Mohon tunggu...
DJOKO MOERNANTYO
DJOKO MOERNANTYO Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Laki-laki biasa-biasa saja. Berujar lewat kata-kata, bersahabat lewat dialog. Menulis adalah energinya. Suka BurgerKill, DeadSquad, Didi Kempot, Chrisye & Iwan Fals. Semoga mencerahkan :)\r\n\r\n@personal blog:\r\n#airputihku.wordpress.com\r\n#baladaatmo.blogspot.com #Follow: Twitter: @matakucingku\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Maha Bhiksu Dutawira Sthavira: Pesan Perdamaian 'Pesantren Budha'

14 Desember 2012   11:47 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:39 607
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Seperti dari kelompok bunga-bunga dapat dirangkai banyak karangan bunga, demikian pula dalam suatu kelahiran seorang manusia dapat melakukan banyak perbuatan baik. [Dhammapada 53]

Jaringan kalimat itu, tertulis di salah satu situs milik umat Budha. Sederhana, tapi punya makna yang tidak mudah melakukannya.

+ + + + + +

BERBICARA dengan sosok rohaniwan Budha bernama Maha bhiksu Dutawira Sthavira, kita seperti merasakan aliran air yang dingin, seperti merasakan hembusan angin yang semilir. Adem dan menenangkan. Cara bicaranya tidak meledak-meledak, cenderung kalem. Tapi jelas, penguasaan diri dan wawasan religinya tidak bisa dipandang remeh. Bernama asli Wong Kian Khiong, pria yang lahir di daerah Senen Jakarta, 21 Mei 1954 ini bisa dikatakan asli Jakarta.

"Saya tahu sekali karakter orang Jakarta, karena sejak kecil pergaulan saya memang dengan orang-orang asli Jakarta, "kata bhiksu yang menjadi Kepala Vihara Avalokitesvara / Kwan Im Se di daerah Mangga Besar Jakarta. Suhu Dutawira - begitu umatnya memanggi l - adalah juga penulis tetap di salah satu koran di Jakarta. Bahkan, kelompok tulisannya sudah dibukukan menjadi buku berjudul "Pencerahan Batin".

Menarik melihat judulnya, karena ternyata dalam obrolan dengan penulis, Suhu Dutawira banyak menyinggung soal pencerahan batin. Sudut pandangnya menjelajah dari sisi yang tidak pernah kita bayangkan, tapi sebenarnya sangat erat dengan kehidupan kita. "Kalau kita bicara perdamaian, ada beberapa hal yang harus kita sepakati. Pertama, internal dalam batin. Itu kembali ke individu. Di Indonesia, harusnya hal ini tidak jadi masalah. Ketika kecil, saya tinggal di kampung di daerah Kramat Pulo Senen. Di sekitar saya ada madrasah, mesjid, dan mereka tidak pernah menganggap kami berbeda," jelas pria yang menerima Upasampada bhiksu di Taiwan, tahun 1978.

Di kacamata alumnus Sekolah Tinggi Misionaris Agama Buddha Nan Phu To Fo sien Yen di Taiwan - Thai Chung, Lulusan angkatan III tahun 1981, semua kehidupan akan berjalan seimbang ketika tidak ada kepentingan yang memanfaatkan dengan tidak benar. "Kalau sudah mulai ada yang mengambil keuntungan dengan tidak benar, keseimbangan itu biasanya akan terganggu," imbuh Suhu Dutawira lagi.

Obrolan dengan Suhu Dutawira, sesekali dihentikan karena banyaknya tamu yang ingin bertemu dan murid-muridnya yang sedang menunut ilmu agama Budha di viharanya. "Mereka sedang belajar di pesantren Budha," begitu istilah yang dipakai oleh Pendiri Sangha Mahayana Tanah Suci Indonesia ini sambil tersenyum ramah. Sesekali juga terdengar suara adzan dari mesjid yang berdiri tidak jauh dari Vihara yang didirikan oleh seorang biarawati yang bernama Kho Nio Lim Giok Tien, tahun 1936.

Kedua, adalah hubungan formal antara organisasi. "Ada yang merasa dirinya superior dan lebih kuat dibanding yang lain dan punya gaya yang tidak enak dlihat. Buat kita umat Budha, tidak ada persoalan. Setiap aktivitas apapun yang bisa kita bantu, kita akan bantu, "imbuh Suhu Dutawira.

Pencerahan Batin Menurut Suhu Dutawira, untuk mencapai damai dan tataran kedamaian yang ideal, seseorang memang harus mengalami sesuatu yang disebut "kesejahteraan batin". "Proses menemukan kesejahteraan batin itu harus alamiah dan tidak ada teorinya. Saya percaya, manusia akan tenang kalau mendapat perhatian. Orang akan menganggap kita dan mereka sama, kalau kita membaur, "tambah bhiksu Tertinggi Pusdiklat Buddha Mahayana Tanah Suci Surga Sukhavati.

Dari sudut pandang pria yang juga menciptakan lagu-lagu rohani Budha ini, hal itu akan lebih mudah jika dilakukan oleh yang besar kepada yang kecil. "Kalau yang kecil harus memulai, biasanya lebih susah meski itu bukannya tidak mungkin," sambungnya. Dalam kacamata pluralisme dan peleburan, Shi Chuan Siung-ini sebutan Diksa dalam Budha-percaya, yang dominan dan kuatlah yang menentukan. Suhu Dutawira tak menampik kalau Budha adalah minoritas dalam minoritas. Tapi bukan bagian kecil itu yang jadi persoalan, tapi bagaimana mereka bisa memberikan arti kepada orang lain.

"Untuk apa suara kita harus didengar para petinggi kita, karena Budha tidak punya kepentingan apa-apa kok," tegas Suhu. menuru Suhu Dutawira, meskipun kecil, tapi Budha tidak pernah merasa dirinya kecil. "Kita selalu mementingkan kualitas umat ketimbang kuantitasnya," tandas Ketua Dewan Pengurus Pusat Harian Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia. Budha, dalam kacamata Dutawira lebih menonjolkan Dharma Agama. "Setiap individu Budha, seharusnya bisa melakukan Dharma ini dengan baik," imbuhnya. Banyak paramitha [yayasan] di Budha yang sebenarnya bicara soal hati nurani, tidak sekadar soal ajaran Budha saja.

Suhu menyebut ada Yayasan Tzu Chi yang kerap memberikan bantuan kepada banyak orang. "Kemudian kita juga punya stasiun daai TV. Coba Anda perhatikan, siarannya selalu mengajak orang untuk mengetuk hati nurani, "papar Suhu Dutawira. Daai sendiri, menurutnya, berarti "cinta kasih". Yang menarik, meski didanai oleh lembaga Budha, televisi ini banyak merekrut karyawan dari kepercayaan lain. "Banyak penyiar dan karyawannya yang mengenakan jilbab. Kita memang tidak membedakan hal itu, tapi lebih ke kemampuan, "tegas Koordinator Dewan Sangha Walubi (Perwakilan Umat Buddha Indonesia) dengan masa bakti 1999 sd 2003.

Dharma Agama & Dharma Negara Secara politis, Budha sudah menetapkan garis politiknya lewat Dharma Agama dan Dharma Negara. "Yang namanya Dharma Agama itu benar-benar menjadi relasi dan hubungan manusia dengan Tuhan. Ini hak dari segala hak dan bersifat vertikal dan tidak ada friksi, "terangnya.  Sementara Dharma Negara, masih menurut Suhu Dutawira, adalah keterlibatan Budha dari kehidupan bernegara.

"Kita tidak pernah membedakan siapapun ketika kita menolong. Tidak ada Budha, Islam, Hindu, atau Kristen ketika kita menolong orang, tapi mereka adalah saudara kita bernegara, "papar Suhu Dutawira lagi. Tudingan bahwa Budha identik dengan Tionghoa dan identik dengan penguasaan ekonomi, dibantah oleh Suhu Dutawira. "Saya kira, kalau masih ada pikiran seperti itu, dia masih berpikiran sempit," tegasnya.

Kalau kemudian banyak orang Tionghoa berdagang dan tinggal di kota, dalam pengamatan Suhu, karena ada aturan-aturan dari pemerintah yang membuat mereka tidak bisa bergerak ke tempat lain. "Dari dulu kita sudah dibuat segmented," imbuhnya. Suhu Dutawira juga membantah, bahwa Budha hanya milik orang Tionghoa.

"Budha itu milik semua orang, siapa saja. Saya punya sekitar 65 siswa yang sedang nyantri belajar agama Budha, yang Tionghoa hanya 3 orang, selebihnya adalah orang pribumi, "jelas penyusun buku kebaktian Agama Buddha Mahayana (dalam bahasa Indonesia). Secara tegas, penerima Pabajja Shramanera di Tanjung Morawa, Mei 1976 ini menegaskan, Budha tidak pernah ingin mendirikan negara Budha, tidak pernah punya keinginan mendirikan partai Budha. "Kita ada dimana-mana, tapi tidak ada dimana-mana!" Tandasnya.

Menurutnya, Budha tidak mau eksklusif. "Kita punya konteks, bersama-sama menuju alam bahagia." Hal inilah yang menjelaskan, mengapa Budha membedakan antara urusan agama dan negara. "Agama itu universal dan harus di atas segala-galanya." Tidak ada rohaniwan Budha yang terjun langsung dalam kancah politik di Indonesia.

"Karena memang tidak diijinkan. Kalau ada bhiksu yang berpolitik, bisa jadi dia bhiksu gila! "Ucapnya tegas. Suhu Dutawira tak asal ngomong, "Dalam kitab suci, mereka yang melakukan hal itu disebut bhiksu papa atau bhiksu yang sudah gila." Suhu Dutawira, sekarang menjadi Ketua dari Vihara Avalokitesvara di Jakarta. Di lantai satu Vihara 7 lantai yang berdiri sejak tahun 1936 ini, selain altar sembahyang umat Budha, juga Dijejer foto-foto Suhu Dutawira bersama beberapa tokoh agama lain, seperti Hidayat Nur Wahid, dari PKS. Kemudian beberapa foto yang melibatkan beberapa agama, dimana Suhu juga mewakili umat Budha.

Pria berumur 58 tahun ini, mulai dipercaya menjadi Kepala Vihara sejak tahun 1982, ketika pendiri Vihara, biarawati yang bernama Kho Nio Lim Giok Tien, meninggal dunia. Pesannya ketika ditahbiskan menjadi bhiksu adalah:

"Timbulkan rasa bahagia dalam melayani, timbulkan rasa bahagia dalam berjuang mencapai cita-cita karena kebahagiaan itu dapat dicapai."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun