Sulit sekali membuat mata ini terbuka. Enggan rasanya beranjak dari peraduan. Masih terbayang nikmatnya udara dingin Eropa bagian utara, membuat aku ingin berlama-lama tidur di balik selimut tebalku, meski sadar saat ini berada di Jakarta.
Ikka. Ya hanya Ikka yang membuat aku bersemangat hari itu. Telepon, SMS, email dan BBM nya sudah menyesaki memori otakku sejak liburan dua minggu lalu di Eropa. Menemani suami dan sekaligus liburan tepatnya.
Pembuangan sampah, kemiskinan, kotor, anak-anak ingusan, ibu-ibu yang mencari kutu di depan pintu rumah, adalah bayangan yang melintas ketika Ikka, teman yang kujumpai di facebook mengajakku untuk datang ke komunitas temannya. Anak-anak yang tumbuh di kawasan kumuh, bergelut dengan sampah dan kemiskinan di Cakung Sawah.
Ah kemiskinan. Kontras sekali dengan liburanku. Hawa yang sejuk, cuaca yang bagus. Nyaris tanpa polusi. Eropa, selalu menawan di balik kameraku. Eh, foto-foto Norwegia, Amsterdam, sudah kamu lihat bukan? Facebook memang membantuku bisa berbagi kesenangan, aku di Eropa dan kamu bisa di mana saja.
***
Manyun wajah Ikka melihat aku keluar dari mobil kecilku. Menunggu hampir dua jam dari janji makan siang yang sudah terlewat. Tapi aku tahu, sekotak coklat akan melumerkan hatinya.
”Kita telat. Mereka pasti sudah kembali masuk kelas,” sungutnya.
”Maaf. Tidak bisa buka mata,” jelasku sambil mengeluarkan sekotak Coklat Cote d'Or. Coklat pahit Belgia yang aku beli di Belanda. Ah, betul saja. Zat serotinin sudah bekerja, saat dua gigit coklat lumer di mulutnya.
Lebih dari satu jam untuk menembus ruwetnya Cempaka Putih, Terminal Pulo Gadung, Kawasan Industri dan Cakung. Ini yang tidak pernah aku suka dari Jakarta. Macet yang kadang menghilangkan gairahku keluar rumah.
Dari jalan raya utama, masih perlu sepuluh menit untuk masuk ke pemukiman. Jalannya berliku dan sempit, paling hanya cukup mobil berpapasan. Aku pun menyetir dengan hati-hati, takut kesenggol angkot merah yang seenaknya berhenti.
”Masih jauhkah?,”tanyaku.
”Sabar aja, di kiri jalan ada tempat pencucian mobil, kita berhenti di situ. Nanti aku beri tanda,” pesan Ikka yang duduk di sampingku.
Aku manggut saja. Sudah dua tempat steam mobil kami lewati dan dia masih belum memberikan tanda. Baru pada tempat ketiga, dia menyuruhku berhenti di pinggir.
”Kita parkir di sini,” ujarnya.
”Lalu?” tanyaku.
”Masuk ke kampung yang aku cerita ke kamu itu. Lewat jalan setapak di samping itu,” katanya sambil menunjuk jalan – lebih tepat aku sebut lorong – untuk menuju ke tempat tinggal anak-anak yang didampinginya belajar.
***
”Bau, Ikka!” ujarku saat melihat kotoran kambing di jalur yang kami lalui.
”Husssssttt....sudahlah. Kan sudah niat ke sini,” ujarnya sambil sedikit mendelik.
Selokan kering di sisi yang lain jadi pemandangan tersendiri. Sekumpulan ibu-ibu mengupas bawang. Lelaki yang mencuci motor di depan rumahnya. Semuanya masih tampak wajar saja.
”Masih jauh lagi?” tanyaku.
”Tuh! Lihat ke depan,” ujarnya.
Ah, tanpa kusadari dari tadi aku jalan sambil menunduk, menghindari kotoran kambing lekat di sepatuku.
Mataku menyapu gubuk-gubuk kumuh di depanku. Satu, dua, tiga, empat, masih banyak lagi di belakang sana.
Ada yang berukuran empat kali enam, atau hanya tiga kali dua meter. Tingginya tak lebih dari dua atau tiga meter. Mataku mengintip di dalamnya lewat pintu yang terbuka. Gelap. Dan mungkin pengap di dalamnya. Tanpa jendela.
Dindingnya dari sisa-sisa tripleks yang dipadu dengan terpal. Sisi-sisi lain ada yang ditambal dengan seng. Lantainya ada yang bersemen lalu ditutup dengan karpet plastik tipis. Tapi ada pula yang langsung terpapar tanah. Pintunya paling mewah dari tripleks, tetapi ada pula yang hanya ditutup dengan kain seadanya.
”Ini rumah Ibu Yunita. Di belakang rumah ini, kita bangun tempat untuk belajar bersama. Ibu Yunita yang pinjami tempat ini,” ujar Ikka. Rumah ini terasa lebih nyaman dari rumah lain.
Lieur aku rasanya. Pusing melihat ke sekeliling.
”Di sini mereka tinggal? Ini masih wilayah Jakarta? Siapa yang punya tanah? Sejak kapan?” aku nerocos tanya ke Ikka.
”Satu-satu. Nanti aku jelasin. Ketemu dulu sama anak-anak yuk. Sudah ditunggu dari tadi,” ujarnya sambil menggeret tanganku.
”Selamat siang kakak-kakak,” suara perempuan muda menyapa kami.
”Sudah kami menunggu. Anak-anak baru saja belajar dan sekarang mau pembagian gizi,” ujarnya.
Sekumpulan anak-anak duduk membentuk lingkaran. Tak terlalu besar. Hampir dua puluh bocah. Ibu-ibu dengan kain sarung dan celana pendek melihat kami dari sudut yang lain.
Perempuan muda tadi bernama Rika, pendamping belajar anak-anak. Ada pendamping lain yaitu Uju, Uwi, Yuliani, Mala, Indri dan Kak Debby yang dituakan. Kak Debby lah yang merintis pendampingan untuk anak-anak ini enam tahun lalu.
Apa yang dikerjakan mereka?
Aku stop dulu di sini ya teman. Mata sudah berat, merengek minta istirahat...besok kuteruskan....
***
sumber : http://matasasan.blogspot.com/2010/06/dari-norway-ke-cakung-sawah.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H