Benedictus Mang Reng Say - adalah seorang politisi Indonesia yang ditunjuk sebagai Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong tahun 1966-1971. Mengacu pada arsip sejarah Indonesia Ben Mang Reng Say bersama dengan Frans Seda berperan penting dalam pertemuan Roma di bawah Menteri Luar Negeri Adam Malik dan Jenderal Ali Moertopo. Mereka berdiskusi mengupayakan integrasi damai Timor Leste ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ben Mang Reng Say panggilannya, menyelesaikan sekolah rakyat di Bola, Nusa Tenggara Timur (1934-1937) Pamannya Mo'an Petrus Pitang mengirim Ben Mang Reng Say belajar di Sekolah Schakel di Ndao-Ende, Nusa Tenggara Timur (1937-1942),  salah satu sekolah bergengsi di NTT pada masa itu. Setelah lulus  ia bekerja sebagai petugas polisi di Maumere (1943-1946), Bajawa (1946-1948) dan Makassar (1948-1950). Merasa tidak cocok dengan profesi tersebut, ia mengundurkan diri dan melanjutkan studinya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Makasar ,1949. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikannya di Yogyakarta di Universitas Gadjah Mada Fakultas Hukum, Sosial dan Politik. Pada 23 November 1956 memperoleh gelar Doktorandus jurusan pemerintahan, yang membawanya bekerja sebagai pegawai negeri sipil di Departemen Dalam Negeri.
Menelusuri situs Ensiklopedia Dunia, pada Pemilihan Umun 1955, 10 anggota Partai Katolik menjadi anggota Konstituante. Ben Mang Reng Say ditunjuk sebagai Sekretaris Fraksi Partai Katolik (1956-1959) mendampingi Ignatius Joseph Kasimo sebagai Ketua. Selanjutnya, di tahun 1964, ia ditunjuk sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong. Setelah terjadi Gerakan 30 September, ia mendapat kepercayaan dari Partai Katolik sebagai Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (1966-1971). Partai Katolik setelah 50 tahun berkarya, pada 1973 bubar dan menjadi Partai Demokrasi Indonesia. Dua kali ditunjuk sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung RI, Ben Mang Reng Say kemudian dipercaya menjadi Duta Besar Indonesia untuk Portugal dan Meksiko. Ia memperoleh medali kehormatan Aguila Azteca Primera Banda dari pemerintah Meksiko 1980, sebelumnya dianugerahi Bintang Mahaputra Adipradana II, 1973.
Beng Mang Reng Say memiliki seorang isteri, Dona Maria Yosefa Nana Da Silva, puteri Kepala Suku Don Thomas Da Silva di Maumere dan memiliki dua anak laki-laki serta 3 anak perempuan. Ia wafat pada 16 Agustus 2002.
Pembawa perubahan
Brigjen. (Purn). dr. Aloysius Benedictus Mboi, M.P.H - akrab dipanggil Ben Mboi, dikenal sebagai tokoh pembawa perubahan. Penulis mengenal dr Ben selain sahabat dari ayahanda, juga dokter bagi keluarga. Ketika menjabat Gubernur NTT selama 1 dekade, Ben Mboi mampu mengubah padang rumput yang gersang dan berbatu menjadi hutan lamtoro. Dikutip dari situs NTT Academia.org, melalui Operasi Nusa Hijau, Ben Mboi mendorong reboisasi dan mengajak masyarakat memelihara kesuburan tanah dengan menanam lamtoro.
Liputan6.com mewartakan, meskipun berasal dari keluarga berada, dr. Ben Mboi kecil tidak manja. Oleh kedua orangtuanya Mathias Mboi (ayah) dan Yohanna (ibu) ia dilatih dengan disiplin tinggi. Dia tetap harus menjual makanan dari rumah ke rumah sambil terus belajar . Sepeninggal ayahnya dr. Ben melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP di Kupang, Timor Barat dan melanjutkan ke SMA di Malang. Dari Malang, Ben Mboi lanjut kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Memasuki tahun kedua, seluruh biaya Ben didukung Pemerintah Daerah di Ruteng.
Lepas enam tahun, dr Ben yang mantan ketua Perhimpunan Mahasiswa Kedokteran FKUI ini, Â diajukan ke pusat militer dan menjadi dokter militer. Pada 1962, berkat kinerja yang bagus, Letnan dokter Mboi dipromosikan menjadi Kapten di bawah Komandan Benny Moerdani. Â Ben pun mencatatkan dirinya sebagai satu-satunya dokter dalam operasi di wilayah Papua Selatan.
Dr Ben menikah dengan Nafsiah Mboi di tahun 1964. Resmi menjadi sepasang suami-istri, keduanya dikirim ke Ende, Flores sebagai dokter. Nafsiah Mboi yang pernah menjabat sebagai Menteri Kesehatan RI, pada waktu itu mengelola rumah sakit lokal berkapasitas 100 tempat tidur dan melayani 30 sampai 50 pasien sehari. Sementara dokter Ben berjalan jauh dari satu desa ke desa lain untuk mengobati penduduk yang sakit. Ia juga mendirikan klinik-klinik desa yang dikelola oleh perawat-perawat dan bidan. Salah satu program dr Ben yang dianggap berhasil saat menjadi Gubernur NTT adalah peningkatan dan rasionalisasi administrasi lokal melalui program Benah Desa. Benah Desa merupakan sebuah inovasi dini dalam konteks Indonesia yang kemudian banyak dipuji dan ditiru. Program ini memperkuat kelembagaan demokrasi lokal di tingkat desa dan berperan dalam menjernihkan informasi terkait pengelolaan lahan pertanian. Ia yang dikenal sebagai dokter pejuang, meninggal dunia akibat komplikasi penyakit pada 23 Juni 2015. Â
Sinar yang padam
Johnny G Plate diangkat Presiden Joko Widodo sebagai Menteri Komunikasi dan Informatika di Kabinet Kerja Jilid 2. Â Sebagai pendatang baru di kabinet, gaya bicaranya yang lantang, enerjik, tentu memberi banyak harapan. Johnny merupakan salah satu anggota DPR terpilih berdasarkan hasil Pemilu 2019. Sebelumnya, ia juga pernah terpilih menjadi anggota DPR periode 2014-2019 dari Partai Nasdem mewakili daerah pemilihan (Dapil) Nusa Tenggara Timur I. Pria kelahiran Ruteng, NTT, 10 September 1956 ini menikah dengan Maria Ana dan dikaruniai tiga orang anak. Ia juga seorang pengusaha, memulai bisnisnya awal 1980 di bidang alat perkebunan. Setelah sukses di bidang perkebunan, ia menjeajah bisnis transportasi penerbangan. Beberapa jabatan yang pernah dipegangnya, antara lain sebagai Komisaris PT Indonesia Air Asia, Komisaris PT Mandosawu Putratama Sakti, Komisaris Utama PT Aryan Indonesia.