Masing-masing organisasi memiliki kekuatan yang dianggap sebagai fondasi di setiap kegiatan. Lembaga keagamaan Buddha, Parisadha Buddha Dharma Niciren Syosyu Indonesia (NSI) menjadikan Dharma atau ajaran Buddha sebagai  pilar utamanya dalam membina umat Buddha NSI agar mampu mengaplikasikan dan memperdalam keyakinannya dalam mengarungi bahtera kehidupan. Ada tiga pilar sentralisasi yang di jalankan NSI dari tingkat pusat hingga ranting yaitu perihal kebijakan, keuangan, dan ajaran.Â
Tristina Handjaja yang menangani kegiatan-kegiatan perempuan di lingkungan NSI memberi contoh bagaimana dasar itu diterapkan dalam sentralisasi di bidang keuangan. Ketika hendak membangun rumah ibadah di tingkat ranting, penghimpunan dana dari semua lini (ranting, daerah, wilayah, pusat) dilakukan melalui satu pintu secara tercatat.Â
Setelah itu pusat akan mengalokasikan kembali ke lini dibawahnya sesuai kebutuhan/penganggaran. Pengelolaan dana untuk kemaslahatan seluruh umat berpedoman pada pemahaman "dana paramita" yang merupakan sumber karma kebajikan dan maknanya berbeda dengan sumbangan.
Terkait dengan kepemimpinan, Nasrin Astani dari kantor Humas dan Pemerintahan Majelis Rohani Nasional Bah' menyebutkan bahwa  kerangka administrasi yang ditetapkan oleh Sang Suci Bah'u'llh (Pembawa Wahyu Agama Bah') begitu kuat, terdiri dari lembaga yang dipilih secara bebas tanpa melalui pencalonan atau kampanye.Â
Lembaga ini dikenal dengan sebutan Majelis Rohani yang terdapat pada tingkat lokal dan nasional, yang dipilih setiap tahun. Lembaga-lembaga itu bermusyawarah dan membuat rencana bersama masyarakat demi kesejahteraan, pendidikan rohani, dan perkembangan sosial bagi seluruh masyarakat di lingkup tanggung jawab mereka. Di antara "sifat-sifat yang penting" yang disebutkan oleh Sang Wali adalah kesetiaan yang tidak dapat diragukan, pengabdian yang tidak mementingkan diri sendiri, pikiran yang terlatih dengan baik, kemampuan yang diakui dan pengalaman yang matang.Â
Dengan memiliki kesadaran yang lebih besar mengenai tugas-tugas yang harus dilaksanakan oleh badan yang akan dipilih itu, mukmin dapat menilai dengan layak orang-orang yang harus dipilihnya. Kemudian, dari antara kumpulan orang-orang yang diyakini oleh pemilih  memenuhi kualifikasi untuk mengabdi, lalu seleksi dilakukan dengan memberikan pertimbangan yang layak pada faktor-faktor lainnya. Misalnya, usia, keragaman, dan gender.Â
Dijelaskan pula, kehidupan masyarakat Bah' mewajibkan setiap mukmin yang loyal dan setia untuk menjadi pemilih yang cerdas, yang tahu tentang keadaan di masyarakatnya, serta bertanggung jawab, dan juga memberinya kesempatan untuk meningkatkan diri. Artinya di sini, mengenal calon pemimpin dengan baik sangatlah perlu agar tidak memilih 'kucing dalam karung'.
Tak sedikit narasumber menegaskan bahwa kekuatan dalam organisasi adalah pada musyawarah bersama, tidak ada pemimpin individu, ketua hanyalah memfasilitasi jalannya musyawarah. Sistem ini agak berbeda dengan organisasi lainnya seperti Wanita Katolik RI (WKRI) yang menganut Kepresidiuman terdiri dari Ketua Presidium, Anggota Presidium 1 dan Anggota Presidium 2 yang dalam kepemimpinan dan pengambilan keputusan saling berkoordinasi.Â
Mereka dipilih melalui Kongres Nasional yang diselenggarakan setiap 5 tahun dan diajukan oleh ranting yang mekanismenya diatur oleh Komisi Pemilihan. Kongres Nasional merupakan forum tertinggi dimana selain pemilihan pimpinan, juga dilakukan pertanggungjawaban dari Dewan Pengurus Pusat (DPP) kepada anggota serta rancangan program kerja ke depan.Â
Kaderisasi dan Globalisasi
 Kaderisasi juga merupakan unsur penting yang tak dapat dipisahkan dari kepemimpinan. Pemimpin memiliki kewajiban pula dalam mempersiapkan kader-kader pengganti yang berkualitas. Terkait dengan kaderisasi, hampir seluruh perwakilan organisasi berpendapat bahwa pengurus telah memiliki pegangan baku dalam mempersiapkan para kader. Â