Hal tersebut termaknai melalui jawaban atau tanggapan mereka yang kemudian mengambil sebagian porsi dari durasi yang seharusnya digunakan untuk memberi pandangan yang lebih obyektif.
Debat kemudian menjadi semacam ajang untuk 'membuka' borok atau menyudutkan Capres lain melalui pertanyaan-pertanyaan yang sebetulnya memancing atau menjurus. Soal Alutsista (Alat Utama Sistem Senjata) TNI yang cukup panjang diperdebatkan menjurus pada salah satu Capres yang dalam jabatan dan perannya sangat berhubungan dengan masalah tersebut. Apakah jawaban atau klarifikasinya tentang pembelian pesawat tempur bekas dapat dipertanggungjawabkan, publik lah yang dapat menilai.
Dalam era digital isu-isu politik terutama saat menghadapi Pemilu menjadi bahan empuk untuk mengolah Hoax (berita bohong). framing (membingkai peristiwa) atau bahkan pembunuhan karakter. Post Truth merupakan era dimana kebohongan tersamar menjadi sesuatu yang dianggap benar.
Hal tersebut sejalan dengan konsep propaganda yang dilakukan Nazi melalui Joseph Gobbels yaitu kebohongan yang terus menerus disebar akan dipahami sebagai sesuatu yang benar.
Dalam kaitannya dengan budaya politik maka perdebatan seperti Debat Capres seringkali memicu emosi dan membawa para tokoh ini keluar dari inti persoalan. Kita saksikan berkali-kali ketiga Capres terpancing untuk melakukan pembenaran diri ketimbang menjelaskan persoalan lebih substansial.
Hal ini tidak menjadi efektif bahkan dapat menurunkan citra diri bilamana tidak mampu dibarengi dengan data dan fakta. Ketika seseorang membela diri dengan mengemukakan fakta yang dianggapnya suatu kebenaran, tentunya tidak sama dengan data (kualitatif/kuantitatif). Fakta dapat saja bersifat subyektif jika dipandang dari satu sisi saja.
Bandingkan dengan seorang Capres mengangkat data dalam bentuk angka dan sumber acuannya. Aspek-aspek ini di beberapa program TV pasca Debat menjadi bahan diskusi hangat dari para ahli terkait. Mereka membandingkan apa yang disampaikan oleh Capres dengan fakta dan data yang ada di lapangan. Sehingga, jika data yang diangkat oleh Capres tersebut sesuai dengan faktanya, maka ini menjadi nilai tambah bagi yang bersangkutan.
Dalam diskusi atau seminar ada dua peran yang sering 'dimusuhi' pemirsa, pertama moderator yang harus memotong pembicaraan nara sumber (narsum) karena sudah melewati batas durasinya, atau narsum yang ngeyel bicara berpanjang-panjang tidak memperhitungkan waktu.
Pada debat ini durasi memang harus dijaga karena berbeda dengan seminar tatap muka yang masih bisa toleran untuk waktu yang molor, untuk tayangan di TV waktu molor hitungannya rupiah dalam detik. Maka kecakapan narsum dalam mengukur waktu sangat penting, bukan sekedar supaya tidak disetop oleh pembawa acara, tetapi agar poin pentingnya dapat tersampaikan.
Ada beberapa sesi dimana Capres kehabisan waktu selain tidak langsung pada pokok persoalan, tetapi juga karena terbawa emosi sehingga terpancing melakukan klarifikasi ketimbang menjawab pertanyaan. Kematangan narsum dalam memahami persoalan-persoalan yang diangkat sangat tampak dalam performance mereka.
Semakin mereka menguasai materi semakin lancar, tepat waktu dan menyentuh inti persoalan dengan penuh kewibawaan tanpa harus mencari-cari kesalahan atau kelemahan pesaing lainnya. Kapabilitas calon akan semakin terpancar jika ia dapat memberi contoh-contoh riil berdasarkan kinerja yang telah dilakukan selama ia menjabat. Hal ini tentu tidak sama dengan keterampilan bernarasi semata.