angka dan sumber acuannya. Aspek-aspek ini di beberapa program TV pasca Debat menjadi bahan diskusi hangat dari para ahli terkait. Mereka membandingkan apa yang disampaikan oleh Capres dengan fakta dan data yang ada di lapangan. Sehingga, jika data yang diangkat oleh Capres tersebut sesuai dengan faktanya, maka ini menjadi nilai tambah bagi yang bersangkutan.

Dalam diskusi atau seminar ada dua peran yang sering 'dimusuhi' pemirsa, pertama moderator yang harus memotong pembicaraan nara sumber (narsum) karena sudah melewati batas durasinya, atau narsum yang ngeyel bicara berpanjang-panjang tidak memperhitungkan waktu.

Pada debat ini durasi memang harus dijaga karena berbeda dengan seminar tatap muka yang masih bisa toleran untuk waktu yang molor, untuk tayangan di TV waktu molor hitungannya rupiah dalam detik. Maka kecakapan narsum dalam mengukur waktu sangat penting, bukan sekedar supaya tidak disetop oleh pembawa acara, tetapi agar poin pentingnya dapat tersampaikan.

Ada beberapa sesi dimana Capres kehabisan waktu selain tidak langsung pada pokok persoalan, tetapi juga karena terbawa emosi sehingga terpancing melakukan klarifikasi ketimbang menjawab pertanyaan. Kematangan narsum dalam memahami persoalan-persoalan yang diangkat sangat tampak dalam performance mereka.

Semakin mereka menguasai materi semakin lancar, tepat waktu dan menyentuh inti persoalan dengan penuh kewibawaan tanpa harus mencari-cari kesalahan atau kelemahan pesaing lainnya. Kapabilitas calon akan semakin terpancar jika ia dapat memberi contoh-contoh riil berdasarkan kinerja yang telah dilakukan selama ia menjabat. Hal ini tentu tidak sama dengan keterampilan bernarasi semata.

Etika dan Nilai

Di samping berwibawa dan percaya diri, kerendahan hati merupakan salah satu unsur yang dapat menarik simpati masyarakat. Dalam debat semalam tampak seorang calon mengemukakan dengan tegas bahwa ia setuju dengan pendapat yang dikemukakan Capres lainnya. Ini menyatakan sikap terbuka yang positif bahwa dalam debat bukan cuma soal kalah menang dan siapa yang paling benar.

Mengakui pendapat yang benar adalah sebuah bentuk keberanian untuk jujur. Dalam sebuah kompetisi seperti ini tentu tidak mudah untuk mengakui pendapat yang benar dari lawan, yang sering muncul adalah saling menjatuhkan atau mengorek kekurangan lawan. Seyogianya pada debat tingkat presiden lebih mengedepankan apa strategi atau kiat mereka terkait dengan tema jika terpilih menjadi presiden, kemudian dukung dengan taktik yang membumi bukan yang sifatnya normatif.

Bagaimana halnya dengan janji-janji manis?

Ini sah-sah saja namanya juga promosi diri, sama halnya dengan iklan. Bedanya, kalau iklan jika pembeli menemukan produk tidak sesuai dengan iklan atau gambar yang tertera, dia bisa complain atau bahkan bisa minta uang kembali. Tetapi janji Capres sekali kita termakan dengan 'bujuk rayu' ya konsekuensinya penyesalan sepanjang hayat. Kita tak bisa membatalkan kertas yang sudah kita coblos, bukan?

Namun begini, masyarakat sekarang ini sudah sangat kritis, cerdas, sehingga dalam berjanji perlu realistis. Kemajuan teknologi informasi memungkinkan masyarakat mempelajari rekam jejak/digital Capres. Aspek ini berkaitan dengan unsur yang diangkat oleh salah satu calon yakni 'etika'. Ini pertanyaan bagus, tetapi perlu diingat bahwa soal etika itu bukan tentang definisi atau konsep belaka, melainkan tentang selaraskah apa yang dipikirkan, dikatakan dan diperbuat.

Etika itu juga berkaitan dengan nilai diri. Orang dapat mengetahui kita beretika atau tidak dari apa yang orang lihat, rasakan dan dengar tentang kita. Mengapa orang begitu mudah melanggar etika karena berbeda dengan melanggar hukum yang sudah ada pasal-pasalnya, maka melanggar etika kita dihukum secara sosial. Misalnya, anak anda merebut makan temannya, maka orang akan berkata begini: "Anak siapa sih tuh?" atau melarang anaknya bergaul dengan anak tersebut karena dianggap tidak beretika.

Kesimpulannya, yang harus dimiliki oleh Capres adalah Kompetensi Etis. Pengertian sederhana dari Kompetensi Etis adalah kemampuan melakukan sesuatu dengan benar sesuai hati nurani untuk kepentingan bersama dalam hal ini bangsa dan negara Republik Indonesia berlandaskan Pancasila, UUD 45 dan Kebhinekaan. Di sinilah letak kekuatan moral, nilai diri seorang pemimpin dan merupakan asset pribadi yang tak dapat diganggu, ditiru bahkan dicuri.

Semoga Debat Capres semakin meyakinkan kita dalam memilih Presiden yang paling tepat untuk NKRI. (Mathilda AMW Birowo)

***

Acuan:

Mathilda AMW Birowo & Indah Soekotjo, "Brand Yourself", Gramedia Widiasarana Indonesia

Mathilda AMW Birowo, "Mengembangkan Kompetensi Etis di Lingkungan Kita", Gramedia Widiasarana Indonesia

Materi lain yang relevan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun