***
”Bau, Ikka!” ujarku saat melihat kotoran kambing di jalur yang kami lalui.
”Husssssttt....sudahlah. Kan sudah niat ke sini,” ujarnya sambil sedikit mendelik.
Selokan kering di sisi yang lain jadi pemandangan tersendiri. Sekumpulan ibu-ibu mengupas bawang. Lelaki yang mencuci motor di depan rumahnya. Semuanya masih tampak wajar saja.
”Masih jauh lagi?” tanyaku.
”Tuh! Lihat ke depan,” ujarnya.
Ah, tanpa kusadari dari tadi aku jalan sambil menunduk, menghindari kotoran kambing lekat di sepatuku.
Mataku menyapu gubuk-gubuk kumuh di depanku. Satu, dua, tiga, empat, masih banyak lagi di belakang sana.
Ada yang berukuran empat kali enam, atau hanya tiga kali dua meter. Tingginya tak lebih dari dua atau tiga meter. Mataku mengintip di dalamnya lewat pintu yang terbuka. Gelap. Dan mungkin pengap di dalamnya. Tanpa jendela.
Dindingnya dari sisa-sisa tripleks yang dipadu dengan terpal. Sisi-sisi lain ada yang ditambal dengan seng. Lantainya ada yang bersemen lalu ditutup dengan karpet plastik tipis. Tapi ada pula yang langsung terpapar tanah. Pintunya paling mewah dari tripleks, tetapi ada pula yang hanya ditutup dengan kain seadanya.
”Ini rumah Ibu Yunita. Di belakang rumah ini, kita bangun tempat untuk belajar bersama. Ibu Yunita yang pinjami tempat ini,” ujar Ikka. Rumah ini terasa lebih nyaman dari rumah lain.
Lieur aku rasanya. Pusing melihat ke sekeliling.
”Di sini mereka tinggal? Ini masih wilayah Jakarta? Siapa yang punya tanah? Sejak kapan?” aku nerocos tanya ke Ikka.
”Satu-satu. Nanti aku jelasin. Ketemu dulu sama anak-anak yuk. Sudah ditunggu dari tadi,” ujarnya sambil menggeret tanganku.