Mohon tunggu...
DJOKO MOERNANTYO
DJOKO MOERNANTYO Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Laki-laki biasa-biasa saja. Berujar lewat kata-kata, bersahabat lewat dialog. Menulis adalah energinya. Suka BurgerKill, DeadSquad, Didi Kempot, Chrisye & Iwan Fals. Semoga mencerahkan :)\r\n\r\n@personal blog:\r\n#airputihku.wordpress.com\r\n#baladaatmo.blogspot.com #Follow: Twitter: @matakucingku\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Maha Bhiksu Dutawira Sthavira: Pesan Perdamaian 'Pesantren Budha'

14 Desember 2012   11:47 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:39 607
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"Untuk apa suara kita harus didengar para petinggi kita, karena Budha tidak punya kepentingan apa-apa kok," tegas Suhu. menuru Suhu Dutawira, meskipun kecil, tapi Budha tidak pernah merasa dirinya kecil. "Kita selalu mementingkan kualitas umat ketimbang kuantitasnya," tandas Ketua Dewan Pengurus Pusat Harian Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia. Budha, dalam kacamata Dutawira lebih menonjolkan Dharma Agama. "Setiap individu Budha, seharusnya bisa melakukan Dharma ini dengan baik," imbuhnya. Banyak paramitha [yayasan] di Budha yang sebenarnya bicara soal hati nurani, tidak sekadar soal ajaran Budha saja.

Suhu menyebut ada Yayasan Tzu Chi yang kerap memberikan bantuan kepada banyak orang. "Kemudian kita juga punya stasiun daai TV. Coba Anda perhatikan, siarannya selalu mengajak orang untuk mengetuk hati nurani, "papar Suhu Dutawira. Daai sendiri, menurutnya, berarti "cinta kasih". Yang menarik, meski didanai oleh lembaga Budha, televisi ini banyak merekrut karyawan dari kepercayaan lain. "Banyak penyiar dan karyawannya yang mengenakan jilbab. Kita memang tidak membedakan hal itu, tapi lebih ke kemampuan, "tegas Koordinator Dewan Sangha Walubi (Perwakilan Umat Buddha Indonesia) dengan masa bakti 1999 sd 2003.

Dharma Agama & Dharma Negara Secara politis, Budha sudah menetapkan garis politiknya lewat Dharma Agama dan Dharma Negara. "Yang namanya Dharma Agama itu benar-benar menjadi relasi dan hubungan manusia dengan Tuhan. Ini hak dari segala hak dan bersifat vertikal dan tidak ada friksi, "terangnya.  Sementara Dharma Negara, masih menurut Suhu Dutawira, adalah keterlibatan Budha dari kehidupan bernegara.

"Kita tidak pernah membedakan siapapun ketika kita menolong. Tidak ada Budha, Islam, Hindu, atau Kristen ketika kita menolong orang, tapi mereka adalah saudara kita bernegara, "papar Suhu Dutawira lagi. Tudingan bahwa Budha identik dengan Tionghoa dan identik dengan penguasaan ekonomi, dibantah oleh Suhu Dutawira. "Saya kira, kalau masih ada pikiran seperti itu, dia masih berpikiran sempit," tegasnya.

Kalau kemudian banyak orang Tionghoa berdagang dan tinggal di kota, dalam pengamatan Suhu, karena ada aturan-aturan dari pemerintah yang membuat mereka tidak bisa bergerak ke tempat lain. "Dari dulu kita sudah dibuat segmented," imbuhnya. Suhu Dutawira juga membantah, bahwa Budha hanya milik orang Tionghoa.

"Budha itu milik semua orang, siapa saja. Saya punya sekitar 65 siswa yang sedang nyantri belajar agama Budha, yang Tionghoa hanya 3 orang, selebihnya adalah orang pribumi, "jelas penyusun buku kebaktian Agama Buddha Mahayana (dalam bahasa Indonesia). Secara tegas, penerima Pabajja Shramanera di Tanjung Morawa, Mei 1976 ini menegaskan, Budha tidak pernah ingin mendirikan negara Budha, tidak pernah punya keinginan mendirikan partai Budha. "Kita ada dimana-mana, tapi tidak ada dimana-mana!" Tandasnya.

Menurutnya, Budha tidak mau eksklusif. "Kita punya konteks, bersama-sama menuju alam bahagia." Hal inilah yang menjelaskan, mengapa Budha membedakan antara urusan agama dan negara. "Agama itu universal dan harus di atas segala-galanya." Tidak ada rohaniwan Budha yang terjun langsung dalam kancah politik di Indonesia.

"Karena memang tidak diijinkan. Kalau ada bhiksu yang berpolitik, bisa jadi dia bhiksu gila! "Ucapnya tegas. Suhu Dutawira tak asal ngomong, "Dalam kitab suci, mereka yang melakukan hal itu disebut bhiksu papa atau bhiksu yang sudah gila." Suhu Dutawira, sekarang menjadi Ketua dari Vihara Avalokitesvara di Jakarta. Di lantai satu Vihara 7 lantai yang berdiri sejak tahun 1936 ini, selain altar sembahyang umat Budha, juga Dijejer foto-foto Suhu Dutawira bersama beberapa tokoh agama lain, seperti Hidayat Nur Wahid, dari PKS. Kemudian beberapa foto yang melibatkan beberapa agama, dimana Suhu juga mewakili umat Budha.

Pria berumur 58 tahun ini, mulai dipercaya menjadi Kepala Vihara sejak tahun 1982, ketika pendiri Vihara, biarawati yang bernama Kho Nio Lim Giok Tien, meninggal dunia. Pesannya ketika ditahbiskan menjadi bhiksu adalah:

"Timbulkan rasa bahagia dalam melayani, timbulkan rasa bahagia dalam berjuang mencapai cita-cita karena kebahagiaan itu dapat dicapai."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun