Jakarta, 17 September 2023. Hari itu, seorang pemuda berlagak tak biasa. Duduk, beridiri, lalu mondar-mandir. Untung saja wanita baik hati datang menghampirinya, meminjam ponsel si pemuda, lalu duduk berdua hingga kereta LRT datang menjemput mereka.
Jujur, pemuda itu adalah saya saat pertama kali naik kereta LRT. "LRT kami hadirkan untuk mengurangi kemacetan di kota." Ucap presiden Joko Widodo saat meresmikan LRT Jabodetabek pada 28 Agustus 2023.Â
Memang benar, pada Oktober 2024 data KAI menyebutkan terdapat 81.932 penumpang menggunakan LRT dalam sehari. Itu berarti hadirnya kereta ini setidaknya mengurangi 80.000 pengendara pribadi setiap harinya.
Dengar-dengar juga, Dirut PT KAI, Didiek Hartantyo akan menarget sekitar 137.000 penumpang dalam satu hari. Tentu angka sebesar itu sudah cukup menekan kemacetan di Jabodetabek. Itulah alasan mengapa saya lebih memilih naik angkutan massal dibanding kendaraan pribadi.
***
Sore itu, baru saja keluar dari pintu kantor, saya harus pulang sebelum pukul 8 malam, sebab keluarga dari kampung mau datang. Karena kota begitu macet, dan saya harus sampai ke kost dalam 30 menit saja, sepertinya opsi naik LRT boleh juga.Â
Bergegas saya menuju stasiun Jatimulya yang kebetulan dekat dari kantor. Seperti orang hendak naik kereta api pada umumnya, tanpa pikir panjang saya segera membuka aplikasi KAI Access untuk memesan tiket. Tapi apesnya, fitur LRT tidak muncul di beranda.Â
Saya bingung, google terbuka, "tutorial memesan tiket LRT di hp" begitu tulisan di mesin pencari saya. Artikel demi artikel saya baca dari duduk, berdiri, hingga berjalan ke sana-ke mari, belum juga mendapatkan solusi. Hingga, sosok wanita bercadar datang menghampiri. "Bagaimana? ada yang bisa saya bantu kak?."
Minder, awalnya saya tak ingin nampak gaptek. Tapi kata orang "malu bertanya sesat di jalan" atau lebih tepatnya "malu bertanya macet di jalan" saya pun meminta bantuan wanita tersebut.Â
Novanda Melysha (21), ia mencoba mengidentifikasi kendala pada KAI Access milik saya. Rupanya fitur LRT tidak menghilang, apalagi dihapus, hanya saja saya belum update aplikasinya.Â
Untungnya wanita itu sigap memesankan tiket LRT untuk saya. "Terus tinggal dibayar deh!" jelasnya sembari berjalan menuju gate stasiun.
Saya mengikutinya dari belakang. Sampai di sana, calon penumpang akan langsung dihadang oleh pintu putar yang baru bisa dilewati hanya dengan membayar. Bukan dengan dompet digital, apalagi uang konvensional, Novanda membayarnya dengan kartu elektronik, mirip e-money.Â
Itulah KMT Commuter Pay, sebuah kartu multi trip yang berisikan uang elektronik, diterbitkan oleh PT Kereta Commuter Indonesia untuk memberikan kemudahan transaksi tiket elektronik Commuterline dengan cepat, praktis dan tanpa anteri.
Direktur Utama KAI Didiek Hartantyo menjelaskan bahwa KMT ini merupakan kolaborasi antara bank Mandiri dengan PT KAI sebagai implementasi budaya AKHLAK bagi setiap BUMN. "Penggunaan kartu ini juga bisa menjadi alternative untuk mengurangi transaksi dengan uang tunai, biar nggak kelamaan di loket." jelas Novanda.
Menurut Direktur Utama PT KCI Wiwik Widayanti, sejak 3 Agustus 2020, KCI (Kereta Commuter Indonesia) menambah jumlah stasiun yang khusus hanya melayani transaksi non tunai dengan KMT. Total saat ini terdapat 8 stasiun khusus transaksi non tunai, dimana tiga stasiun terbaru merupakan stasiun dengan volume pengguna tinggi yaitu Bogor, Cilebut, dan Cikarang.Â
Saya cukup kagum dengan inovasi ini, segera saya membuat KMT ke tempat pelayanan penumpang di sebelah kiri, nampaknya kartu ini sangat cocok untuk saya yang bakal sering-sering keliling Jabodetabek disebabkan hal pekerjaan.
Pukul 17.30, gemuruh langkah kaki kian memenuhi ruangan stasiun Jatimulya. 270 bakal penumpang nampak sudah berdiri di serambi rel kereta. Dari kejauhan terlihat sang primadona menyapa, semua orang patut bahagia, karena LRTÂ dengan tujuan akhir stasiun Dukuh Atas sebentar lagi akan tiba di muka.
Satu lagi yang membuat saya bahagia adalah kehadiran Novanda yang sejak tadi mendampingi saya. "Ini baru primadona" gumam saya saat melihat Novanda berjalan mendekat, lalu duduk di sebelah saya.Â
Singkatnya kami bercerita tentang perjalanan karir masing-masing. Di sela-sela bercerita, samar senyap saya mengamati keadaan di dalam kereta yang sangat mempesona, apalagi dengan kehadiran Novanda di sebelah saya.
Di sini, di dalam kereta modern era Pak Didiek Hartantyo ini, saya mencoba memahami setiap sudut yang selanjutnya akan menjadi topik hangat di feature-feature saya kedepannya: mulai dari tersedianya kursi prioritas untuk para penumpang yang pantas, ruangan yang bersih, nyaman dan luas, hingga berbagai fasilitas di dalamnya yang bisa kita dapatkan secara bebas.
Kereta berhenti. "Tak lama, waktu tunggu LRT di stasiun hanya 4-8 menit saja." Ucap Novanda.  Beberapa penumpang akan mengambil peluang ini untuk pergi ke kamar mandi. Saya sendiri memanfaatkannya untuk meregangkan kaki dan mengambil/menaruh sesuatu di bagasi.
Menurut saya, secara keseluruhan project LRT cukup pantas untuk disebut berhasil, selain mampu memberikan harga murah dengan fasilitas cukup mewah, project RLT ini memiliki infrastruktur stasiun hingga kereta yang ramah bumil, busui, dan disabilitas.Â
Ditambah dengan teknologi canggih seperti sistem crowd detection, kepadatan penumpang dapat dipantau secara real-time sehingga dapat memastikan arus penumpang tetap lancar dan aman.
Satu kalimat penghargaan yang akan saya kalungkan di leher kereta LRTÂ Jabodetabek ini adalah "Inovatif dan Berkelanjutan."Â Satu sentuhan Direktur Utama PT KAI ini sekali lagi telah merealisasikan visinya dalam Mendidiek Jadi Lebih Baik. Pasalnya, kereta tanpa masinis ini tidak lagi menggunakan batu bara sebagai sumber energi penggeraknya, melainkan sudah memakai listrik. "LRT Jabodebek adalah bukti komitmen KAI dalam menyediakan transportasi publik yang tidak hanya cepat dan efisien, tetapi juga inovatif dan ramah lingkungan," ujar Didiek.
Sebagai penumpang coba-coba, saya turut berterima kasih atas sejuta pengalaman berharga ini. Memang belum sempurna, beberapa aspek perlu ditingkatkan untuk menciptakan pelayanan transportasi massal yang berkesan.Â
Misalnya, di beberapa stasiun LRT Jabodetabek bisa diupayakan untuk menambah jumlah toilet, dan memaksimalkan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas. Beberapa titik baik di stasiun maupun di dalam kereta nampak sudah ada, hanya saja perlu terobosan baru untuk meminimalisir kecelakaan bagi disabilitas, contoh dengan menyediakan lift untuk naik di stasiun agar bisa mengakses LRT dengan nyaman.
Terakhir, saya pribadi mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Direktur Utama PT KAI, karena jika bukan karena ulah Pak Didiek Hartantyo, mungkin saya tidak pernah menikmati bagaimana rasanya menjadi seorang suami, karena pada kenyataannya, wanita bercadar yang membantu saya di awal tadi, kini telah saya persunting menjadi istri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H