Belajar dari kemunduran dan keruntuhan Sriwijaya, bahwa sesungguhnya kota pelabuhan harus ditopang oleh hasil darat berupa pertanian dan perkebunan yang menjadi komoditas unggulan dari wilayah pedalaman.[1] Menjadi keniscayaan bersama bahwa ketangguhan agraria dan maritim yang renewable atau berkelanjutan yang didukung kemajuan teknologi dan pengolahan menjadi taruhan kelangsungan sebuah bangsa dan negara yang besar.
Reinternalisasi Nilai-Nilai Pancasila
Sejak memasuki era reformasi, bangsa Indonesia telah melakukan evaluasi dan merombak secara besar-besaran terhadap nilai-nilai Orde Baru dan menggantinya dengan nilai-nilai baru. Dalam jangka waktu yang relative singkat, legislatif telah banyak mengesahkan produk-produk hukum baru. Pelembagaan (institusionalisasi) berbagai produk hukum ini ternyata tidak disertai dengan proses penanaman nilai-nilai hakiki yang melandasi kelahiran produk hukum tersebut (internalisasi).
Misalnya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang tampak penuh unsur ketuhanan, kemanusian, persatuan, kerakyatan, dan kesejahteraan tidak diikuti dengan penanaman nilai-nilai terserbut pada masyarakat luas, khususnya para pengusaha perikanan tangkap tradisional (baca: nelayan) dan para pemangku kebijakan di sektor perdagangan, perindustrian, dan yang secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan dunia perikanan dan kemaritiman.
Dikhawatirkan akan terjadi gejala “institusionalisasi tanpa internalisasi”, yang berakibat aturan dijalankan tanpa dilandasi penghayatan nilai-nilai. Pemberdayaan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil, pengakuan masyarakat hukum adat, dan penguatan kearifan lokal tanpa melihat secara utuh dan menyeluruh karakter dan kapasitas dari setiap komponennya, menjalankan fungsional dana desa pesisir tanpa dijiwai nilai keadilan yang hakiki.
Hukum yang tidak didukung oleh sistem nilai masyarakat akan tumpul, dan setiap orang bisa saja tidak memiliki rasa bersalah bila melanggarnya karena sudah tidak ada lagi etika diri di dalam jiwanya. Bukan hanya kehilangan rasa bersalah, masyarakat dan pemerintah juga akan kehilangan rasa malu terhadap publik. Dalam akhir-akhir ini, Indonesia diperlihatkan gejala bahwa sudah banyak orang yang kehilangan rasa takutnya pada hukum, mulai dari individu kecil sampai lembaga negara, karena hukum dan kebijakan dapat dibeli dan diatur dengan uang.
Pembangunan Negara Maritim : Sebuah Keharusan!
Kejayaan para pendahulu negeri ini dikarenakan kemampuan mereka dapat membaca lalu mengolah potensi yang mereka miliki. Pemerintah sekarang sudah harus menyadari betapa pentingnya memiliki ketajaman visi dan kesadaran kemaritiman terhadap posisi strategis Nusantara di percaturan dunia. Pembangunan negara maritim bukan lagi sebuah wacana besar bangsa dan negara Indonesia, melainkan sebuah keharusan!
Mengakui bahwa pertahanan laut dan teknologi kelautan kita masih lemah merupakan kerangka dan titik awal untuk memacu kesadaran akan pembangunan Negara Maritime tanpa menghilangkan makna sesungguhnya dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kementerian Kelautan dan Perikanan memiliki pekerjaan rumah yang amat berat mulai dari merevolusi paradigma masyarakat luas akan kecintaan terhadap laut hingga tata kelola perdagangan kemaritiman.
Walaupun Indonesia kini seakan mendapatkan angin segar dengan kinerja Kementerian Kelautan dan Perikanan, pemandangan di lapangan masih teramat banyak pengusaha tangkap tradisional yang belum mendapatkan fasilitas pemberdayaan sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Masalah-masalah faktual di lapangan seperti pencetakan sumber daya manusia perikanan yang berkualitas, handal, dan tangkas, keterbatasan alat tangkap ikan, keterbatasan pelabuhan perikanan, keterbatasan teknologi penangkapan ikan, keterbatasan modal, keterbatasan akses pemasaran, keterbatasan teknik pascapanen, dan sebagainya.
Bahwa sesungguhnya penting dalam pengadaan segera pelabuhan perikanan secara besar-besaran di Indonesia karena akan lahir multi player yang mana akan menyerap banyak sumber daya manusia pribumi. Jumlah pelabuhan perikanan di Indonesia masih terlalu sedikit jika dipandang dari jumlah total panjang garis pantai yang dimiliki. Dapat kita bayangkan jikalau saja setiap 100 km garis pantai Indonesia memiliki satu pelabuhan perikanan, berapa banyak sumber daya manusia Indonesia yang dapat diberdayakan menuju cita-cita Indonesia yang makmur. Bahwa sesungguhnya penting melalui sumber daya manusia di Kementerian Kelautan dan Perikanan dan di berbagai instansi pendidikan, baik formal maupun non formal, untuk memberikan pengetahuan dan skill yang didukung teknologi dan informasi modern kepada komunitas-komunitas nelayan tradisional.