Mohon tunggu...
Mateo Davide Sifrano
Mateo Davide Sifrano Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Jurnalis

Lulusan SD-SMP YPJ Angkatan 50 dan saat ini merupakan siswa Canisius College Senior Highschool Angkatan 26, jurusan IPS. Memiliki minat dalam bidang penelitian lapangan. Dengan latar belakang pendidikan dan pengalaman yang beragam, saya berfokus pada eksplorasi data serta pendekatan kritis dalam melihat fenomena yang terjadi di masyarakat.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

FOMO: Fenomena yang Mempengaruhi Remaja di Era Media Sosial

16 November 2024   13:50 Diperbarui: 16 November 2024   13:56 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bayangkan seorang remaja yang sedang bahagia membuka Instagram di waktu senggangnya. Ia melihat unggahan foto teman-temannya yang sedang berlibur, menghadiri acara menarik, atau menikmati momen kebersamaan yang terlihat begitu sempurna. Sementara itu, ia sendiri hanya menghabiskan waktu di rumah. Perasaan kecewa dan cemas mulai muncul, bertanya-tanya mengapa dirinya tidak berada di sana, mengapa ia tidak diundang, atau mengapa hidupnya terasa kurang menarik dibandingkan yang dilihatnya di media sosial. Fenomena ini dikenal dengan istilah FOMO, singkatan dari Fear of Missing Out.

Apa itu FOMO?

FOMO adalah perasaan cemas atau khawatir bahwa seseorang mungkin kehilangan pengalaman, informasi, atau momen penting yang dialami orang lain. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Patrick J. McGinnis pada tahun 2004 dan menjadi semakin relevan dalam konteks media sosial. Platform seperti Instagram, TikTok, dan Twitter membuat pengguna terus-menerus melihat aktivitas orang lain, yang memicu rasa takut tertinggal dan menimbulkan perasaan kurang berharga.

Penelitian dari jurnal ilmu keperawatan jiwa, menunjukkan bahwa FOMO sangat berhubungan dengan penggunaan media sosial yang tinggi. Sebuah survei di platform Twitter mengungkapkan bahwa 43,8% responden remaja memiliki intensitas penggunaan media sosial yang tinggi, dan 50% dari mereka mengalami depresi berat. Hal ini menunjukkan adanya keterkaitan antara seberapa sering remaja menggunakan media sosial dengan tingkat depresi yang dialami. Semakin sering remaja melihat kehidupan orang lain yang terlihat sempurna di media sosial, semakin besar kemungkinan mereka merasa tertinggal dan tidak puas dengan kehidupannya sendiri.

Mengapa Media Sosial Memperkuat FOMO?

Penggunaan media sosial secara intensif adalah faktor utama yang memperkuat FOMO. Melalui platform ini, pengguna sering terpapar dengan pembaruan tentang aktivitas teman atau orang lain yang menarik, seperti pergi ke pesta, makan di restoran mewah, atau berlibur di tempat eksotis. Melihat hal-hal tersebut membuat seseorang merasa tertinggal atau kehilangan momen penting, terutama jika ia sendiri tidak sedang melakukan hal serupa.

Media sosial juga menjadi tempat bagi remaja untuk memamerkan kehidupannya. Banyak yang merasa perlu menunjukkan pencapaian atau momen bahagia mereka sebagai bentuk validasi sosial. Survei dari KOMINFO (2017) menunjukkan bahwa pengguna media sosial terbanyak adalah usia 20-29 tahun, yang termasuk kelompok usia mahasiswa. Usia ini rentan terhadap perasaan FOMO karena berada pada fase mencari identitas dan pengakuan dari lingkungan sekitar.

Dampak Psikologis FOMO pada Remaja

FOMO sering kali menyebabkan perasaan cemas dan rendah diri. Menurut Teori Perbandingan Sosial yang dikemukakan oleh Leon Festinger, individu cenderung membandingkan dirinya dengan orang lain untuk mengevaluasi kemampuan dan nilai diri sendiri. Dalam konteks FOMO, perbandingan sosial ini terjadi setiap kali seseorang melihat unggahan orang lain yang terlihat lebih bahagia atau sukses di media sosial. Hal ini dapat memicu perasaan tidak puas dengan kehidupan mereka sendiri, menimbulkan kecemasan, dan berujung pada depresi.

Penelitian oleh Andrew K. Przybylski dan timnya yang berjudul "Motivational, Emotional, and Behavioral Correlates of Fear of Missing Out", menjelaskan bahwa FOMO merupakan ketakutan atau kecemasan seseorang akan ketertinggalan, sehingga menimbulkan dorongan kompulsif untuk terus memantau aktivitas orang lain di media sosial. Dalam jangka panjang, hal ini bisa mengarah pada perasaan kesepian, isolasi sosial, dan menurunnya rasa percaya diri.

Solusi untuk Mengatasi FOMO pada Remaja

Mengatasi FOMO membutuhkan kesadaran dan perubahan perilaku dalam penggunaan media sosial. Membatasi waktu yang dihabiskan di media sosial adalah langkah pertama yang bisa diambil. Cobalah untuk menetapkan waktu tertentu setiap hari untuk membuka aplikasi media sosial, misalnya hanya 30 menit hingga 1 jam per hari. Dengan mengurangi frekuensi paparan, remaja bisa lebih fokus pada kehidupan nyata dan mengurangi perasaan cemas akibat perbandingan sosial.

Fokus pada pencapaian dan tujuan pribadi daripada terus memantau aktivitas orang lain. Remaja dapat membuat rencana atau daftar tujuan yang ingin dicapai, baik dalam hal pendidikan, keterampilan, atau hobi. Dengan mengarahkan perhatian pada pengembangan diri, individu bisa mengurangi perasaan ketertinggalan dan meningkatkan rasa puas dengan kehidupannya sendiri.

Kesimpulan

FOMO telah menjadi fenomena yang semakin umum di kalangan remaja dan mahasiswa, didorong oleh penggunaan media sosial yang intensif. Perasaan cemas, rendah diri, dan depresi adalah beberapa dampak negatif yang muncul dari kebiasaan membandingkan diri dengan kehidupan orang lain yang tampak lebih baik di dunia maya. Namun, dengan strategi yang tepat, seperti mengurangi waktu di media sosial, fokus pada pencapaian pribadi, dan melakukan digital detox, remaja dapat mengurangi perasaan FOMO dan meningkatkan kesehatan mental.

Untuk itu, penting bagi setiap individu untuk lebih bijak dalam menggunakan media sosial. Alih-alih terpaku pada apa yang dilakukan orang lain, mari kita fokus pada perjalanan dan pencapaian pribadi masing-masing. Dengan demikian, kita bisa membebaskan diri dari jebakan FOMO dan menemukan kebahagiaan dalam kehidupan yang nyata.

Daftar Pustaka

1. Jurnal Ilmu Keperawatan Jiwa. (2023). Tingginya intensitas penggunaan media sosial dapat berakibat depresi pada remaja. *Jurnal Ilmu Keperawatan Jiwa, 6*. Diambil dari https://journal.ppnijateng.org/index.php/jikj/article/view/2365

2. STIKES Kendal. (n.d.). Hubungan antara penggunaan media sosial dan kesehatan mental pada remaja. *Jurnal Keperawatan*. Diambil dari https://journal2.stikeskendal.ac.id/index.php/keperawatan/article/view/1831

3. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (n.d.). Waspada sindrom FOMO dapat berpengaruh terhadap kesehatan mental. Diambil dari https://yankes.kemkes.go.id/view_artikel/2538/waspada-sindrom-fomo-dapat-berpengaruh-terhadap-kesehatan-mental

4. Binus University. (2023, June 8). Fear of missing out (FOMO) di kalangan remaja. Diambil dari https://binus.ac.id/malang/communication/2023/06/08/fear-of-missing-out-fomo-di-kalangan-remaja/

5. Kumparan. (n.d.). 5 contoh FOMO (Fear of Missing Out) dalam kehidupan sehari-hari. Diambil dari https://kumparan.com/info-psikologi/5-contoh-fomo-fear-of-missing-out-dalam-kehidupan-sehari-hari-20geACAvz6F

6. Universitas Airlangga. (n.d.). FOMO di kalangan mahasiswa: kebutuhan atau hanya sekedar ikut-ikutan? Diambil dari https://unair.ac.id/post_fetcher/sekolah-ilmu-kesehatan-ilmu-alam-fomo-di-kalangan-mahasiswa-kebutuhan-atau-hanya-sekedar-ikut-ikutan/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun