Mohon tunggu...
Mathilda AMW Birowo
Mathilda AMW Birowo Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, Konsultan PR

Empat dasawarsa menggeluti bidang Corporate Communication di Kompas Gramedia, Raja Garuda Mas Group dan Bank CIMB Niaga. Memiliki pengalaman khusus dalam menangani isu manajemen serta strategi komunikasi terkait dengan akuisisi dan merger. Sarjana Komunikasi UI dan Sastra Belanda ini memperoleh Master Komunikasi dari London School of Public Relations serta sertifikasi Managing Information dari Cambridge University. Setelah purnakarya, menjadi Konsultan Komunikasi di KOMINFO. Saat ini mengembangkan Anyes Bestari Komunika (ABK), dosen Ilmu Komunikasi di Universitas Indonesia; Universitas Multimedia Nusantara; Trainer di Gramedia Academy dan KOMINFO Learning Center serta fasilitator untuk persiapan Membangun Rumah Tangga KAJ; Dewan Pengurus Pusat Wanita Katolik RI; Ketua Umum Alumni Katolik UI; Koordinator Sinergi Perempuan Indonesia (Kumpulan Organisasi Perempuan Lintas Iman dan Profesi). Memperoleh penghargaan Indonesian Wonder Woman 2014 dari Universitas Indonesia atas pengembangan Lab Minibanking (FISIP UI) dan Boursegame (MM FEB UI); Australia Awards Indonesia 2018 aspek Interfaith Women Leaders. Ia telah menulis 5 buku tentang komunikasi, kepemimpinan dan pengembangan diri terbitan Gramedia. Tergabung dalam Ikatan Alumni Lemhannas RI (PPRA LXIV/Ikal 64).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Berawal dari NTT, Berakhir di Jalur Berbeda

24 Mei 2023   16:39 Diperbarui: 25 Mei 2023   11:28 986
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu kebanggaan, Tenun NTT (Dok. pribadi)

FRANS SEDA, BEN MANG RENG SAY, BEN MBOI, dan JOHNNY PLATE 

Tokoh-Tokoh Kebanggaan NTT, Apa Perbedaan Mereka?

Merebaknya kasus JP, mantan Menteri Komunikasi dan Informatika RI (Kominfo) membuat prihatin masyarakat khususnya mereka yang berasal dari NTT (Nusa Tenggra Timur).  Kebanggaan terhadap putera daerah yang kemudian menduduki posisi penting di negeri ini seakan cuma sekejap. Di balik keprihatinan itu, penulis mengajak mengenang  tiga tokoh asal NTT yang mengharumkan tanah kelahirannya. Mereka adalah sahabat-sahabat ayahanda semasa hidupnya. Semoga tulisan ini dapat memberi kesejukan berdasar karya-karya besar mereka bagi bangsa dan negara Republik Indonesia. Asal daerah boleh sama, namun akhir perjalanan ketiga tokoh ini tidak sama dengan JP. Satu sinar padam, masih banyak pelita bagi NTT untuk terus berjuang membangun negeri.

NTT Terus membangun - Gubernur NTT, Gubernur Lemhannas RI dan PPRA 64 Lemhannas RI di Kupang 2022 (Dok. pribadi)
NTT Terus membangun - Gubernur NTT, Gubernur Lemhannas RI dan PPRA 64 Lemhannas RI di Kupang 2022 (Dok. pribadi)

Menteri di masa krisis

Franciscus Xaverius Seda - penulis mengenal beliau sebagai teman dekat ayah yang sama-sama merantau  dari Flores ke tanah Jawa di usia belia sekitar 12 tahun. Kelahiran Maumere, 4 Oktober 1926, Frans Seda sapaannya, melanjutkan sekolah ke Muntilan, Jawa Tengah, pada 1941. Tahun 1943 sekolah itu ditutup oleh Jepang. Frans Seda dan beberapa kawan dititipkan kepada keluarga Katolik di Yogyakarta. Mereka bekerja serabutan, mulai dari menjaga sepeda di Pasar Beringharjo hingga menyemir sepatu. Frans melanjutkan studi ke SMA AMKRI Yogyakarta dan HBS Surabaya. Ia aktif berorganisasi dan ikut laskar rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan di Yogyakarta dan Surabaya, 1945-1949. Dari tanah Jawa, Frans Seda melanjutkan pendidikan ke Katholieke Economische Hogeschoole di Tilburg, Belanda. Sepulangnya di Indonesia tahun 1956, Frans terjun berpolitik. Ia menjadi Ketua Umum Partai Katolik Indonesia, lalu bersama beberapa tokoh lainnya mendirikan Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya. Frans yang mengawali kiprahnya di bidang pendidikan dan pers ini kemudian beberapa kali menjadi  Menteri pada masa Orde Lama dan Orde Baru.

Dikutip dari laman Kompas, suatu ketika di tahun 60-an Frans Seda diminta Jenderal A Yani agar Partai Katolik memiliki koran sendiri guna mengimbangi organ PKI, Harian Rakjat. Frans Seda berdiskusi dengan  Jakob Oetama dan PK Ojong yang adalah juga pendidik untuk membuat koran yang bersifat umum, berdiri di atas semua golongan. Awalnya media ini diberi nama Bentara Rakyat, atas usul Presiden Soekarno diganti menjadi Kompas, terbit pertama kali pada 28 Juni 1965.

Pria cerdas ini bertemu jodohnya, seorang gadis berkulit hitam manis keturunan Ambon Manado, Johanna Maria Pattinaja.  Konon, Frans jatuh hati ketika melihat Yoke panggilan sang isteri, memerankan Bunda Maria dalam sebuah drama di sekolah Santa Ursula, Jakarta. Mereka dikarunia dua puteri yang tak kalah pintar sekaligus membumi, berprofesi sebagai dosen di Universitas Indonesia. Frans Seda menjadi Menteri Perkebunan (1964-1966), Menteri Pertanian (1966), Menteri Keuangan (1966-1968), dan Menteri Perhubungan (1968-1973). Menteri di masa krisis ini memulihkan perekonomian dengan menggunakan Anggaran Berimbang. Frans Seda kepada lingkungannya, termasuk kepada kedua putri mengajarkan untuk membedakan milik negara dengan milik pribadi. Mantan Menteri Keuangan di era Orde Baru wafat 31 Desember 2009.

Francisia Seda (tengah), seorang doktor dan dosen Ilmu Sosial UI, puteri Frans Seda bersama Kelompok Sinergi Perempuan Indonesia , 2022 
Francisia Seda (tengah), seorang doktor dan dosen Ilmu Sosial UI, puteri Frans Seda bersama Kelompok Sinergi Perempuan Indonesia , 2022 

Integrasi damai

Benedictus Mang Reng Say - adalah seorang politisi Indonesia yang ditunjuk sebagai Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong tahun 1966-1971. Mengacu pada arsip sejarah Indonesia Ben Mang Reng Say bersama dengan Frans Seda berperan penting dalam pertemuan Roma di bawah Menteri Luar Negeri Adam Malik dan Jenderal Ali Moertopo. Mereka berdiskusi mengupayakan integrasi damai Timor Leste ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ben Mang Reng Say panggilannya, menyelesaikan sekolah rakyat di Bola, Nusa Tenggara Timur (1934-1937) Pamannya Mo'an Petrus Pitang mengirim Ben Mang Reng Say belajar di Sekolah Schakel di Ndao-Ende, Nusa Tenggara Timur (1937-1942),  salah satu sekolah bergengsi di NTT pada masa itu. Setelah lulus  ia bekerja sebagai petugas polisi di Maumere (1943-1946), Bajawa (1946-1948) dan Makassar (1948-1950). Merasa tidak cocok dengan profesi tersebut, ia mengundurkan diri dan melanjutkan studinya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Makasar ,1949. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikannya di Yogyakarta di Universitas Gadjah Mada Fakultas Hukum, Sosial dan Politik. Pada 23 November 1956 memperoleh gelar Doktorandus jurusan pemerintahan, yang membawanya bekerja sebagai pegawai negeri sipil di Departemen Dalam Negeri.

Menelusuri situs Ensiklopedia Dunia, pada Pemilihan Umun 1955, 10 anggota Partai Katolik menjadi anggota Konstituante. Ben Mang Reng Say ditunjuk sebagai Sekretaris Fraksi Partai Katolik (1956-1959) mendampingi Ignatius Joseph Kasimo sebagai Ketua. Selanjutnya, di tahun 1964, ia ditunjuk sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong. Setelah terjadi Gerakan 30 September, ia mendapat kepercayaan dari Partai Katolik sebagai Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (1966-1971). Partai Katolik setelah 50 tahun berkarya, pada 1973 bubar dan menjadi Partai Demokrasi Indonesia. Dua kali ditunjuk sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung RI, Ben Mang Reng Say kemudian dipercaya menjadi Duta Besar Indonesia untuk Portugal dan Meksiko. Ia memperoleh medali kehormatan Aguila Azteca Primera Banda dari pemerintah Meksiko 1980, sebelumnya dianugerahi Bintang Mahaputra Adipradana II, 1973.

Beng Mang Reng Say memiliki seorang isteri, Dona Maria Yosefa Nana Da Silva, puteri Kepala Suku Don Thomas Da Silva di Maumere dan memiliki dua anak laki-laki serta 3 anak perempuan. Ia wafat pada 16 Agustus 2002.

Pembawa perubahan

Brigjen. (Purn). dr. Aloysius Benedictus Mboi, M.P.H - akrab dipanggil Ben Mboi, dikenal sebagai tokoh pembawa perubahan. Penulis mengenal dr Ben selain sahabat dari ayahanda, juga dokter bagi keluarga. Ketika menjabat Gubernur NTT selama 1 dekade, Ben Mboi mampu mengubah padang rumput yang gersang dan berbatu menjadi hutan lamtoro. Dikutip dari situs NTT Academia.org, melalui Operasi Nusa Hijau, Ben Mboi mendorong reboisasi dan mengajak masyarakat memelihara kesuburan tanah dengan menanam lamtoro.

Liputan6.com mewartakan, meskipun berasal dari keluarga berada, dr. Ben Mboi kecil tidak manja. Oleh kedua orangtuanya Mathias Mboi (ayah) dan Yohanna (ibu) ia dilatih dengan disiplin tinggi. Dia tetap harus menjual makanan dari rumah ke rumah sambil terus belajar . Sepeninggal ayahnya dr. Ben melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP di Kupang, Timor Barat dan melanjutkan ke SMA di Malang. Dari Malang, Ben Mboi lanjut kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Memasuki tahun kedua, seluruh biaya Ben didukung Pemerintah Daerah di Ruteng.

Lepas enam tahun, dr Ben yang mantan ketua Perhimpunan Mahasiswa Kedokteran FKUI ini,  diajukan ke pusat militer dan menjadi dokter militer. Pada 1962, berkat kinerja yang bagus, Letnan dokter Mboi dipromosikan menjadi Kapten di bawah Komandan Benny Moerdani.  Ben pun mencatatkan dirinya sebagai satu-satunya dokter dalam operasi di wilayah Papua Selatan.

Dr Ben menikah dengan Nafsiah Mboi di tahun 1964. Resmi menjadi sepasang suami-istri, keduanya dikirim ke Ende, Flores sebagai dokter. Nafsiah Mboi yang pernah menjabat sebagai Menteri Kesehatan RI, pada waktu itu mengelola rumah sakit lokal berkapasitas 100 tempat tidur dan melayani 30 sampai 50 pasien sehari. Sementara dokter Ben berjalan jauh dari satu desa ke desa lain untuk mengobati penduduk yang sakit. Ia juga mendirikan klinik-klinik desa yang dikelola oleh perawat-perawat dan bidan. Salah satu program dr Ben yang dianggap berhasil saat menjadi Gubernur NTT adalah peningkatan dan rasionalisasi administrasi lokal melalui program Benah Desa. Benah Desa merupakan sebuah inovasi dini dalam konteks Indonesia yang kemudian banyak dipuji dan ditiru. Program ini memperkuat kelembagaan demokrasi lokal di tingkat desa dan berperan dalam menjernihkan informasi terkait pengelolaan lahan pertanian. Ia yang dikenal sebagai dokter pejuang, meninggal dunia akibat komplikasi penyakit pada 23 Juni 2015.  

dr Ben Mboi (kedua kiri) bersama puterinya dr Nona saat melayat ayahanda  penulis, Wilhelmus A. Wowor (Dok. pribadi)
dr Ben Mboi (kedua kiri) bersama puterinya dr Nona saat melayat ayahanda  penulis, Wilhelmus A. Wowor (Dok. pribadi)

Sinar yang padam

Johnny G Plate diangkat Presiden Joko Widodo sebagai Menteri Komunikasi dan Informatika di Kabinet Kerja Jilid 2.  Sebagai pendatang baru di kabinet, gaya bicaranya yang lantang, enerjik, tentu memberi banyak harapan. Johnny merupakan salah satu anggota DPR terpilih berdasarkan hasil Pemilu 2019. Sebelumnya, ia juga pernah terpilih menjadi anggota DPR periode 2014-2019 dari Partai Nasdem mewakili daerah pemilihan (Dapil) Nusa Tenggara Timur I. Pria kelahiran Ruteng, NTT, 10 September 1956 ini menikah dengan Maria Ana dan dikaruniai tiga orang anak. Ia juga seorang pengusaha, memulai bisnisnya awal 1980 di bidang alat perkebunan. Setelah sukses di bidang perkebunan, ia menjeajah bisnis transportasi penerbangan. Beberapa jabatan yang pernah dipegangnya, antara lain sebagai Komisaris PT Indonesia Air Asia, Komisaris PT Mandosawu Putratama Sakti, Komisaris Utama PT Aryan Indonesia.

Mengutip situs resmi Kominfo, pria lulusan Taruna Akademi Ilmu Pelayaran RI tahun 1981 melanjutkan pendidikan tinggi di Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), Universitas Katolik Atma Jaya tahun 1986. Kiprah politiknya yang cemerlang ditandai saat bergabung dengan Partai Kesatuan Demokrasi Indonesia (PKDI). Setelah itu, ia hijrah ke Partai Nasdem dan pada 2017 ditunjuk menjadi Sekjen Partai Nasdem. Sayangnya perjalanan karirnya yang bersinar telah padam, berujung di jalur pengadilan. Tempo.co 21 Mei 2023 memberitakan, 3 temuan BPK di kasus BTS Kominfo menyeret Johnny Plate menjadi tersangka. Ia ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi penyediaan menara base transceiver station (BTS) 4G dan infrastuktur pendukung 1, 2, 3, 4 dan 5 Bakti Kementerian Kominfo tahun 2020-2022. 

(Mathilda AMW Birowo) Dari berbagai sumber, buku2, interaksi langsung dengan narasumber.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun